Jumat, 19 Maret 2010

STANDARISASI TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN

1/36
STANDARISASI TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN
Mas Achmad Daniri*
Semenjak keruntuhan rezim diktatoriat Orde Baru, masyarakat semakin berani
untuk beraspirasi dan mengekspresikan tuntutannya terhadap perkembangan dunia
bisnis Indonesia. Masyarakat telah semakin kritis dan mampu melakukan kontrol sosial
terhadap dunia usaha. Hal ini menuntut para pelaku bisnis untuk menjalankan usahanya
dengan semakin bertanggungjawab. Pelaku bisnis tidak hanya dituntut untuk
memperoleh keuntungan dari lapangan usahanya, melainkan mereka juga diminta untuk
memberikan kontribusi positif terhadap lingkungan sosialnya.
Perubahan pada tingkat kesadaran masyarakat memunculkan kesadararan baru
tentang pentingnya melaksanakan apa yang kita kenal sebagai Corporate Social
Responsibility (CSR). Pemahaman itu memberikan pedoman bahwa korporasi bukan lagi
sebagai entitas yang hanya mementingkan dirinya sendiri saja sehingga ter-alienasi
atau mengasingkan diri dari lingkungan masyarakat di tempat mereka bekerja,
melainkan sebuah entitas usaha yang wajib melakukan adaptasi kultural dengan
lingkungan sosialnya.
CSR adalah basis teori tentang perlunya sebuah perusahaan membangun
hubungan harmonis dengan masyarakat tempatan. Secara teoretik, CSR dapat
didefinisikan sebagai tanggung jawab moral suatu perusahaan terhadap para strategicstakeholdersnya,
terutama komunitas atau masyarakat disekitar wilayah kerja dan
operasinya. CSR memandang perusahaan sebagai agen moral. Dengan atau tanpa
aturan hukum, sebuah perusahaan harus menjunjung tinggi moralitas. Parameter
keberhasilan suatu perusahaan dalam sudut pandang CSR adalah pengedepankan
prinsip moral dan etis, yakni menggapai suatu hasil terbaik, tanpa merugikan kelompok
masyarakat lainnya. Salah satu prinsip moral yang sering digunakan adalah goldenrules,
yang mengajarkan agar seseorang atau suatu pihak memperlakukan orang lain
sama seperti apa yang mereka ingin diperlakukan. Dengan begitu, perusahaan yang
bekerja dengan mengedepankan prinsip moral dan etis akan memberikan manfaat
terbesar bagi masyarakat.1
1 Sambutan Menteri Negara Lingkungan Hidup pada Seminar Sehari "A Promise of Gold Rating : Sustainable
CSR" Tanggal 23 Agustus 2006, diambil dari www.menlh.go.id
2/36
1. Pemahaman Tentang CSR
Menilik sejarahnya, gerakan CSR modern yang berkembang pesat selama dua
puluh tahun terakhir ini lahir akibat desakan organisasi-organisasi masyarakat sipil dan
jaringannya di tingkat global. Keprihatinan utama yang disuarakan adalah perilaku
korporasi, demi maksimalisasi laba, lazim mempraktekkan cara-cara yang tidak fair dan
tidak etis, dan dalam banyak kasus bahkan dapat dikategorikan sebagai kejahatan
korporasi. Beberapa raksasa korporasi transnasional sempat merasakan jatuhnya
reputasi mereka akibat kampanye dalam skala global tersebut.2
Hingga dekade 1980-90 an, wacana CSR terus berkembang. Munculnya KTT Bumi
di Rio pada 1992 menegaskan konsep sustainibility development (pembangunan
berkelanjutan) sebagai hal yang mesti diperhatikan, tak hanya oleh negara, tapi terlebih
oleh kalangan korporasi yang kekuatan kapitalnya makin menggurita. Tekanan KTT Rio,
terasa bermakna sewaktu James Collins dan Jerry Porras meluncurkan Built To Last;
Succesful Habits of Visionary Companies di tahun 1994. Lewat riset yang dilakukan,
mereka menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan yang terus hidup bukanlah
perusahaan yang hanya mencetak keuntungan semata.
Sebagaimana hasil Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) di Rio de
Janeiro Brazilia 1992, menyepakati perubahan paradigma pembangunan, dari
pertumbuhan ekonomi (economic growth) menjadi pembangunan yang berkelanjutan
(sustainable development). Dalam perspektif perusahaan, di mana keberlanjutan
dimaksud merupakan suatu program sebagai dampak dari usaha-usaha yang telah
dirintis, berdasarkan konsep kemitraan dan rekanan dari masing-masing stakeholder.
Ada lima elemen sehingga konsep keberlanjutan menjadi penting, di antaranya adalah ;
(1) ketersediaan dana, (2) misi lingkungan, (3) tanggung jawab sosial, (4)
terimplementasi dalam kebijakan (masyarakat, korporat, dan pemerintah), (5)
mempunyai nilai keuntungan/manfaat.
Pertemuan Yohannesburg tahun 2002 yang dihadiri para pemimpin dunia
memunculkan konsep social responsibility, yang mengiringi dua konsep sebelumnya
yaitu economic dan environment sustainability. Ketiga konsep ini menjadi dasar bagi
2 “Sumbangan Pemikiran BWI pada Penyusunan Peraturan Pemerintah Perihal Tanggung Jawab Sosial
Korporasi”, The Business Watch Indonesia, Desember 2007
3/36
perusahaan dalam melaksanakan tanggung jawab sosialnya (Corporate Social
Responsibility). Pertemuan penting UN Global Compact di Jenewa, Swiss, Kamis, 7 Juli
2007 yang dibuka Sekjen PBB mendapat perhatian media dari berbagai penjuru dunia.
Pertemuan itu bertujuan meminta perusahaan untuk menunjukkan tanggung jawab dan
perilaku bisnis yang sehat yang dikenal dengan corporate social responsibility.
Sesungguhnya substansi keberadaan CSR adalah dalam rangka memperkuat
keberlanjutan perusahaan itu sendiri dengan jalan membangun kerjasama antar
stakeholder yang difasilitasi perusahaan tersebut dengan menyusun program-program
pengembangan masyarakat sekitarnya. Atau dalam pengertian kemampuan perusahaan
untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya, komunitas dan stakeholder yang terkait
dengannya, baik lokal, nasional, maupun global. Karenanya pengembangan CSR ke
depan seyogianya mengacu pada konsep pembangunan yang berkelanjutan.
Prinsip keberlanjutan mengedepankan pertumbuhan, khususnya bagi masyarakat
miskin dalam mengelola lingkungannya dan kemampuan institusinya dalam mengelola
pembangunan, serta strateginya adalah kemampuan untuk mengintegrasikan dimensi
ekonomi, ekologi, dan sosial yang menghargai kemajemukan ekologi dan sosial budaya.
Kemudian dalam proses pengembangannya tiga stakeholder inti diharapkan mendukung
penuh, di antaranya adalah; perusahaan, pemerintah dan masyarakat.
Dalam implementasi program-program CSR, diharapkan ketiga elemen di atas
saling berinteraksi dan mendukung, karenanya dibutuhkan partisipasi aktif masingmasing
stakeholder agar dapat bersinergi, untuk mewujudkan dialog secara
komprehensif. Karena dengan partisipasi aktif para stakeholder diharapkan pengambilan
keputusan, menjalankan keputusan, dan pertanggungjawaban dari implementasi CSR
akan di emban secara bersama.
CSR sebagai sebuah gagasan, perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung
jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu nilai perusahaan (corporate value)
yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya (financial) saja. Tapi tanggung jawab
perusahaan harus berpijak pada triple bottom lines. Di sini bottom lines lainnya selain
finansial juga adalah sosial dan lingkungan. Karena kondisi keuangan saja tidak cukup
menjamin nilai perusahaan tumbuh secara berkelanjutan (sustainable). Keberlanjutan
perusahaan hanya akan terjamin apabila, perusahaan memperhatikan dimensi sosial dan
lingkungan hidup. Sudah menjadi fakta bagaimana resistensi masyarakat sekitar, di
4/36
berbagai tempat dan waktu muncul ke permukaan terhadap perusahaan yang dianggap
tidak memperhatikan aspek-aspek sosial, ekonomi dan lingkungan hidupnya.
Pada bulan September 2004, ISO (International Organization for Standardization)
sebagai induk organisasi standarisasi internasional, berinisiatif mengundang berbagai
pihak untuk membentuk tim (working group) yang membidani lahirnya panduan dan
standarisasi untuk tanggung jawab sosial yang diberi nama ISO 26000: Guidance
Standard on Social Responsibility.
Pengaturan untuk kegiatan ISO dalam tanggungjawab sosial terletak pada
pemahaman umum bahwa SR adalah sangat penting untuk kelanjutan suatu organisasi.
Pemahaman tersebut tercermin pada dua sidang, yaitu “Rio Earth Summit on the
Environment” tahun 1992 dan “World Summit on Sustainable Development (WSSD)”
tahun 2002 yang diselenggarakan di Afrika Selatan.
Pembentukan ISO 26000 ini diawali ketika pada tahun 2001 badan ISO meminta
ISO on Consumer Policy atau COPOLCO merundingkan penyusunan standar Corporate
Social Responsibility. Selanjutnya badan ISO tersebut mengadopsi laporan COPOLCO
mengenai pembentukan “Strategic Advisory Group on Social Responsibility pada tahun
2002. Pada bulan Juni 2004 diadakan pre-conference dan conference bagi negaranegara
berkembang, selanjutnya di tahun 2004 bulan Oktober, New York Item Proposal
atau NWIP diedarkan kepada seluruh negara anggota, kemudian dilakukan voting pada
bulan Januari 2005, dimana 29 negara menyatakan setuju, sedangkan 4 negara tidak.
Dalam hal ini terjadi perkembangan dalam penyusunan tersebut, dari CSR atau
Corporate Social Responsibility menjadi SR atau Social Responsibility saja. Perubahan
ini, menurut komite bayangan dari Indonesia, disebabkan karena pedoman ISO 26000
diperuntukan bukan hanya bagi korporasi tetapi bagi semua bentuk organisasi, baik
swasta maupun publik.
ISO 26000 menyediakan standar pedoman yang bersifat sukarela mengenai
tanggung tanggung jawab sosial suatu institusi yang mencakup semua sektor badan
publik ataupun badan privat baik di negara berkembang maupun negara maju. Dengan
Iso 26000 ini akan memberikan tambahan nilai terhadap aktivitas tanggung jawab sosial
yang berkembang saat ini dengan cara: 1) mengembangkan suatu konsensus terhadap
pengertian tanggung jawab sosial dan isunya; 2) menyediakan pedoman tentang
penterjemahan prinsip-prinsip menjadi kegiatan-kegiatan yang efektif; dan 3) memilah
5/36
praktek-praktek terbaik yang sudah berkembang dan disebarluaskan untuk kebaikan
komunitas atau masyarakat internasional.
Apabila hendak menganut pemahaman yang digunakan oleh para ahli yang
menggodok ISO 26000 Guidance Standard on Social responsibility yang secara konsisten
mengembangkan tanggung jawab sosial maka masalah SR akan mencakup 7 isu pokok
yaitu:
1. Pengembangan Masyarakat
2. Konsumen
3. Praktek Kegiatan Institusi yang Sehat
4. Lingkungan
5. Ketenagakerjaan
6. Hak asasi manusia
7. Organizational Governance (governance organisasi)
ISO 26000 menerjemahkan tanggung jawab sosial sebagai tanggung jawab suatu
organisasi atas dampak dari keputusan dan aktivitasnya terhadap masyarakat dan
lingkungan, melalui perilaku yang transparan dan etis, yang:
· Konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat;
· Memperhatikan kepentingan dari para stakeholder;
· Sesuai hukum yang berlaku dan konsisten dengan norma-norma internasional;
· Terintegrasi di seluruh aktivitas organisasi, dalam pengertian ini meliputi baik
kegiatan, produk maupun jasa.
Berdasarkan konsep ISO 26000, penerapan sosial responsibility hendaknya
terintegrasi di seluruh aktivitas organisasi yang mencakup 7 isu pokok diatas. Dengan
demikian jika suatu perusahaan hanya memperhatikan isu tertentu saja, misalnya suatu
perusahaan sangat peduli terhadap isu lingkungan, namun perusahaan tersebut masih
mengiklankan penerimaan pegawai dengan menyebutkan secara khusus kebutuhan
pegawai sesuai dengan gender tertentu, maka sesuai dengan konsep ISO 26000
perusahaan tersebut sesungguhnya belum melaksanakan tanggung jawab sosialnya
secara utuh. Contoh lain, misalnya suatu perusahaan memberikan kepedulian terhadap
6/36
pemasok perusahaan yang tergolong industri kecil dengan mengeluarkan kebijakan
pembayaran transaksi yang lebih cepat kepada pemasok UKM. Secara logika produk
atau jasa tertentu yang dihasilkan UKM pada skala ekonomi tertentu akan lebih efisien
jika dilaksanakan oleh UKM. Namun UKM biasanya tidak memiliki arus kas yang kuat dan
jaminan yang memadai dalam melakukan pinjaman ke bank, sehingga jika perusahaan
membantu pemasok UKM tersebut, maka bisa dikatakan perusahaan tersebut telah
melaksanakan bagian dari tanggung jawab sosialnya.
Prinsip-prinsip dasar tanggung jawab sosial yang menjadi dasar bagi
pelaksanaan yang menjiwai atau menjadi informasi dalam pembuatan keputusan dan
kegiatan tanggung jawab sosial menurut ISO 26000 meliputi:
· Kepatuhan kepada hukum
· Menghormati instrumen/badan-badan internasional
· Menghormati stakeholders dan kepentingannya
· Akuntabilitas
· Transparansi
· Perilaku yang beretika
· Melakukan tindakan pencegahan
· Menghormati dasar-dasar hak asasi manusia
Ada empat agenda pokok yang menjadi program kerja tim itu hingga tahun
2008, diantaranya adalah menyiapkan draf kerja tim hingga tahun 2006, penyusunan
draf ISO 26000 hingga Desember 2007, finalisasi draf akhir ISO 26000 diperkirakan
pada bulan September 2008 dan seluruh tugas tersebut diperkirakan rampung pada
tahun 2009.
Pada pertemuan tim yang ketiga tanggal 15-19 Mei 2006 yang dihadiri 320 orang
dari 55 negara dan 26 organisasi internasional itu, telah disepakati bahwa ISO 26000 ini
hanya memuat panduan (guidelines) saja dan bukan pemenuhan terhadap persyaratan
karena ISO 26000 ini memang tidak dirancang sebagai standar sistem manajemen dan
tidak digunakan sebagai standar sertifikasi sebagaimana ISO-ISO lainnya.
Adanya ketidakseragaman dalam penerapan CSR diberbagai negara menimbulkan
adanya kecenderungan yang berbeda dalam proses pelaksanaan CSR itu sendiri di
7/36
masyarakat. Oleh karena itu diperlukan suatu pedoman umum dalam penerapan CSR di
manca negara. Dengan disusunnya ISO 26000 sebagai panduan (guideline) atau
dijadikan rujukan utama dalam pembuatan pedoman SR yang berlaku umum, sekaligus
menjawab tantangan kebutuhan masyarakat global termasuk Indonesia.
2. Praktek-Praktek CSR
Penerapan CSR di perusahaan akan menciptakan iklim saling percaya di dalamnya,
yang akan menaikkan motivasi dan komitmen karyawan. Pihak konsumen, investor,
pemasok, dan stakeholders yang lain juga telah terbukti lebih mendukung perusahaan
yang dinilai bertanggung jawab sosial, sehingga meningkatkan peluang pasar dan
keunggulan kompetitifnya. Dengan segala kelebihan itu, perusahaan yang menerapkan
CSR akan menunjukkan kinerja yang lebih baik serta keuntungan dan pertumbuhan
yang meningkat.
Memang saat ini belum tersedia formula yang dapat memperlihatkan hubungan
praktik CSR terhadap keuntungan perusahaan sehingga banyak kalangan dunia usaha
yang bersikap skeptis dan menganggap CSR tidak memberi dampak atas prestasi usaha,
karena mereka memandang bahwa CSR hanya merupakan komponen biaya yang
mengurangi keuntungan. Praktek CSR akan berdampak positif jika dipandang sebagai
investasi “jangka panjang”. Karena dengan melakukan praktek CSR yang berkelanjutan,
perusahaan akan mendapat “tempat di hati dan ijin operasional” dari masyarakat,
bahkan mampu memberikan kontribusi bagi pembangunan berkelanjutan.3
Januari 2005, dalam Forum Ekonomi Dunia di Davos, melalui Global Governance
Initiative, kalangan bisnis diajak memikirkan soal kemiskinan melalui praktik CSR. Pada
tanggal 8 – 9 September 2005 bertempat di Jakarta, Indonesia menjadi tuan rumah
AFCSR (Asian Forum for Corporate Social Responsibility) yang memaparkan bagaimana
CSR harus dipraktikkan oleh bisnis di Asia. Terakhir, World Business Council for
Sustainable Development (WBCSD) menyatakan dalam sebuah side-event Pertemuan
PBB New York (14-16/9), bahwa praktik CSR adalah wujud komitmen dunia bisnis untuk
membantu PBB merealisasikan target Millennium Development Goals (MDGs).
Praktek CSR di Manca Negara
3 Chrysanti Hasibuan: “Sekali Lagi, CSR”, 10 November 2006, diakses pada www.swa.co.id
8/36
Di tingkat internasional, ada banyak prinsip yang mendukung praktik CSR di
banyak sektor. Misalnya Equator Principles yang diadopsi oleh banyak lembaga
keuangan internasional. Untuk menunjukkan bahwa bisnis mereka bertanggung jawab,
di level internasional perusahaan sebenarnya bisa menerapkan berbagai standard CSR
seperti :
· AccountAbility’s (AA1000) standard, yang berdasar pada prinsip “Triple Bottom
Line” (Profit, People, Planet) yang digagas oleh John Elkington
· Global Reporting Initiative’s (GRI) – panduan pelaporan perusahaan untuk
mendukung pembangunan berkesinambungan yang digagas oleh PBB lewat
Coalition for Environmentally Responsible Economies (CERES) dan UNEP pada
tahun 1997
· Social Accountability International’s SA8000 standard
· ISO 14000 environmental management standard
· Kemudian, ISO 26000.4
Kesadaran tentang pentingnya mengimplementasikan CSR ini menjadi tren global
seiring dengan semakin maraknya kepedulian masyarakat global terhadap produkproduk
yang ramah lingkungan dan diproduksi dengan memperhatikan kaidah-kaidah
sosial dan prinsip-prinsip hak azasi manusia (HAM). Bank-bank di Eropa menerapkan
kebijakan dalam pemberian pinjaman hanya kepada perusahaan yang
mengimplementasikan CSR dengan baik. Sebagai contoh, bank-bank Eropa hanya
memberikan pinjaman pada perusahaan-perusahaan perkebunan di Asia apabila ada
jaminan dari perusahaan tersebut, yakni ketika membuka lahan perkebunan tidak
dilakukan dengan membakar hutan.
Tren global lainnya dalam pelaksanaan CSR di bidang pasar modal adalah
penerapan indeks yang memasukkan kategori saham-saham perusahaan yang telah
mempraktikkan CSR. Sebagai contoh, New York Stock Exchange memiliki Dow Jones
Sustainability Index (DJSI) bagi saham-saham perusahaan yang dikategorikan memiliki
nilai corporate sustainability dengan salah satu kriterianya adalah praktik CSR. Begitu
pula London Stock Exchange yang memiliki Socially Responsible Investment (SRI) Index
dan Financial Times Stock Exchange (FTSE) yang memiliki FTSE4Good sejak 2001.
4 Yanuar Nugroho, “Commodum Totti Topulo: The Benefit is for the Whole Society”, 20 Maret
2007, diakses dari www.audentis.wordpress.com
9/36
Inisiatif ini mulai diikuti oleh otoritas bursa saham di Asia, seperti di Hanseng Stock
Exchange dan Singapore Stock Exchange. Konsekuensi dari adanya indeks-indeks
tersebut memacu investor global seperti perusahaan dana pensiun dan asuransi yang
hanya akan menanamkan dananya di perusahaan-perusahaan yang sudah masuk dalam
indeks.
Menghadapi tren global dan resistensi masyarakat sekitar perusahaan, maka sudah
saatnya setiap perusahaan memandang serius pengaruh dimensi sosial, ekonomi dan
lingkungan dari setiap aktivitas bisnisnya, serta berusaha membuat laporan setiap
tahunnya kepada stakeholdernya. Laporan bersifat non financial yang dapat digunakan
sebagai acuan oleh perusahaan dalam melihat dimensi sosial, ekonomi dan
lingkungannya.
Di Uni Eropa pada tanggal 13 Maret 2007, Parlemen Uni Eropa mengeluarkan
resolusi berjudul “Corporate Social Responsibility: A new partnership” yang mendesak
Komisi Eropa untuk meningkatkan kewajiban yang terkait dengan persoalan
akuntabilitas perusahaan seperti tugas direktur (directors’ duties), kewajiban langsung
luar negeri (foreign direct liabilities) dan pelaporan kinerja sosial dan lingkungan
perusahaan (environmental and social reporting).
Banyak pihak menyambut gembira perkembangan ini. Semakin lama semakin
disadari bahwa walaupun perusahaan (sektor bisnis) selama ini sudah berkontribusi
sangat positif terhadap pembangunan dunia, pada saat yang sama perusahaan harus
diminta semakin bertanggung jawab. Karena, upaya memupuk laba cenderung (meski
tidak selalu) mengabaikan tanggung jawab sosial.
Di Inggris, sudah lama perusahaan diikat dengan kode etik usaha. Dan karena
sudah ada banyak aturan dan undang-undang yang mengatur praktik bisnis di Inggris,
maka tidak diperlukan UU khusus CSR. Sekedar diketahui, perusahaan di Inggris ini
tidak lepas dari pengamatan publik (masyarakat dan negara) karena harus transparan
dalam praktik bisnisnya. Publik bisa protes terbuka ke perusahaan jika perusahaan
merugikan masyarakat/konsumen/buruh/lingkungan. Melihat perkembangan ini, tahun
lalu, disahkan Companies Act 2006 yang mewajibkan perusahaan yang sudah tercatat di
bursa efek untuk melaporkan bukan saja kinerja perusahaan (kinerja ekonomi dan
financial) melainkan kinerja sosial dan lingkungan. Laporan ini harus terbuka untuk
10/36
diakses publik dan dipertanyakan. Dengan demikian, perusahaan didesak agar semakin
bertanggung jawab.
Mac Oliver – EA Marshal (Company Law Handbook Series, 1991) berpendapat,
perusahaan Amerika yang beroperasi di luar negeri diharuskan melaksanakan Sullivan
Principal dalam rangka melaksanakan Corporate Social Responsibilty, yaitu:
· Tidak ada pemisahan ras (non separation of races) dalam makan, bantuan
hidup dan fasilitas kerja.
· Sama dan adil dalam melaksanakan pekerjaan (equal and fair employment
process).
· Pembayaran upah yang sama untuk pekerjaan yang sebanding (equal payment
compansable work).
· Program training untuk mempersiapkan kulit hitam dan non kulit putih lain
sebagai supervisi, administrasi , klerk, teknisi dalam jumlah yang substansial.
· Memperbanyak kulit hitam dan non kulit putih lain dalam profesi manajemen
dan supervisi.
· Memperbaiki tempat hidup pekerja di luar lingkungan kerja seperti perumahan,
transportasi, kesehatan, sekolah dan rekreasi.5
Implementasi CSR di beberapa negara bisa dijadikan referensi untuk menjadi
contoh penerapan CSR. Australia, Kanada, Perancis, Jerman, Belanda, Inggris, dan
Amerika Serikat telah mengadopsi code of conduct CSR yang meliputi aspek lingkungan
hidup, hubungan industrial, gender, korupsi, dan hak asasi manusia (HAM). Berbasis
pada aspek itu, mereka mengembangkan regulasi guna mengatur CSR. Australia,
misalnya, mewajibkan perusahaan membuat laporan tahunan CSR dan mengatur
standardisasi lingkungan hidup, hubungan industrial, dan HAM. Sementara itu, Kanada
mengatur CSR dalam aspek kesehatan, hubungan industrial, proteksi lingkungan, dan
penyelesaian masalah sosial.
Di beberapa negara dibutuhkan laporan pelaksanaan CSR, walaupun sulit diperoleh
kesepakatan atas ukuran yang digunakan untuk mengukur kinerja perusahaan dalam
5 “Sinopsis UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas”, M. Yahya Harahap, Makalah Seminar
disampaikan di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta, 20 November 2007, dikutip dari MC Oliver – EA
Marshal, "Company Law Handbook Series”, 1991, Hal.321
11/36
aspek sosial. Sementara aspek lingkungan--apalagi aspek ekonomi--memang jauh lebih
mudah diukur. Banyak perusahaan sekarang menggunakan audit eksternal guna
memastikan kebenaran laporan tahunan perseroan yang mencakup kontribusi
perusahaan dalam pembangunan berkelanjutan, biasanya diberi nama laporan CSR atau
laporan keberlanjutan. Akan tetapi laporan tersebut sangat luas formatnya, gayanya dan
metodologi evaluasi yang digunakan (walaupun dalam suatu industri yang sejenis).
Banyak kritik mengatakan bahwa laporan ini hanyalah sekedar "pemanis bibir" (suatu
basa-basi), misalnya saja pada kasus laporan tahunan CSR dari perusahaan Enron dan
juga perusahaan-perusahaan rokok. Namun, dengan semakin berkembangnya konsep
CSR dan metode verifikasi laporannya, kecenderungan yang terjadi sekarang adalah
peningkatan kebenaran isi laporan. Bagaimanapun, laporan CSR atau laporan
keberlanjutan merupakan upaya untuk meningkatkan akuntabilitas perusahaan di mata
para pemangku kepentingannya.
Praktek CSR di Indonesia
Salah satu bentuk dari tanggung jawab sosial perusahaan yang sering diterapkan
di Indonesia adalah community development. Perusahaan yang mengedepankan konsep
ini akan lebih menekankan pembangunan sosial dan pembangunan kapasitas
masyarakat sehingga akan menggali potensi masyarakat lokal yang menjadi modal
sosial perusahaan untuk maju dan berkembang. Selain dapat menciptakan peluangpeluang
sosial-ekonomi masyarakat, menyerap tenaga kerja dengan kualifikasi yang
diinginkan, cara ini juga dapat membangun citra sebagai perusahaan yang ramah dan
peduli lingkungan. Selain itu, akan tumbuh rasa percaya dari masyarakat. Rasa memiliki
perlahan-lahan muncul dari masyarakat sehingga masyarakat merasakan bahwa
kehadiran perusahaan di daerah mereka akan berguna dan bermanfaat.
Kepedulian kepada masyarakat sekitar komunitas dapat diartikan sangat luas,
namun secara singkat dapat dimengerti sebagai peningkatan partisipasi dan posisi
organisasi di dalam sebuah komunitas melalui berbagai upaya kemaslahatan bersama
bagi organisasi dan komunitas. CSR adalah bukan hanya sekedar kegiatan amal, di
mana CSR mengharuskan suatu perusahaan dalam pengambilan keputusannya agar
dengan sungguh-sungguh memperhitungkan akibatnya terhadap seluruh pemangku
kepentingan(stakeholder) perusahaan, termasuk lingkungan hidup. Hal ini
mengharuskan perusahaan untuk membuat keseimbangan antara kepentingan beragam
12/36
pemangku kepentingan eksternal dengan kepentingan pemegang saham, yang
merupakan salah satu pemangku kepentingan internal.
Setidaknya ada tiga alasan penting mengapa kalangan dunia usaha mesti
merespon dan mengembangkan isu tanggung jawab sosial sejalan dengan operasi
usahanya. Pertama, perusahaan adalah bagian dari masyarakat dan oleh karenanya
wajar bila perusahaan memperhatikan kepentingan masyarakat. Kedua, kalangan bisnis
dan masyarakat sebaiknya memiliki hubungan yang bersifat simbiosis mutualisme.
Ketiga, kegiatan tanggung jawab sosial merupakan salah satu cara untuk meredam atau
bahkan menghindari konflik sosial.
Program yang dilakukan oleh suatu perusahaan dalam kaitannya dengan tanggung
jawab sosial di Indonesia dapat digolongkan dalam tiga bentuk, yaitu:
a. Public Relations
Usaha untuk menanamkan persepsi positif kepada komunitas tentang kegiatan
yang dilakukan oleh perusahaan.
b. Strategi defensif
Usaha yang dilakukan perusahaan guna menangkis anggapan negatif komunitas
yang sudah tertanam terhadap kegiatan perusahaan, dan biasanya untuk
melawan ‘serangan’ negatif dari anggapan komunitas. Usaha CSR yang dilakukan
adalah untuk merubah anggapan yang berkembang sebelumnya dengan
menggantinya dengan yang baru yang bersifat positif.
c. Kegiatan yang berasal dari visi perusahaan
Melakukan program untuk kebutuhan komunitas sekitar perusahaan atau
kegiatan perusahaan yang berbeda dari hasil dari perusahaan itu sendiri.
Program pengembangan masyarakat di Indonesia dapat dibagi dalam tiga kategori
yaitu:
a. Community Relation
Yaitu kegiatan-kegiatan yang menyangkut pengembangan kesepahaman melalui
komunikasi dan informasi kepada para pihak yang terkait. Dalam kategori ini,
program lebih cenderung mengarah pada bentuk-bentuk kedermawanan
(charity) perusahaan.
13/36
b. Community Services
Merupakan pelayanan perusahaan untuk memenuhi kepentingan masyarakat
atau kepentingan umum. Inti dari kategori ini adalah memberikan kebutuhan
yang ada di masyarakat dan pemecahan masalah dilakukan oleh masyarakat
sendiri sedangkan perusahaan hanyalah sebagai fasilitator dari pemecahan
masalah tersebut.
c. Community Empowering
Adalah program-program yang berkaitan dengan memberikan akses yang lebih
luas kepada masyarakat untuk menunjang kemandiriannya, seperti pembentukan
usaha industri kecil lainnya yang secara alami anggota masyarakat sudah
mempunyai pranata pendukungnya dan perusahaan memberikan akses kepada
pranata sosial yang ada tersebut agar dapat berlanjut. Dalam kategori ini,
sasaran utama adalah kemandirian komunitas.
Dari sisi masyarakat, praktik CSR yang baik akan meningkatkan nilai-tambah
adanya perusahaan di suatu daerah karena akan menyerap tenaga kerja, meningkatkan
kualitas sosial di daerah tersebut. Sesungguhnya substansi keberadaan CSR adalah
dalam rangka memperkuat keberlanjutan perusahaan itu sendiri dengan jalan
membangun kerja sama antar stakeholder yang difasilitasi perusahaan tersebut dengan
menyusun program-program pengembangan masyarakat sekitarnya.
Pada saat ini di Indonesia, praktek CSR belum menjadi perilaku yang umum,
namun dalam abad informasi dan teknologi serta adanya desakan globalisasi, maka
tuntutan terhadap perusahaan untuk menjalankan CSR semakin besar. Tidak menutup
kemungkinan bahwa CSR menjadi kewajiban baru standar bisnis yang harus dipenuhi
seperti layaknya standar ISO. Dan diperkirakan pada akhir tahun 2009 mendatang akan
diluncurkan ISO 26000 on Social Responsibility, sehingga tuntutan dunia usaha menjadi
semakin jelas akan pentingnya program CSR dijalankan oleh perusahaan apabila
menginginkan keberlanjutan dari perusahaan tersebut.
CSR akan menjadi strategi bisnis yang inheren dalam perusahaan untuk menjaga
atau meningkatkan daya saing melalui reputasi dan kesetiaan merek produk (loyalitas)
atau citra perusahaan. Kedua hal tersebut akan menjadi keunggulan kompetitif
perusahaan yang sulit untuk ditiru oleh para pesaing. Di lain pihak, adanya
14/36
pertumbuhan keinginan dari konsumen untuk membeli produk berdasarkan kriteriakriteria
berbasis nilai-nilai dan etika akan merubah perilaku konsumen di masa
mendatang. Implementasi kebijakan CSR adalah suatu proses yang terus menerus dan
berkelanjutan. Dengan demikian akan tercipta satu ekosistem yang menguntungkan
semua pihak (true win win situation) - konsumen mendapatkan produk unggul yang
ramah lingkungan, produsen pun mendapatkan profit yang sesuai yang pada akhirnya
akan dikembalikan ke tangan masyarakat secara tidak langsung.
Pelaksanaan CSR di Indonesia sangat tergantung pada pimpinan puncak korporasi.
Artinya, kebijakan CSR tidak selalu dijamin selaras dengan visi dan misi korporasi. Jika
pimpinan perusahaan memiliki kesadaran moral yang tinggi, besar kemungkinan
korporasi tersebut menerapkan kebijakan CSR yang benar. Sebaliknya, jika orientasi
pimpinannya hanya berkiblat pada kepentingan kepuasan pemegang saham
(produktivitas tinggi, profit besar, nilai saham tinggi) serta pencapaian prestasi pribadi,
boleh jadi kebijakan CSR hanya sekadar kosmetik.
Sifat CSR yang sukarela, absennya produk hukum yang menunjang dan lemahnya
penegakan hukum telah menjadikan Indonesia sebagai negara ideal bagi korporasi yang
memang memperlakukan CSR sebagai kosmetik. Yang penting, Laporan Sosial
Tahunannya tampil mengkilap, lengkap dengan tampilan foto aktivitas sosial serta dana
program pembangunan komunitas yang telah direalisasi. Sekali lagi untuk mencapai
keberhasilan dalam melakukan program CSR, diperlukannya komitmen yang kuat,
partisipasi aktif, serta ketulusan dari semua pihak yang peduli terhadap programprogram
CSR. Program CSR menjadi begitu penting karena kewajiban manusia untuk
bertanggung jawab atas keutuhan kondisi-kondisi kehidupan umat manusia di masa
datang.
3. Kebutuhan akan Standarisasi CSR
Secara singkat CSR dapat diartikan sebagai tanggung jawab sosial perusahaan
yang bersifat sukarela. CSR adalah konsep yang mendorong organisasi untuk memiliki
tanggung jawab sosial secara seimbang kepada pelanggan, karyawan, masyarakat,
lingkungan, dan seluruh stakeholder. Sedangkan program charity dan community
development merupakan bagian dari pelaksanaan CSR.
15/36
Dalam praktiknya, memang charity dan community development dikenal lebih
dahulu terkait interaksi perusahaan dengan lingkungan sekitarnya. Serta, kebutuhan
perusahaan untuk lebih dapat diterima masyarakat. Sementara itu, lebih jauh CSR
dapat dimaknai sebagai komitmen dalam menjalankan bisnis dengan memperhatikan
aspek sosial, norma-norma dan etika yang berlaku, bukan saja pada lingkungan sekitar,
tapi juga pada lingkup internal dan eksternal yang lebih luas. Tidak hanya itu, CSR
dalam jangka panjang memiliki kontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan dan meningkatnya kesejahteraan.6
Memang ada pendekatan yang berbeda-beda terhadap ketentuan dan pelaksanaan
CSR. Dari sisi pendekatan, misalnya, ada community based development project yang
lebih mengedepankan pembangunan keterampilan dan kemampuan kelompok
masyarakat. Ada pula yang fokus pada penyediaan kebutuhan sarana. Dan, yang paling
umum adalah memberikan bantuan sosial secara langsung maupun tidak langsung guna
membantu perbaikan kesejahteraan masyarakat, baik karena eksternalitas negatif yang
ditimbulkan sendiri maupun yang bertujuan sebagai sumbangan sosial semata.
Trend di Dunia
Dua dekade terakhir ditandai dengan dinamika ekonomi yang memberi peran yang
besar terhadap pasar saham. Dinamika ini, terutama terjadi di Amerika Serikat dan
Inggris serta diikuti berbagai negara lainnya, ditandai dengan makin banyak korporasi
yang memperoleh modal dari pasar saham. Turun naiknya harga saham mencerminkan
nilai dari sebuah perusahaan. Makin tinggi harga saham, makin tinggi market value dari
perusahaan tersebut. Tidak heran, manajemen perusahaan lebih banyak mencurahkan
perhatian pada usaha untuk memaksimalkan nilai saham yang dibeli oleh investor atau
shareholder melalui pasar saham tadi. Strategi bisnis perusahaan, oleh karena itu,
seringkali lebih mencerminkan dimensi jangka pendek dan terkadang mengabaikan
dampak sosial dan lingkungan demi mewujudkan tujuan memaksimalkan shareholder
value tersebut.7
Akibatnya, muncul banyak debat tentang peran dan sepak terjang korporasi
terutama dikaitkan dengan masalah kesenjangan global diatas. Debat ini berujung pada
tuntutan bahwa perusahaan tidak mungkin menghindar dari tanggung jawab sosial
6 “CSR Bukan Untuk Laba-Rugi Semata”, Majalah Marketing Edisi 11/2007
7 Riawandi Yakub, “CSR: Perilaku Korporasi dan Peran Civil Society”, 14 September 2004.
16/36
karena kegiatan mereka memiliki dampak tidak hanya dari dimensi ekonomi tetapi juga
sosial dan lingkungan.
Tuntutan ini tidak hanya muncul dari traditional stakeholder yang memiliki
keterkaitan bisnis secara langsung – seperti supplier, customer, competitor maupun
regulator, tetapi yang lebih penting lagi dari stakeholder lainnya yang
merepresentasikan civil society seperti LSM, kelompok masyarakat lokal, serta aktivis
lingkungan dan HAM. Stakeholder ini merasa prihatin dengan pengaruh korporasi yang
makin besar dan luas. Malah dalam banyak kasus, pengaruh ini telah memasuki wilayah
politik turut mempengaruhi kebijakan pemerintah dimana korporasi tersebut beroperasi.
Pengaruh politik mereka ini seringkali membuat pemerintah melupakan tanggung jawab
dasarnya. Pengaruh ini bahkan tercermin di dalam pemilihan umum dimana korporasi
ikut membiayai kampanye politik. Tidak heran bila praktek ini telah menggeser kontrak
sosial dengan kontrak dengan perusahaan yang menyediakan dana kampanye dan,
pada gilirannya, mendiktekan agenda kepada pemerintah yang berkuasa. Realitas ini
terjadi di banyak negara di dunia baik di negeri maju maupun berkembang.
Perkembangan CSR di mancanegara sudah demikian sangat populer. Di beberapa
negara bahkan, CSR digunakan sebagai salah satu indikator penilaian kinerja sebuah
perusahaan dengan dicantumkannya informasi CSR di catatan laporan keuangan
perusahaan yang bersangkutan. Para pendukung gagasan CSR, menggunakan teori
kontrak sosial dan stakeholder approach untuk mendukung argumen mereka. Di bawah
teori kontrak sosial, perusahaan ada karena ada persetujuan dari masyarakat
(corporations exist, then, only by social permission). Konsekuensinya, perusahaan harus
melibatkan masyarakat dalam melaksanakan operasinya bisnisnya.
Sementara stakeholder approach berpandangan bahwa keberadaan perusahaan
bukan semata-mata bertujuan untuk melayani kepentingan pemegang saham
(stockholders) melainkan juga melayani kepentingan pihak-pihak lainnya (stakeholders)
termasuk masyarakat di dalamnya. Dengan demikian cukup jelas bahwa masyarakat
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perusahaan dan begitu juga sebaliknya.
Sehingga perlu adanya hubungan yang saling menguntungkan di antara kedua belah
pihak.
Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Hill et. al (2007) memberikan gambaran
yang mendukung pelaksanaan CSR sebagian bagian dari strategi bisnis perusahaan. Hill
et. al melakukan penelitian terhadap beberapa perusahaan di Amerika Serikat, Eropa
17/36
dan Asia yang melakukan praktik CSR lalu menghubungkannya dengan value
perusahaan yang diukur dari nilai saham perusahaan-perusahaan tersebut.
Penelitian mereka menemukan bahwa setelah mengontrol variabel-varaibel lainnya
perusahan-perusahaan yang melakukan CSR, pada jangka pendek (3-5 tahun) tidak
mengalami kenaikan nilai saham yang signifikan, namun, dalam jangka panjang (10
tahun), perusahaan-perusahaan yang berkomitmen terhadap CSR tersebut, mengalami
kenaikan nilai saham yang sangat signifikan dibandingkan dengan perusahaanperusahaan
yang tidak melakukan praktik CSR.
Dari penelitian tersebut bisa dilihat bahwa CSR dalam jangka pendek memang
tidak memberikan value yang memadai bagi pemegang saham, karena biaya CSR,
malahan mengurangi keuntungan yang bisa dicapai perusahaan. Namun demikian,
dalam jangka panjang, perusahaan yang memiliki komitmen kuat di CSR, ternyata
kinerjanya melampaui perusahan-perusahaan yang tidak memiliki komitmen terhadap
CSR. Pendeknya, CSR dapat menciptakan value bagi perusahaan, terutama dalam
jangka panjang.
Yang dapat dilakukan adalah mencoba untuk mengenali kerangka global dan
mencari pendekatan mengenai prinsip-prinsip dasar yang dapat menjadi pedoman untuk
penerapan CSR secara umum. Beberapa diantaranya adalah Menetapkan visi;
Memformulasikan misi; Menetapkan tujuan; Menetapkan kebijakan; Merancang sruktur
organisasi; Menyediakan SDM; Merancang program operasional; Membagi wilayah;
Mengelola dana
Standardisasi Pelaksanaan CSR di Indonesia
Pada tahun 1990an para aktivis pembangunan melihat persoalan kemiskinan
sebagai persoalan ketimpangan dalam sistem politik. Menurut pandangan mereka,
kelompok-kelompok seperti komunitas lokal, masyarakat adat, dan buruh tidak
mempunyai kesempatan untuk menentukan pembangunan macam apa yang
dibutuhkan. Akibatnya, demikian menurut pandangan mereka, pembangunan sering
tidak sesuai dengan kebutuhan kelompok masyarakat tersebut dan sering timpang
dalam pembagian keuntungan dan resiko.
Jalan keluar yang diusulkan para aktivis pembangunan adalah merubah skema
pembangunan menjadi memberi kemungkinan berbagai kelompok melindungi
18/36
kepentingannya. Kata kuncinya transparansi, partisipasi, dan penguatan kelompok
lemah. Pemerintah dan perusahaan dituntut membuat mekanisme untuk berkomunikasi
dengan lebih banyak pihak dan memperhatikan kepentingan-kepentingan mereka.
Terakhir, harus ada upaya penguatan kelompok masyarakat agar dapat berpartisipasi
dengan benar. Ketiga kata kunci diatas pada akhirnya menjadi semacam prinsip yang
dianggap seharusnya ada bagi organisasi apapun dalam masyarakat.
CSR secara umum merupakan kontribusi menyeluruh dari dunia usaha terhadap
pembangunan berkelanjutan, dengan mempertimbangkan dampak ekonomi, sosial dan
lingkungan dari kegiatannya.
Sebagai salah satu pendekatan sukarela yang berada pada tingkat beyond
compliance, penerapan CSR saat ini berkembang pesat termasuk di Indonesia, sebagai
respon dunia usaha yang melihat aspek lingkungan dan sosial sebagai peluang untuk
meningkatkan daya saing serta sebagai bagian dari pengelolaan risiko, menuju
sustainability (keberlanjutan) dari kegiatan usahanya.
Penerapan kegiatan CSR di Indonesia baru dimulai pada awal tahun 2000,
walaupun kegiatan dengan esensi dasar yang sama telah berjalan sejak tahun 1970-an,
dengan tingkat yang bervariasi, mulai dari yang paling sederhana seperti donasi sampai
kepada yang komprehensif seperti terintegrasi ke dalam strategi perusahaan dalam
mengoperasikan usahanya. Belakangan melalui Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas, Pemerintah memasukkan pengaturan Tanggung Jawab
Sosial dan Lingkungan kedalam Undang-Undang Perseroan Terbatas.
Pada dasarnya ada beberapa hal yang mendasari pemerintah mengambil kebijakan
pengaturan tanggung jawab sosial dan lingkungan Pertama adalah keprihatinan
pemerintah atas praktek korporasi yang mengabaikan aspek sosial lingkungan yang
mengakibatkan kerugian di pihak masyarakat. Kedua adalah sebagai wujud upaya
entitas negara dalam penentuan standard aktivitas sosial lingkungan yang sesuai
dengan konteks nasional maupun lokal.
Menurut Endro Sampurno pemahaman yang dimiliki pemerintah mempunyai
kecenderungan memaknai CSR semata-mata hanya karena peluang sumberdaya
finansial yang dapat segera dicurahkan perusahaan untuk memenuhi kewajiban atas
regulasi yang berlaku. Memahami CSR hanya sebatas sumber daya finansial tentunya
akan mereduksi arti CSR itu sendiri.
19/36
Akibat kebijakan tersebut aktivitas tanggung jawab sosial perusahaan akan
menjadi tanggung jawab legal yang mengabaikan sejumlah prasyarat yang
memungkinkan terwujudnya makna dasar CSR tersebut, yakni sebagai pilihan sadar,
adanya kebebasan, dan kemauan bertindak. Mewajibkan CSR, apa pun alasannya, jelas
memberangus sekaligus ruang-ruang pilihan yang ada, berikut kesempatan masyarakat
mengukur derajat pemaknaannya dalam praktik. Konsekuensi selanjutnya adalah CSR
akan bermakna sebatas upaya pencegahan dan dampak negatif keberadaan perusahaan
di lingkungan sekitarnya (bergantung pada core business-nya masing-masing) padahal
melihat perkembangan aktivitas CSR di Indonesia semakin memperlihatkan semakin
sinergisnya program CSR dengan beberapa tujuan pemerintah. Terakhir yang mungkin
terjadi adalah aktivitas CSR dengan regulasi seperti itu akan mengarahkan program
pada formalitas pemenuhan kewajiban dan terkesan basa-basi.8
Keluhan hubungan yang tidak harmonis antara perusahaan dan pemangku
kepentingannya sesungguhnya sudah terdengar setidaknya dalam dua dekade
belakangan. Gerakan sosial Indonesia, khususnya gerakan buruh dan lingkungan, telah
menunjuk dengan tepat adanya masalah itu sejak dulu. Namun, tanggapan positif
terhadapnya memang baru terjadi belakangan. Di masa lampau, hampir selalu keluhan
pada kinerja sosial dan lingkungan perusahaan akan membuat mereka yang
menyatakannya berhadapan dengan aparat keamanan. Walaupun kini hal tersebut
belum menghilang sepenuhnya, tanggapan positif atas keluhan telah lebih banyak
terdengar.
Kiranya, disinsentif untuk perusahaan yang berkinerja buruk kini telah banyak
tersedia. Gerakan sosial kita tidak kurang memberikan tekanan kepada perusahaan
berkinerja buruk. Payahnya, banyak perusahaan juga yang mulai menyadari pentingnya
meningkatkan kinerja sosial dan lingkungan ternyata tidak mendapatkan insentif yang
memadai dari berbagai pemangku kepentingan. Bahkan mereka yang secara
fundamental hendak berubah malah menjadi sasaran tembak. Karena dianggap
"melunak", perusahaan tersebut kerap dianggap sebagai sumber uang yang bisa diambil
kapan saja melalui berbagai cara.9
8 Roby Akbar, “Benang Kusut Regulasi CSR”, 3 Desember 2007, diakses dari roryakbar.wordpress.com
9 Jalal, “Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia”, Koran Tempo, 26 September 2006
20/36
Di antara berbagai pemangku kepentingan itu terdapat pemerintah. Selain
berbagai perangkat yang diciptakan di tingkat pusat, beberapa pemerintah kabupaten
telah membuat berbagai macam forum CSR. Regulasi hubungan industrial juga telah
dibuat di beberapa provinsi. Di satu sisi, perkembangan ini cukup menggembirakan
karena menunjukkan tumbuhnya pemahaman pemerintah atas potensi kemitraan
pembangunan dengan perusahaan. Di sisi lain, terdapat kekhawatiran bahwa
pemerintah sedang memindahkan beban pembangunannya ke perusahaan. Berbagai
regulasi yang dibuat telah juga menjadi tambahan beban baru bagi perusahaan, alih-alih
menjadi insentif bagi mereka yang hendak meningkatkan kinerja CSR-nya.
Secara teoretis telah diungkapkan banyak pakar bahwa pemerintah seharusnya
menciptakan prakondisi yang memadai agar perusahaan dapat beroperasi dengan
kepastian hukum yang tinggi. Dalam hal ini, berbagai regulasi yang ada tidak hanya
berfungsi memberikan batasan kinerja minimal bagi perusahaan, tapi juga memberikan
perlindungan penuh bagi mereka yang telah mencapainya. Di luar itu, pemerintah bisa
pula membantu perusahaan yang sedang berupaya melampaui standar minimal dengan
berbagai cara. Di antaranya dengan memberikan legitimasi, menjadi penghubung yang
jujur dengan pemangku kepentingan lain, meningkatkan kepedulian pihak lain atas
upaya yang sedang dijalankan perusahaan, serta mencurahkan sumber dayanya untuk
bersama-sama mencapai tujuan keberlanjutan.
Mengingat CSR sulit terlihat dengan kasat mata, maka tidak mudah untuk
melakukan pengukuran tingkat keberhasilan yang dicapai. Oleh karena itu diperlukan
berbagai pendekatan untuk menjadikannya kuantitatif dengan menggunakan
pendekatan Triple Bottom Line atau Sustainability Reporting. Dari sisi ekonomi,
penggunaan sumber daya alam dapat dihitung dengan akuntansi sumber daya alam,
sedangkan pengeluaran dan penghematan biaya lingkungan dapat dihitung dengan
menggunakan akuntansi lingkungan.10
Terdapat dua hal yang dapat mendorong perusahaan menerapkan CSR, yaitu
bersifat dari luar perusahaan (external drivers) dan dari dalam perusahaan (internal
drivers). Termasuk kategori pendorong dari luar, misalnya adanya regulasi, hukum, dan
diwajibkannya analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Pemerintah melalui
10 “Proper Sebagai Instrumen Pengukuran Penerapan CSR Oleh Perusahaan”, Makalah Kementerian Negara
Lingkungan Hidup, 23 Agustus 2006
21/36
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) telah memberlakukan audit Proper (Program
penilaian peningkatan kinerja perusahaan). Pendorong dari dalam perusahaan terutama
bersumber dari perilaku manajemen dan pemilik perusahaan (stakeholders), termasuk
tingkat kepedulian/tanggung jawab perusahaan untuk membangun masyarakat sekitar
(community development responsibility).
Ada empat manfaat yang diperoleh bagi perusahaan dengan
mengimplementasikan CSR. Pertama, keberadaan perusahaan dapat tumbuh dan
berkelanjutan dan perusahaan mendapatkan citra (image) yang positif dari masyarakat
luas. Kedua, perusahaan lebih mudah memperoleh akses terhadap kapital (modal).
Ketiga, perusahaan dapat mempertahankan sumber daya manusia (human resources)
yang berkualitas. Keempat, perusahaan dapat meningkatkan pengambilan keputusan
pada hal-hal yang kritis (critical decision making) dan mempermudah pengelolaan
manajemen risiko (risk management).11
Dalam menangani isu-isu sosial, ada dua pendekatan yang dapat dilakukan oleh
perusahaan yaitu: Responsive CSR dan Strategic CSR. Agenda sosial perusahaan perlu
melihat jauh melebihi harapan masyarakat, kepada peluang untuk memperoleh manfaat
sosial, ekonomi, dan lingkungan secara bersamaan. Bergeser dari sekadar mengurangi
kerusakan menuju penemuan jalan untuk mendukung strategi perusahaan dengan
meningkatkan kondisi sosial. Agenda sosial seperti ini harus responsif terhadap
pemangku kepentingan.
Isu sosial yang mempengaruhi sebuah perusahaan terbagi dalam tiga kategori.
Pertama, isu sosial generik, yakni isu sosial yang tidak dipengaruhi secara signifikan oleh
operasi perusahaan dan tidak mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk
berkompetisi dalam jangka panjang. Kedua, dampak sosial value chain, yakni isu sosial
yang secara signifikan dipengaruhi oleh aktivitas normal perusahaan. Ketiga, dimensi
sosial dari konteks kompetitif, yakni isu sosial di lingkungan eksternal perusahaan yang
secara signifikan mempengaruhi kemampuan berkompetisi perusahaan.
Setiap perusahaan perlu mengklasifikasikan isu sosial ke dalam tiga kategori
tersebut untuk setiap unit bisnis dan lokasi utama, kemudian menyusunnya berdasarkan
11 Muhammad Arief Effendi, “Implementasi GCG Melalui CSR”, 7 November 2007, diakses dari
muhariefeffendi.wordpress.com
22/36
dampak potensial. Isu sosial yang sama bisa masuk dalam kategori yang berbeda,
tergantung unit bisnis, industri, dan tempatnya.
Ketegangan yang sering terjadi antara sebuah perusahaan dan komunitas atau
masyarakat di sekitar perusahaan berlokasi umumnya muncul lantaran terabaikannya
komitmen dan pelaksanaan tanggung jawab sosial tersebut. Perubahan orientasi sosial
politik di tanah air dapat memunculkan kembali apresiasi rakyat yang terbagi-bagi dalam
wilayah administratif dalam upaya menciptakan kembali akses mereka terhadap sumber
daya yang ada di wilayahnya.
Seringkali kepentingan perusahaan diseberangkan dengan kepentingan
masyarakat. Sesungguhnya perusahaan dan masyarakat memiliki saling ketergantungan
yang tinggi. Saling ketergantungan antara perusahaan dan masyarakat berimplikasi
bahwa baik keputusan bisnis dan kebijakan sosial harus mengikuti prinsip berbagi
keuntungan, yaitu pilihan-pilihan harus menguntungkan kedua belah pihak.
Saling ketergantungan antara sebuah perusahaan dengan masyarakat memiliki
dua bentuk. Pertama, inside-out linkages, bahwa perusahaan memiliki dampak terhadap
masyarakat melalui operasi bisnisnya secara normal. Dalam hal ini perusahaan perlu
memerhatikan dampak dari semua aktivitas produksinya, aktivitas pengembangan
sumber daya manusia, pemasaran, penjualan, logistik, dan aktivitas lainnya.
Kedua, outside-in-linkages, di mana kondisi sosial eksternal juga memengaruhi
perusahaan, menjadi lebih baik atau lebih buruk. Ini meliputi kuantitas dan kualitas
input bisnis yang tersedia-sumber daya manusia, infrastruktur transportasi; peraturan
dan insentif yang mengatur kompetisi-seperti kebijakan yang melindungi hak kekayaan
intelektual, menjamin transparansi, mencegah korupsi, dan mendorong investasi; besar
dan kompleksitas permintaan daerah setempat; ketersediaan industri pendukung di
daerah setempat, seperti penyedia jasa dan produsen mesin.12
Etika sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat
membimbing dan mengingatkan anggotanya kepada suatu tindakan yang terpuji (good
conduct) yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan. Etika di dalam bisnis sudah tentu
12 “Menuju Standarisasi CSR”, Mas Achmad Daniri, (Ketua Mirror Committee on Social Responsibility
Indonesia) dan Maria Dian Nurani (Anggota Mirror Committee on Social Responsibility Indonesia), telah
dimuat di Harian Bisnis Indonesia, 19 Juli 2007
23/36
harus disepakati oleh orang-orang yang berada dalam kelompok bisnis serta kelompok
yang terkait lainnya.
Secara umum, prinsip-prinsip yang berlaku dalam bisnis yang baik sesungguhnya
tidak bisa dilepaskan dari kehidupan kita sebagai manusia, dan prinsip-prinsip ini sangat
erat terkait dengan sistem nilai yang dianut oleh masing-masing masyarakat. Prinsip
etika bisnis itu sendiri adalah:
· Prinsip otonomi; adalah sikap dan kemampuan manusia untuk mengambil
keputusan dan bertindak berdasarkan kesadarannya tentang apa yang
dianggapnya baik untuk dilakukan.
· Prinsip kejujuran.
· Prinsip keadilan.
· Prinsip saling menguntungkan (mutual benefit principle).
· Prinsip integritas moral; terutama dihayati sebagai tuntutan internal dalam diri
pelaku bisnis atau perusahaan, agar perlu menjalankan bisnis dengan tetap
menjaga nama baik pimpinan/orang-orangnya maupun perusahaannya.
Bagi masyarakat, praktik CSR yang baik akan meningkatkan nilai-tambah adanya
perusahaan di suatu daerah karena akan menyerap tenaga kerja, meningkatkan kualitas
sosial di daerah tersebut. Pekerja lokal yang diserap akan mendapatkan perlindungan
akan hak-haknya sebagai pekerja. Jika ada masyarakat adat/masyarakat lokal, praktek
CSR akan menghargai keberadaan tradisi dan budaya lokal tersebut.
Agar efektif CSR memerlukan peran civil society yang aktif. Setidaknya terdapat
tiga wilayah dimana masyarakat dapat menunjukkan perannya yaitu:
a. Kampanye melawan korporasi yang melakukan praktik bisnis yang tidak sejalan
dengan prinsip CSR lewat berbagai aktivitas lobby dan advokasi.
b. Mengembangkan kompetensi untuk meningkatkan kapasitas dan membangun
institusi yang terkait dengan CSR
c. Mengembangkan inisiatif multi-stakeholder yang melibatkan berbagai elemen
dari masyarakat, korporasi dan pemerintah untuk mempromosikan dan
meningkatkan kualitas penerapan CSR
24/36
Lewat ISO 26000 terlihat upaya untuk mengakomodir kepentingan semua
stakeholder. Dalam hal ini, peran pemerintah menjadi penting. Pemerintah harus punya
pemahaman menyeluruh soal CSR agar bisa melindungi kepentingan yang lebih luas,
yaitu pembangunan nasional. Jangan lupa, dari kacamata kepentingan ekonomi
pembangunan nasional, sektor bisnis atau perusahaan itu ada untuk pembangunan,
bukan sebaliknya. Pemerintah perlu jelas bersikap dalam hal ini. Misalnya, di satu sisi,
mendorong agar perusahaan-perusahaan yang sudah tercatat di bursa efek harus
melaporkan pelaksanaan CSR kepada publik.
Cakupan dari ISO 26000 ini antara lain untuk membantu organisasi-organisasi
menjalankan tanggung jawab sosialnya; memberikan ‘practical guidances’ yang
berhubungan dengan operasionalisasi tanggung jawab sosial; identifikasi dan pemilihan
stakeholders; mempercepat laporan kredibilitas dan klaim mengenai tanggungjawab
sosial; untuk menekankan kepada hasil performansi dan peningkatannya; untuk
meningkatkan keyakinan dan kepuasan atas konsumen dan ‘stakeholders’ lainnya; untuk
menjadi konsisten dan tidak berkonflik dengan traktat internasional dan standarisasi ISO
lainnya; tidak bermaksud mengurangi otoritas pemerintah dalam menjalankan tanggung
jawab sosial oleh suatu organisasi; dan, mempromosikan terminologi umum dalam
lingkupan tanggung jawab sosial dan semakin memperluas pengetahuan mengenai
tanggung jawab sosial. 13
ISO 26000 sesuatu yang tidak bisa ditawar. Meskipun, dalam rilis yang diambil dari
website resmi ISO, standarisasi mengenai Social Responsibility, memang dinyatakan
sebagai sesuatu yang tidak wajib, tetap saja ini akan menjadi trend yang akan naik
daun di tahun 2009 dan harus dihadapi dengan sungguh–sungguh, jika ingin tetap eksis
dalam dunia usaha di Indonesia. ISO 26000 ini bisa dijadikan sebagai rujukan atau
pedoman dalam pembentukan pedoman prinsip pelaksanaan CSR di Indonesia.
Di sisi lain, pemerintah harus bisa bernegosiasi di level internasional untuk
membantu produk Indonesia bisa masuk ke pasar internasional secara fair. Misalnya
lewat mekanisme WTO. Ini bisa dibarengi dengan upaya pemerintah memberikan
bantuan/asistensi pada perusahaan yang belum/menjadi perusahaan publik agar
penerapan CSR-nya juga diapresiasi melalui mekanisme selain ISO. Misalnya dengan
13 Indonesia Business Links, “Integrating CSR a Business Strategy: How to adopt CEO values into CSR
Policies”, Hotel Nikko Jakarta 2 Mei 2007
25/36
menciptakan/menerapkan standard nasional CSR yang lebih bottom-up atau insentif
tertentu yang bisa meyakinkan pasar internasional untuk menerima produk Indonesia.
Pada saat ini CSR dapat dianggap sebagai investasi masa depan bagi perusahaan.
Minat para pemilik modal dalam menanamkan modal di perusahaan yang telah
menerapkan CSR lebih besar, dibandingkan dengan yang tidak menerapkan CSR. Melalui
program CSR dapat dibangun komunikasi yang efektif dan hubungan yang harmonis
antara perusahaan dengan masyarakat sekitarnya.
4. Pelaksanaan CSR: Kewajiban Versus Sukarela
CSR adalah komitmen yang berkesinambungan dari kalangan bisnis, untuk
berperilaku secara etis dan memberi kontribusi bagi perkembangan ekonomi, seraya
meningkatkan kualitas kehidupan dari karyawan dan keluarganya, serta komunitas lokal
dan masyarakat luas pada umumnya (CSR: Meeting Changing Expectations, 1999).
Ada enam kecenderungan utama, yang semakin menegaskan arti penting CSR.
Yaitu: meningkatnya kesenjangan antara kaya dan miskin; posisi negara yang semakin
berjarak pada rakyatnya; makin mengemukanya arti kesinambungan; makin gencarnya
sorotan kritis dan resistensi dari publik, bahkan yang bersifat anti-perusahaan; tren ke
arah transparansi; dan harapan-harapan bagi terwujudnya kehidupan yang lebih baik
dan manusiawi pada era milenium baru.
Pemerintah juga dapat melakukan banyak aktivitas nonregulatori yang mendorong
CSR seperti koordinasi kebijakan mengenai CSR antardepartemen, meningkatkan profil
CSR sehingga makin banyak perusahaan tertarik, membiayai penelitian-penelitian
tentang CSR, mempromosikan CSR pada UKM, serta menciptakan insentif untuk
perusahaan-perusahaan yang memiliki kinerja CSR yang baik—selain memberi
disinsentif bagi mereka yang berkinerja buruk. Terakhir, pemerintah dapat
mendemonstrasikan praktik-praktik terbaik CSR, sebagai sarana perusahaan-perusahaan
untuk belajar bagaimana kinerja terbaik itu bisa dicapai.
Penerapan CSR di Manca Negara
Belajar dari pengalaman negara-negara lain, tidak ada satupun negara yang
dengan presisi mencantumkan persentase atau jumlah yang harus dikeluarkan untuk
26/36
investasi sosial perusahaan. Akan sangat mustahil menemukan negara yang berbuat
demikian, karena yang banyak dikembangkan oleh negara-negara maju adalah sistem
insentif yang mendorong perusahaan melakukan investasi sosial sebagai bagian dari
strategi welfare mix (kesejahteraan sebagai tanggung jawab bersama). Di Amerika
Serikat misalnya, dengan pertimbangan penguatan kelompok-kelompok masyarakat
sipil, maka perusahaan yang menyumbang kepada kelompok yang masuk dalam
kategori 501(c)3, akan mendapatkan pemotongan pajak.
Pendekatan masing-masing pemerintah di Eropa, misalnya, berbeda-beda, namun
tidak satupun di antara mereka yang meregulasi dana CSR. Pemerintah Perancis
mengharuskan perusahaan untuk melaporkan secara mendetail dampak mereka dalam
aspek sosial dan lingkungan. Pemerintah Belgia menyediakan label khusus bagi
perusahaan yang dalam praktiknya sepanjang rantai produksi telah benar-benar sesuai
dengan delapan konvensi ILO. Pemerintah Denmark mengembangkan Danish Social
Index dan melakukan pengukuran langsung atas kinerja perusahaan dalam kebijakan
mengenai pekerja dan fakta kondisi kerja. Sementara CSR-SC yang dibentuk Pemerintah
Italia mengembangkan petunjuk yang dapat dipergunakan oleh perusahaan untuk
melakukan penilaian diri, pengukuran, pelaporan, serta penjaminan kebenaran isi
laporan.
Jalan yang ditempuh oleh Kementerian CSR Inggris—yang mirip dengan apa yang
dilakukan Pemerintah Perancis—sangat menarik untuk dicoba, yaitu dengan mewajibkan
pelaporan tahunan kinerja sosial dan lingkungan perusahaan selain kinerja finansial
yang memang sudah biasa dilakukan. Dengan upaya pemerintah yang mendorong
transparensi kinerja ini, maka mau tidak mau perusahaan kemudian harus
meningkatkan kinerjanya karena iklim persaingan usaha yang ketat akan memberikan
disinsentif bagi mereka yang memiliki kelemahan dalam kinerja CSR. Regulasi yang
dibuat juga memberikan kewenangan penuh bagi Pemerintah untuk mengecek
kebenaran laporan, dan tentu saja mengatur apa konsekuensi kebohongan terhadap
publik yang dilakukan perusahaan dalam laporannya.
Tidak heran, CSR telah menjadi isu bisnis yang terus menguat. Isu ini sering
diperdebatkan dengan pendekatan nilai-nilai etika, dan memberi tekanan yang semakin
besar pada kalangan bisnis untuk berperan dalam masalah-masalah sosial, yang akan
terus tumbuh. Isu CSR sendiri juga sering diangkat oleh kalangan bisnis, manakala
27/36
pemerintahan di berbagai negara telah gagal menawarkan solusi terhadap berbagai
masalah kemasyarakatan.
Pelaksanaan CSR di Indonesia
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang disahkan
DPR tanggal 20 Juli 2007 menandai babak baru pengaturan CSR di negeri ini. Keempat
ayat dalam Pasal 74 UU tersebut menetapkan kewajiban semua perusahaan di bidang
sumber daya alam untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.
Pasal 74 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan muncul pada saat
pembahasan ditingkat Panja dan Pansus DPR. Pada konsep awal yang diajukan
pemerintah, tidak ada pengaturan seperti itu. Saat dengar pendapat dengan Kadin dan
para pemangku kepentingan lain, materi pasal 74 ini pun belum ada. Lalu sekitar 28
asosiasi pengusaha termasuk Kadin dan Apindo, keberatan terhadap RUU PT. Mereka
meminta pemerintah dan DPR membatalkan pengaturan tentang kewajiban tanggung
jawab sosial dan lingkungan dalam RUU PT. Substansi dalam ketentuan pasal 74
Undang-Undang nomor 40 tentang Perseroan Terbatas mengandung makna,
mewajibkan tanggung jawab sosial dan lingkungan mencakup pemenuhan peraturan
perundangan terkait, penyediaan anggaran tanggung jawab sosial dan lingkungan, dan
kewajiban melaporkannya. Mengikuti perkembangan berita di media massa yang
menyangkut pembahasan pasal 74, sesungguhnya rumusan itu sudah mengalami
penghalusan cukup lumayan lantaran kritikan keras para pelaku usaha. Tadinya,
tanggung jawab sosial dan lingkungan tidak hanya berlaku untuk perusahaan yang
bergerak di bidang atau berkaitan dengan sumber daya alam, tetapi berlaku untuk
semua perusahaan, tidak terkecuali perusahaan skala UKM, baru berdiri, atau masih
dalam kondisi merugi.
Ternyata lingkup dan pengertian tanggung jawab sosial dan lingkungan yang
dimaksud pasal 74 UU PT berbeda dengan lingkup dan pengertian CSR dalam pustaka
maupun definisi resmi yang dikeluarkan oleh lembaga internasional (The World Bank,
ISO 26000 dan sebagainya) serta praktek yang telah berjalan di tanah air maupun yang
berlaku secara internasional.
28/36
Lalu sebenarnya seperti apa best practice mengenai CSR ini? Saat ini ISO
(International Organization for Standardization), tengah menggodok konsep standar CSR
yang diperkirakan rampung pada akhir 2009. Standar itu dikenal dengan nama ISO
26000 Guidance on Social Responsibility. Dengan standar ini, pada akhir 2009 hanya
akan dikenal satu konsep CSR. Selama ini dikenal banyak konsep mengenai CSR yang
digunakan oleh berbagai lembaga internasional dan para pakar.
Pada dasarnya kegiatan CSR sangat beragam bergantung pada proses interaksi
sosial, bersifat sukarela didasarkan pada dorongan moral dan etika, dan biasanya
melebihi dari hanya sekedar kewajiban memenuhi peraturan perundang-undangan. Oleh
karena itu, didalam praktek, penerapan CSR selalu disesuaikan dengan kemampuan
masing-masing perusahaan dan kebutuhan masyarakat. Idealnya terlebih dahulu
dirumuskan bersama antara 3 pilar yakni dunia usaha, pemerintah dan masyarakat
setempat dan kemudian dilaksanakan sendiri oleh masing-masing perusahaan. Dengan
demikian adalah tidak mungkin untuk mengukur pelaksanaan CSR.
Selain itu, pelaksanaan CSR merupakan bagian dari good corporate governance
yang mestinya didorong melalui pendekatan etika maupun pendekatan pasar (insentif).
Pendekatan regulasi sebaiknya dilakukan untuk menegakkan prinsip transparansi dan
fairness dalam kaitan untuk menyamakan level of playing field pelaku ekonomi. Sebagai
contoh, UU dapat mewajibkan semua perseroan untuk melaporkan, bukan hanya aspek
keuangan, tetapi yang mencakup kegiatan CSR dan penerapan GCG.
Seringkali kepentingan perusahaan diseberangkan dengan kepentingan
masyarakat. Tak banyak yang menyadari bahwa sesungguhnya perusahaan dan
masyarakat memiliki saling ketergantungan yang tinggi. Saling ketergantungan antara
perusahaan dan masyarakat berimplikasi bahwa baik keputusan bisnis dan kebijakan
sosial harus mengikuti prinsip berbagi manfaat (shared value), yaitu pilihan-pilihan harus
meberi manfaat kedua belah pihak.
Lebih menarik lagi ternyata terdapat inkonsistensi antara pasal 1 dengan pasal 74
serta penjelasan pasal 74 itu sendiri. Pada pasal 1 Undang-Undang nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas memuat “… komitmen Perseroan Terbatas untuk
berperan serta”, sedangkan pasal 74 ayat 1 “… wajib melaksanakan Tanggung Jawab
Sosial dan Lingkungan”. Pada pasal 1 mengandung makna pelaksanaan CSR bersifat
sukarela sebagai kesadaran masing-masing perusahaan atau tuntutan masyarakat.
Sedangkan pasal 74 ayat 1 bermakna suatu kewajiban. Lebih jauh lagi kewajiban TJSL
29/36
pada pasal 74 ayat 1 tidak memiliki keterkaitan langsung dengan sanksinya pada pasal
74 ayat 3. Sanksi apabila tidak melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan
tidak diatur dalam UU PT tetapi digantungkan kepada peraturan perundang-undangan
lain yang terkait.
Demikian juga pada pasal 74 tersirat bahwa PT yang terkena tanggung jawab
sosial dan lingkungan, dibatasi namun dalam penjelasannya dapat diketahui bahwa
semua perseroan terkena kewajiban tanggung jawab sosial dan lingkungan, karena
penjelasan pasal 74 menggunakan penafsiran yang luas. Hal ini dapat dilihat pada bunyi
pasal 74 ayat 1 dimana perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang
dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab
sosial dan lingkungan, sedangkan pada penjelasan pasal 74 menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan perseroan yang menjalankan kegitan usahanya di bidang sumber
daya alam adalah perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan
sumber daya alam. Berikutnya yang dimaksud dengan perseroan yang menjalankan
usahanya berkaitan dengan sumber daya alam adalah perseroan yang tidak mengelola
dan tidak memanfaatkan sumber daya alam tetapi kegiatan usahanya berdampak pada
fungsi sumber daya alam. Dengan demikian jelas tidak ada satupun perseroan terbatas
yang tidak berkaitan atau tidak memanfaatkan sumber daya alam.
Kritik yang muncul dari kalangan pebisnis bahwa CSR adalah konsep dimana
perusahaan, sesuai kemampuannya, melakukan kegiatan yang meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan lingkungan hidup. Kegiatan-kegiatan itu adalah diluar
kewajiban perusahaan yang umum dan sudah ditetapkan dalam peraturan perundangan
formal, seperti ketertiban usaha, pajak atas keuntungan dan standar lingkungan hidup.
Mereka berpendapat, jika diatur, selain bertentangan dengan prinsip kerelaan, CSR juga
akan memberi beban baru kepada dunia usaha.
CSR adalah konsep yang terus berkembang baik dari sudut pendekatan elemen
maupun penerapannya. CSR sebenarnya merupakan proses interaksi sosial antara
perusahaan dan masyarakatnya. Perusahaan melakukan CSR bisa karena tuntutan
komunitas atau karena pertimbangannya sendiri. Bidangnya pun amat beragam ada
pada kondisi yang berbeda-beda.
Proses regulasi yang menyangkut kewajiban CSR perlu memenuhi pembuatan
peraturan yang terbuka dan akuntabel. Pertama, harus jelas apa yang diatur. Lalu,
harus dipertimbangkan semua kenyataan di lapangan, termasuk orientasi dan kapasitas
30/36
birokrasi dan aparat penegak hukum serta badan-badan yang melakukan penetapan dan
penilaian standar. Yang juga harus diperhitungkan adalah kondisi politik, termasuk
kepercayaan pada pemerintah dan perilaku para aktor politik dalam meletakkan masalah
kesejahteraan umum. Ini artinya harus melalui dialog bersama para pemangku
kepentingan, seperti pelaku usaha, kelompok masyarakat yang akan terkena dampak,
dan organisasi pelaksana.
Semua proses ini tidak mudah. Itu sebabnya di negara-negara Eropa yang secara
institusional jauh lebih matang dari pada Indonesia, proses regulasi yang menyangkut
kewajiban perusahaan berjalan lama dan hati-hati. European Union sebagai kumpulan
negara yang paling menaruh perhatian terhadap CSR, telah menyatakan sikapnya, CSR
bukan sesuatu yang akan diatur.14
Dengan diatur dalam suatu UU, CSR kini menjadi tanggung jawab legal dan
bersifat wajib. Namun, dengan asumsi bahwa akhirnya kalangan bisnis bisa
menyepakatinya makna sosial yang terkandung didalamnya, gagasan CSR mengalami
distorsi serius. Pertama, sebagai sebuah tanggung jawab sosial, UU ini telah
mengabaikan sejumlah prasyarat yang memungkinkan terwujudnya makna dasar CSR
tersebut, yakni sebagai pilihan sadar, adanya kebebasan, dan kemauan bertindak.
Mewajibkan CSR, apa pun alasannya, jelas memberangus sekaligus ruang-ruang pilihan
yang ada, berikut kesempatan masyarakat mengukur derajat pemaknaannya dalam
praktik.
Dalam ranah norma kehidupan modern, kita dilingkupi dengan sejumlah norma
yakni norma hukum, moral, dan sosial. Tanpa mengabaikan kewajiban dan
pertanggungjawaban hukumnya, pada domain lain perusahaan juga terikat pada norma
sosial sebagai bagian integral kehidupan masyarakat setempat. Konsep asli CSR
sesungguhnya bergerak dalam kerangka ini, di mana perusahaan secara sadar
memaknai aneka prasyarat tadi dan masyarakat sekaligus bisa menakar komitmen
pelaksanaannya.
Kedua, dengan kewajiban itu, konsekuensinya, CSR bermakna parsial sebatas
upaya pencegahan dan penanggulangan dampak sosial dan lingkungan dari kehadiran
sebuah perusahaan. Dengan demikian, bentuk program CSR hanya terkait langsung
14 Meuthia Ganie Rochman, “Meregulasi Gagasan CSR”, Kompas 10 Agustus 2007
31/36
dengan core business perusahaan, sebatas jangkauan masyarakat sekitar. Padahal
praktik yang berlangsung selama ini, ada atau tidaknya kegiatan terkait dampak sosial
dan lingkungan, perusahaan melaksanakan program langsung, seperti lingkungan hidup
dan tak langsung (bukan core business) seperti rumah sakit, sekolah, dan beasiswa.
Kewajiban tadi berpotensi menghilangkan aneka program tak langsung tersebut.
Ketiga, tanggung jawab lingkungan sesungguhnya adalah tanggung jawab setiap
subyek hukum, termasuk perusahaan. Jika terjadi kerusakan lingkungan akibat aktivitas
usahanya, hal itu jelas masuk ke wilayah urusan hukum. Setiap dampak pencemaran
dan kehancuran ekologis dikenakan tuntutan hukum, dan setiap perusahaan harus
bertanggung jawab. Dengan menempatkan kewajiban proteksi dan rehabilitasi
lingkungan dalam domain tanggung jawab sosial, hal ini cenderung mereduksi makna
keselamatan lingkungan sebagai kewajiban legal menjadi sekadar pilihan tanggung
jawab sosial. Atau bahkan lebih jauh lagi, justru bisa terjadi penggandaan tanggung
jawab suatu perusahaan, yakni secara sosial (menurut UU PT) dan secara hukum (UU
lingkungan hidup).
Keempat, dari sisi keterkaitan peran, kewajiban yang digariskan UU PT
menempatkan perusahaan sebagai pelaku dan penangung jawab tunggal program CSR.
Di sini masyarakat seakan menjadi obyek semata, sehingga hanya menyisakan budaya
ketergantungan selepas program, sementara negara menjadi mandor pengawas yang
siap memberikan sanksi atas pelanggaran yang terjadi.15
Tanggung jawab perusahaan yang tinggi sangat diperlukan karena dengan
mewajibkan perusahaan menyisihkan sebagian keuntungannya untuk usaha sosial
kemasyarakatan diharapkan dapat ikut memberdayakan masyakarat secara sosial dan
ekonomi. Namun pewajiban dalam suatu Undang-undang dapat memunculkan multi
tafsir yang menyebabkan tujuan menjadi tidak tercapai. Di antara permasalahan yang
harus ditegaskan adalah perusahaan apa saja yang wajib melaksanakan tanggung
jawab sosial, sanksi apa saja yang mungkin dapat dikenakan apabila tidak
melaksanakan kewajiban tersebut, sistem pelaporan dan standar kegiatan yang
termasuk dalam kategori kegiatan tanggung jawab sosial.
15 Robert Endi Jaweng, “Kritik Pengaturan CSR dalam UUPT”, Suara Pembaruan 31 Juli 2007
32/36
Pewajiban tanggung jawab sosial dan lingkungan kepada perusahaan tidaklah
tepat. Hal ini karena:
· Pemerintah telah mengatur tentang LH, Perlindungan Konsumen, Hak Asasi
Manusia, Perburuhan dan sebagainya pada masing-masing UU tersebut, tetapi
bukan mengatur CSR pada UUPT.
· Kegiatan CSR sangat beragam, bergantung pada interaksi 3 pilar (Dunia Usaha,
Pemerintah dan Masyarakat), berkaitan dengan 7 masalah pokok, melebihi
kewajiban dari peraturan perundang-undangan, dan bersifat sukarela didasarkan
pada dorongan moral dan etika.
· Kegiatan usaha pengelolaan sumber daya alam hampir mayoritas dilakukan oleh
perusahaan bukan berbadan hukum Indonesia.
· Pemerintah & masyarakat sebaiknya bermitra di dalam menangani masalah
sosial, dengan memanfaatkan program CSR yang dilakukan oleh Dunia Usaha.
Persoalan berikutnya, seberapa jauh CSR berdampak positif bagi masyarakat, amat
tergantung dari orientasi dan kapasitas lembaga lain, terutama Pemerintah. Berbagai
studi menunjukkan, keberhasilan program CSR selama ini justru terkait dengan
sinergitas kerja sama perusahaan, masyarakat, dan pemerintah. Segitiga peran itu
memungkinkan integrasi kepentingan atau program semua stakeholders pembangunan.
Bahkan tidak jarang CSR menjadi semacam titik temu antara wilayah isu yang menjadi
perhatian perusahaan, kepentingan riil masyarakat setempat, dan program pemda
dalam kerangka pembangunan regional. Untuk Indonesia, pelaksanaan CSR
membutuhkan dukungan pemerintah daerah, kepastian hukum, dan jaminan ketertiban
sosial.
Pemerintah dapat mengambil peran penting tanpa harus melakukan regulasi di
tengah situasi hukum dan politik saat ini. Di tengah persoalan kemiskinan dan
keterbelakangan yang dialami Indonesia, pemerintah harus berperan sebagai
koordinator penanganan krisis melalui CSR. Pemerintah bisa menetapkan bidang-bidang
penanganan yang menjadi fokus, dengan masukan pihak yang kompeten.
Setelah itu, pemerintah memfasilitasi, mendukung, dan memberi penghargaan
pada kalangan bisnis yang mau terlibat dalam upaya besar ini. Pemerintah juga dapat
mengawasi proses interaksi antara pelaku bisnis dan kelompok-kelompok lain agar
33/36
terjadi proses interaksi yang lebih adil dan menghindarkan proses manipulasi satu pihak
terhadap yang lain. Peran terakhir ini amat diperlukan, terutama di daerah.
5. Rangkuman
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan belum memiliki definisi yang seragam. Lingkup
dan pengertian tanggung jawab sosial perusahaan yang ada dalam literatur/pustaka
maupun definisi resmi yang dianut oleh berbagai lembaga internasional berbeda dengan
lingkup dan pengertian tanggung jawab sosial dan lingkungan yang termuat dalam
Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Konsepsi tanggung
jawab sosial perusahaan berkaitan dengan beberapa isu penting antara lain Good
Corporate Governance, Pembangunan Berkelanjutan dan Millenium Development Goals.
Adanya keragaman dalam penerapan CSR di berbagai negara menimbulkan
adanya kecenderungan yang berbeda dalam proses pelaksanaan CSR itu sendiri di
masyarakat. Oleh karena itu, ISO 26000 Guidance Standard on Social Responsibility
yang sedang disusun dapat menjadi panduan (guideline) atau dijadikan rujukan utama
dalam penerapan CSR.
ISO 26000 menyediakan standar pedoman yang bersifat sukarela mengenai
tanggung tanggung jawab sosial suatu institusi yang mencakup semua sektor badan
publik ataupun badan privat. ISO 26000 tidak wajib dan bukan requirements karena
tidak dimaksudkan sebagai standar sistem manajemen dan tidak digunakan sebagai
standar sertifikasi.
Pada saat ini di Indonesia, praktek CSR belum menjadi perilaku yang umum,
namun dalam abad informasi dan teknologi serta adanya desakan globalisasi, maka
tuntutan terhadap perusahaan untuk menjalankan CSR akan semakin besar.
Pelaksanaan CSR seyogyanya disesuaikan dengan kemampuan masing-masing
perusahaan dan kebutuhan masyarakat lokal. Idealnya terlebih dahulu dirumuskan
bersama antara 3 pihak yang berkepentingan yakni pemerintah, dunia usaha dan
masyarakat setempat dan kemudian dilaksanakan sendiri oleh masing-masing
perusahaan, karena masing-masing perusahaan memiliki karakteristik lingkungan dan
masyarakat yang berbeda antara satu dengan yang lain.
Upaya perusahaan menerapkan CSR memerlukan sinergi dari pemerintah dan
masyarakat. Pemerintah sebagai regulator diharapkan mampu berperan menumbuh
kembangkan penerapan CSR di tanah air tanpa membebani perusahaan secara
34/36
berlebihan. Peran masyarakat juga diperlukan dalam upaya perusahaan memperoleh
rasa aman dan kelancaran dalam berusaha.
35/36
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
1. Membedah Konsep dan Aplikasi CSR, Yusuf Wibisono, Fascho Publishing, April 2007,
Gresik.
2. Good Corporate Governance, Konsep dan Penerapannya Dalam Konteks Indonesia,
Mas Achmad Daniri, PT Ray Indonesia, Agustus 2005, Jakarta.
3. Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia, Bambang Rudito
dan Melia Famiola, Penerbit Rekayasa Sains, Februari 2007, Bandung.
Makalah dan Artikel
1. “Sinopsis UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas”, M. Yahya Harahap,
Makalah Seminar disampaikan di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta, 20
November 2007.
2. Sambutan Menteri Negara Lingkungan Hidup pada Seminar Sehari "A Promise of
Gold Rating : Sustainable CSR" Tanggal 23 Agustus 2006, diambil dari
www.menlh.go.id
3. “Sumbangan Pemikiran BWI pada Penyusunan Peraturan Pemerintah Perihal
Tanggung Jawab Sosial Korporasi”, The Business Watch Indonesia, Desember 2007.
4. “Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, Investasi Bukan Biaya”, 7 Februari 2007,
Sumber Klikharry.wordpress.com
5. Yanuar Nugroho, “Commodum Totti Topulo: The Benefit is for the Whole Society”,
20 Maret 2007, diakses dari www.audentis.wordpress.com
6. Chrysanti Hasibuan: “Sekali Lagi, CSR”, 10 November 2006, diakses pada
www.swa.co.id
7. “CSR Bukan Untuk Laba-Rugi Semata”, Majalah Marketing Edisi 11/2007
8. Riawandi Yakub, “CSR: Perilaku Korporasi dan Peran Civil Society”, 14 September
2004
9. Roby Akbar, “Benang Kusut Regulasi CSR”, 3 Desember 2007, diakses dari
roryakbar.wordpress.com
10. Jalal, “Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia”, Koran Tempo, 26
September 2006
36/36
11. Proper Sebagai Instrumen Pengukuran Penerapan CSR Oleh Perusahaan”, Makalah
Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 23 Agustus 2006
12. Muhammad Arief Effendi, “Implementasi GCG Melalui CSR”, 7 November 2007,
diakses dari muhariefeffendi.wordpress.com
13. Indonesia Business Links, “Integrating CSR a Business Strategy: How to adopt CEO
values into CSR Policies”, Hotel Nikko Jakarta 2 Mei 2007
14. Meuthia Ganie Rochman, “Meregulasi Gagasan CSR”, Kompas 10 Agustus 2007
15. Robert Endi Jaweng, “Kritik Pengaturan CSR dalam UUPT”, Suara Pembaruan 31 Juli
2007.
16. Rita Erna, “Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan dalam UU Perseroan Terbatas”,
Suara Pembaruan 11 September 2007.
Website:
1. www.madani-ri.com
2. www.sr-indonesia.com
3. www.governance-indonesia.com
4. www.csrindonesia.com
* Mas Achmad Daniri
Chairman of Mirror Committee on Social Responsibility Indonesia
Chairman of Permanent Committee on Good Corporate Governance, Kadin
Indonesia

Minggu, 14 Maret 2010

Mekanisme dan Penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK)

Temuan, pandangan, dan interpretasi dalam laporan ini merupakan temuan,
pandangan, dan interpretasi para penulis dan tidak mewakili Lembaga Penelitian
SMERU maupun lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan
SMERU. Informasi lebih lanjut, silakan menghubungi SMERU, Phone: 62-21-
31936336; Fax: 62-21-31930850; E-mail: smeru@smeru.or.id;
Web: www.smeru.or.id
Mekanisme dan
Penggunaan
Dana Alokasi Khusus
(DAK)
SMERU:
Syaikhu Usman
M. Sulton Mawardi
Adri Poesoro
Asep Suryahadi
Universitas Griffith:
Charles Sampford
Januari 2008
Laporan Penelitian
i Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
Tim Peneliti
SMERU:
Syaikhu Usman
M. Sulton Mawardi
Adri Poesoro
Asep Suryahadi
Universitas Griffith:
Charles Sampford
ii Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
Tentang SMERU
SMERU adalah sebuah lembaga penelitian independen yang
melakukan penelitian kebijakan publik secara profesional dan proaktif
dengan analisis yang objektif, serta menyediakan informasi secara akurat dan tepat
waktu mengenai berbagai masalah sosialekonomi dan kemiskinan yang dianggap
mendesak dan penting bagi rakyat Indonesia.
Ucapan Terima Kasih:
Para penulis mengucapkan terima kasih kepada
AIGRP yang telah menyediakan dana kompetitif dan
Direktorat Perekonomian Daerah, Bappenas, yang memfasilitasi
pelaksanaan dan kelancaran penelitian ini. Kami juga mengucapkan
terima kasih kepada Rowi Kaka Mone (Kabupaten Kupang), Sofyan Kao
(Kabupaten Gorontalo), Tijan (Kabupaten Wonogiri), dan Nashrillah Anis
(Kota Banda Aceh) yang telah membantu dalam persiapan dan pelaksanaan kegiatan
lapangan. Kami berterima kasih pula kepada Wenefrida Widyanti
yang telah membantu melakukan pengolahan data kuantitatif.
Laporan ini dapat ditulis berkat kesediaan berbagai pihak, baik aparat
pemerintah maupun tokoh masyarakat nonpemerintah, untuk memberikan
informasi yang diperlukan, dan untuk semua itu, kami ucapkan terima kasih.
Terima kasih disampaikan juga kepada Budhi Adrianto atas bantuannya
mengedit naskah ini, serta Mona Sintia dan Novita Maizir yang memformatnya.
iii Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
RANGKUMAN EKSEKUTIF
Penelitian yang dilakukan mulai dari April 2007 sampai dengan Januari 2008 ini
bertujuan menelusuri mekanisme pengelolaan Dana Alokasi Khusus (DAK) mulai dari
regulasi dan proses pengalokasiannya sampai pertanggungjawaban penggunaannya. Tiga
bidang penerima DAK terbesar menjadi titik berat kajian ini, yaitu pendidikan, kesehatan,
dan infrastruktur jalan. Tiga kabupaten dan satu kota dipilih secara purposive sebagai
daerah sampel penelitian, yaitu Kabupaten Kupang, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten
Gorontalo, dan Kota Banda Aceh. Laporan ini ditulis berdasarkan hasil wawancara
mendalam dan diskusi kelompok terfokus dengan berbagai pemangku kepentingan, serta
telaah kebijakan dan analisis data sekunder tentang DAK.
Secara umum, DAK menyerupai dana Inpres (Instruksi Presiden) yang dikembangkan
di masa Pemerintahan Orde Baru. DAK dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) untuk membiayai berbagai kegiatan pembangunan khusus di
dan oleh daerah. Tujuannya adalah untuk mengurangi kesenjangan pelayanan publik
antardaerah dan meningkatkan tanggung jawab pemerintah daerah (pemda) dalam
memobilisasi sumber dayanya. Meskipun DAK termasuk ke dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dalam pemanfaatannya, pemda harus
mengikuti berbagai regulasi pusat, seperti Undang-undang (UU), Peraturan Pemerintah
(PP), Keputusan Presiden, Peraturan/Keputusan Menteri, Surat Edaran Direktur
Jenderal, dan Surat Edaran Direktur departemen yang memperoleh alokasi DAK.
Dengan banyaknya regulasi pusat tersebut, sangat sedikit daerah yang membuat regulasi
untuk memerinci kebijakan pengelolaan DAK.
Telaah atas peraturan perundangan menemukan belum tersedianya PP tentang DAK
yang diatur secara khusus1 sebagaimana diamanatkan oleh UU. PP tentang pengalihan
secara bertahap dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan menjadi DAK sampai
sekarang belum juga dibuat. Selain itu, berbagai peraturan tentang organisasi, dan tugas
dan fungsi departemen/lembaga nondepartemen yang disusun dengan nuansa
sentralistik belum disesuaikan dengan UU desentralisasi dan otonomi daerah. Sebagai
akibatnya, kebijakan pengelolaan DAK antardepartemen dan antardaerah dapat berbeda.
Selain itu, SMERU juga menemukan terdapatnya kebijakan yang sebenarnya
memerlukan keseragaman secara nasional namun masih menyediakan ruang bagi
ketidakseragaman. Sebaliknya, terdapat juga kebijakan yang seharusnya memberi ruang
bagi perbedaan sebagai akibat kondisi antardaerah yang memang berbeda namun justru
memaksakan keseragaman secara nasional.
Banyak pihak di daerah menilai bahwa regulasi tentang DAK yang dikeluarkan
Pemerintah Pusat sering kali terlambat dan tidak cocok dengan jadwal perencanaan di
daerah. Ketika isi keputusan pusat yang terbit terlambat itu ternyata berbeda dengan apa
yang diperkirakan daerah sewaktu menyusun APBD, beberapa hal dalam APBD
terpaksa harus diubah dan dimusyawarahkan lagi dengan DPRD. Proses seperti ini,
selain menyita waktu aparatur pemerintah, juga menghabiskan cukup banyak dana,
padahal kemampuan keuangan daerah terbatas.
1PP yang mengatur DAK digabung dengan PP yang mengatur dana perimbangan. DAK merupakan salah
satu komponen dana perimbangan.
iv Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
Dalam praktiknya, pemda menjadi penerima pasif atas hibah DAK meskipun
sebenarnya peraturan perundangan memungkinkan daerah untuk secara aktif
mengajukan usul. Sejauh ini, pemda hanya bertugas untuk mengirimkan data tentang
kondisi sarana dan prasarana bidang-bidang yang memperoleh alokasi DAK. Data
tersebut menjadi bahan baku bagi Pemerintah Pusat (khususnya Menteri Keuangan)
dalam mengalokasikan DAK per bidang dan per daerah. Selain itu, penentuan bidang
yang menerima alokasi DAK disesuaikan dengan prioritas pembangunan yang
tercermin dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Pada 2007, DAK dialokasikan
untuk tujuh bidang pelayanan pemerintahan, yaitu pendidikan, kesehatan, infrastruktur,
prasarana pemerintahan daerah, kelautan dan perikanan, pertanian, dan lingkungan
hidup. Pengalokasian DAK mempergunakan kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria
teknis. Setelah mengetahui nilai DAK untuk daerahnya, pemda kemudian
mendistribusikannya ke berbagai kegiatan/proyek sesuai dengan kebijakan Pemerintah
Pusat.
Sampai dengan 2005, proporsi alokasi DAK terhadap total belanja APBN masih di
bawah 1%. Pada 2006, proporsinya meningkat hampir dua kali lipat menjadi 1,7% atau
Rp11,6 triliun, sementara proporsi DAU terhadap total belanja APBN sebesar hampir
22%. Pada tahun yang sama, dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan berjumlah lebih
dari Rp30 triliun atau 4,4% dari total belanja APBN. Kalau sebagian dana dekonsentrasi
dan tugas pembantuan dialihkan menjadi DAK, dalam beberapa tahun ke depan,
proporsi DAK terhadap total belanja APBN dapat mencapai sekitar 5%. Sejak 2003,
bidang pelayanan pemerintahan yang selalu memperoleh DAK terbesar adalah
pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, khususnya infrastruktur jalan.
Mengenai pengalokasian DAK, sikap pemda mengindikasikan adanya penilaian bahwa
Pemerintah Pusat tidak berlaku transparan sehingga pejabat daerah perlu berusaha
“melobi Jakarta” untuk mendapatkan alokasi DAK yang lebih besar. Berita mengenai
adanya “calo anggaran” beberapa waktu yang lalu menguatkan indikasi
ketidakterbukaan pengalokasian DAK. Upaya lobi dilakukan oleh bupati dan/atau
kepala dinas yang bidang tugasnya menerima DAK, bahkan ada pemda yang
menyerahkan urusan tersebut kepada sebuah perusahaan swasta. Korelasi alokasi DAK
per provinsi terhadap buruknya kondisi infrastruktur pelayanan publik di bidang
pendidikan dasar dan infrastruktur jalan menunjukkan tanda nilai korelasi yang searah
dengan tujuan DAK, namun nilainya masih tergolong rendah. Pada bidang kesehatan
tanda nilai korelasinya bahkan bertolak belakang.
Koordinasi dan komunikasi dalam pengelolaan DAK antarinstansi baik di pusat maupun
di daerah, termasuk antara provinsi dan kabupaten/kota, terlihat masih terbatas. Sejauh
ini, pemda yang memenuhi kewajiban untuk melaporkan perkembangan penggunaan
DAK-nya setiap tiga bulan berjumlah sangat sedikit. Kemungkinan penyebabnya ada
empat hal: (i) Meskipun terdapat regulasi yang memberikan sanksi atas kelalaian
pelaporan, Pemerintah Pusat tidak pernah melaksanakannya; (ii) beberapa pemda yang
menyampaikan laporan tersebut tidak pernah mendapat respons dari Pemerintah Pusat
sehingga akhirnya pemda menjadi bersikap tidak peduli lagi dengan kewajibannya
untuk melapor; (iii) sanksi atas kelalaian pelaporan dikenakan kepada daerah, bukan
kepada pejabat yang lalai, sehingga pejabat tidak begitu merasa wajib untuk membuat
laporan; dan/atau (iv) kapasitas pemda dalam pengelolaan keuangan publik tidak
memadai.
v Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
Berdasarkan berbagai temuan yang terurai di atas, SMERU mengajukan beberapa saran
untuk penyempurnaan kebijakan dan pelaksanaan penggunaan DAK sebagai berikut.
(1) Reformasi berbagai regulasi tentang organisasi dan tugas kementerian/lembaga
perlu dilakukan agar pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah pada umumnya
dan pengelolaan DAK pada khususnya dapat dilaksanakan dengan baik.
Sinkronisasi DAK, dana dekonsentrasi, dan tugas pembantuan juga perlu dilakukan
sehingga upaya menyeimbangkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik di
seluruh Indonesia dapat terlaksana secara optimal.
(2) Beberapa paradigma baru dalam pengelolaan DAK perlu dibangun. Paradigma baru
tersebut berupa pendesentralisasian kepada pemerintah provinsi kewenangan
pengalokasian, pengkoordinasian, dan pengawasan pelaksanaan atas penggunaan
DAK oleh pemerintah kabupaten/kota. Kewenangan ini perlu dikawal oleh
sejumlah regulasi yang dapat menjamin terlaksananya mekanisme transparansi dan
partisipasi, prosedur akuntabilitas, dan sistem ganjaran (hadiah dan hukuman).
Kebijakan ini mengandung tiga manfaat, yaitu (i) menyederhanakan manajemen
DAK di tingkat pusat, (ii) memperkuat kewenangan gubernur sebagai perwakilan
Pemerintah Pusat, dan (iii) memberdayakan provinsi sebagai daerah otonom melalui
diskresi fiskal.
(3) Sanksi bagi aparat birokrasi, bukan daerah/rakyat secara keseluruhan, atas kelalaian
mereka dalam mengelola DAK pada khususnya dan keuangan daerah pada
umumnya perlu dikembangkan.
vi Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
DAFTAR ISI
Halaman
TIM PENELITI i
TENTANG SMERU DAN UCAPAN TERIMA KASIH ii
RANGKUMAN EKSEKUTIF iii
DAFTAR ISI vi
DAFTAR TABEL vii
DAFTAR GAMBAR viii
DAFTAR KOTAK viii
DAFTAR LAMPIRAN viii
DAFTAR SINGKATAN ix
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan dan Ruang Lingkup Penelitian 2
1.3 Metodologi Kajian 3
1.4 Struktur Laporan 5
BAB II REGULASI: DARI PERENCANAAN SAMPAI
PERTANGGUNGJAWABAN
6
2.1 Tinjauan Mengenai Dana Bertujuan Serupa (Dana Inpres) 7
2.2 Regulasi DAK Tingkat Nasional 9
2.3 Regulasi DAK Tingkat Daerah 18
BAB III PENGALOKASIAN DANA ALOKASI KHUSUS 21
3.1 DAK dalam APBN: Perbandingannya dengan DAU, DBH,
Dana Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan
23
3.2 Alokasi DAK Per Sektor Prioritas 26
3.3 Alokasi DAK di Kabupaten/Kota Sampel 29
BAB IV PEMANFAATAN DANA ALOKASI KHUSUS:
TRANSPARANSI, AKUNTABILITAS, DAN
PARTISIPASI
33
4.1 Perencanaan Pembangunan dan Pengusulan DAK 34
4.1.1 Perencanaan Pembangunan 34
4.1.2 Persoalan Seputar Alokasi DAK kepada Daerah 36
4.2 Penetapan Alokasi dan Jenis Proyek 39
4.2.1 Penetapan Lokasi Proyek 39
4.2.2 Persoalan Seputar Petunjuk Teknis 41
4.3 Pelaksanaan Proyek 44
4.4 Monitoring dan Evaluasi Proyek DAK 45
4.5 Koordinasi Pengelolaan DAK 47
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 49
DAFTAR ACUAN 52
LAMPIRAN 55
vii Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1.1 Wilayah Sampel Kajian DAK, 2007 4
2.1 Pendapatan dan Belanja Pemerintah Daerah 8
2.2 Kesesuaian Prioritas Pembangunan dan Bidang Kegiatan DAK,
2006 13
2.3 Kesesuaian Prioritas Pembangunan dan Bidang Kegiatan DAK, 2007 13
2.4 Perkembangan Alokasi DAK, 2003-2007 (juta rupiah) 14
2.5 Jadwal Penetapan Regulasi yang Terkait dengan Pengelolaan
DAK, 2007 19
3.1 Perbandingan DAK, DAU, DBH, Dekonsentrasi dan Tugas
Pembantuan, dan APBN serta PDB, 2001–2007 (miliar rupiah) 25
3.2 Korelasi antara Nilai DAK dan Nilai Dana Dekonsentrasi
dan Tugas Pembantuan Tingkat Provinsi 26
3.3 Alokasi DAK Nonreboisasi Nasional Per Bidang Prioritas
serta Perkembangannya, 2003–2007 (juta rupiah) 27
3.4 Perkembangan DAK Per Bidang, 2003–2007 28
3.5 Korelasi Besaran DAK dengan Indikator Kondisi Infrastruktur
Pendidikan, Kesehatan, dan Jalan Tingkat Provinsi 29
3.6 Ringkasan Beberapa Indikator Ekonomi, Kemiskinan,
Kelembagaan, dan Alokasi DAK di Empat Daerah Sampel 30
3.7 Persentase DAK terhadap Penerimaan dan Belanja
Kabupaten/Kota Sampel (2003–2006) 31
3.8 Persentase Alokasi DAK Per Bidang di Kabupaten/Kota Sampel,
2003–2007 32
4.1 Peringkat Tingkat Kepuasan Peserta FGD terhadap Tahapan
Pengelolaan DAK di Kabupaten/Kota Sampel 36
4.2 Frekuensi Pelaporan DAK oleh Daerah 47
4.3 Jumlah Kabupaten/Kota di Provinsi Sampel yang Memberikan
Laporan untuk Prasarana Jalan, 2005 47
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1.1 Peta Wilayah Indonesia dan Lokasi Penelitian 4
2.1 Mekanisme Verifikasi Rencana Definitif Menjadi Daftar Isian
Pelaksana Anggaran/Daftar Anggaran Satuan Kerja 15
3.1 Mekanisme Pengalokasian DAK di Tingkat Pusat 22
DAFTAR KOTAK
Kotak Halaman
2.1 Pengelolaan APBD: Hambatan Informasi dan Sanksi 11
3.1 Proses Penentuan Alokasi DAK untuk Tiap Kabupaten/Kota 23
viii Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1 Rekapitulasi Jumlah Alokasi Dana Dekonsentrasi dan Tugas
Pembantuan berdasarkan RKL-KL TA 2006 (juta rupiah) 55
2
Rekapitulasi Jumlah Alokasi Dana Dekonsentrasi dan Tugas
Pembantuan Per Provinsi berdasarkan RKA-KL TA 2006 (juta
rupiah)
56
3 Alokasi DAK Per Bidang di Kota Banda Aceh dan Kabupaten
Wonogiri, 2005–2007 (juta rupiah) 57
4 Alokasi DAK Per Bidang di Kabupaten Gorontalo dan
Kabupaten Kupang, 2005–2007 (juta rupiah) 57
5 Urutan Peringkat Hasil Penilaian Peserta FGD terhadap
Tahapan Penggunaan DAK 58
6 Skema Pengalokasian Dana Alokasi Khusus (Pasal 54 PP No.
55/2005) 59
7 Skema Mekanisme Penyaluran DAK Bidang Pendidikan, 2007 60
8 Skema Mekanisme Penggunaan dan Pelaksanaan DAK 61
9 Skema Mekanisme Pelaporan DAK Bidang Pendidikan 62
10 Skema Mekanisme Pelaporan DAK Bidang Kesehatan 63
11 Skema Mekanisme Penyaluran Dana DAK dari Pusat ke
Daerah
64
12 Foto Mesin Ketik “Royal-Special School Edition” yang
Menjadi Paket DAK 2006 65
ix Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
DAFTAR SINGKATAN
ABT Anggaran Belanja Tambahan
APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
APBN-P APBN-Perubahan
Bappeda Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Bappenas Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Bawasda Badan Pengawas Daerah
BD Bobot Daerah
BPHTB Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
BT Bobot Teknis
DAK Dana Alokasi Khusus
DASK Dokumen Anggaran Satuan Kerja
DAU Dana Alokasi Umum
DBH Dana Bagi Hasil
Depdagri Departemen Dalam Negeri
Depdiknas Departemen Pendidikan Nasional
Depkes Departemen Kesehatan
Depkeu Departemen Keuangan
Deppu Departemen Pekerjaan Umum
Deptan Departemen Pertanian
Dikdas Pendidikan Dasar
DIPA Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran
DIPDA Daftar Isian Proyek Daerah
Ditjen Direktorat Jenderal
DJP Direktorat Jenderal Perbendaharaan
DKP Departemen Kelautan dan Perikanan
DPA Dokumen Pelaksanaan Anggaran
DPR Dewan Perwakilan Rakyat
DPRD Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
IFN Indeks Fiskal Neto
IFW Indeks Fiskal dan Wilayah
IKK Indeks Kemahalan Konstruksi
IKM Indeks Kemiskinan Manusia
IKW Indeks Karakteristik Wilayah
IPM Indeks Pembangunan Manusia
Jateng Jawa Tengah
Juklak Petunjuk Pelaksanaan
Juknis Petunjuk Teknis
Kandep Kantor Departemen
Kanwil Kantor Wilayah
Kasda Kas Daerah
Keppres Keputusan Presiden
KIA/KB Kesehatan Ibu dan Anak/Keluarga Berencana
KMK Keputusan Menteri Keuangan
KPPN Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara
KPPOD Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah
LSM lembaga swadaya masyarakat
MAK Mata Anggaran Pengeluaran
MCK mandi, cuci, kakus
Menkeu Menteri Keuangan
Meneg Menteri Negara
x Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
MI madrasah ibtidaiyah
musbangdes musyawarah pembangunan desa
musrenbang musyawarah perencanaan pembangunan
musrenbangda musrenbang daerah
NAD Nanggroe Aceh Darussalam
NTT Nusa Tenggara Timur
Otsus Otonomi Khusus
P2JJ Perencanaan dan Pengawasan Jalan dan Jembatan
PAD Pendapatan Asli Daerah
PAM Perusahaan Air Minum
PBB Pajak Bumi dan Bangunan
PDAM Perusahaan Daerah Air Minum
PDB Produk Domestik Bruto
PDN Pendapatan Dalam Negeri
PDRB Produk Domestik Regional Bruto
Pemda Pemerintah Daerah
Pemkab Pemerintah Kabupaten
Pemkot Pemerintah Kota
Pemprov Pemerintah Provinsi
Perda Peraturan Daerah
PKD poliklinik kesehatan desa
PMK Peraturan Menteri Keuangan
polindes pondok bersalin desa
PP Peraturan Pemerintah
PPh Pajak Penghasilan
PPN Perencanaan Pembangunan Nasional
puskesmas pusat kesehatan masyarakat
pusling puskesmas keliling
pustu puskesmas pembantu
RAPBD Rencana APBD
RAPBN Rencana APBN
RASK Rancangan Anggaran Satuan Kerja
RD Rencana Definitif
renstra rencana strategis
RKA-KL Rencana Kerja Anggaran-Departemen dan Lembaga
RKP Rencana Kerja Pemerintah
RKPD RKP Daerah
RPJM Rencana Pembangunan Jangka Menengah
RPJP Rencana Pembangunan Jangka Panjang
SD sekolah dasar
SDLB sekolah dasar luar biasa
SK Surat Keputusan
SKPD satuan kerja perangkat daerah
SNVT satuan kerja nonvertikal tertentu
SP2D Surat Perintah Pencairan Dana
SPAM Sistem Penyediaan Air Minum
SP-DIPA Surat Pengesahan DIPA
SPM Standar Pelayanan Minimal
SPM Surat Perintah Membayar
SRAA Surat Rincian Alokasi Anggaran
Sulsel Sulawesi Selatan
UGD Unit Gawat Darurat
UKBM Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat
UKGS Unit Kesehatan Gigi Sekolah
xi Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
UKS Unit Kesehatan Sekolah
UNFPA United Nations Population Fund
UU Undang-undang
Wajar Wajib Belajar
1 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Memasuki era desentralisasi atau dikenal dengan “big-bang decentralisation” yang
dimulai pada 2001, Pemerintah Pusat tetap memainkan peranan penting dalam
mendukung pelaksanaan urusan pemerintahan yang didesentralisasikan ke pemerintah
daerah (pemda). Khususnya dalam hal keuangan, Pemerintah Pusat bertanggung jawab
menjaga keseimbangan alokasi dana antardaerah. Untuk itu Pemerintah Pusat
melakukan transfer dana ke daerah melalui beberapa mekanisme, seperti Dana Alokasi
Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH). Ketiga dana
perimbangan tersebut mempunyai tujuan dan nature (sifat dasar) yang berlainan satu
sama lain.2 Semua dana perimbangan tersebut disalurkan ke dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Oleh karena itu, dalam pengelolaannya pemda
harus mempertanggungjawabkannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD). Di samping itu, Pemerintah Pusat juga menyediakan pinjaman dan bantuan
kepada pemda. Tujuan transfer dana, sebagaimana juga merupakan arah dari kebijakan
fiskal Pemerintah Pusat dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, antara lain,
untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara pusat dan daerah, serta antardaerah, dan
mengurangi kesenjangan pelayanan publik antardaerah. Hingga kini, dana perimbangan
masih merupakan sumber penerimaan terbesar daerah. Pada 2006, total transfer ke
daerah secara nominal meningkat 47% dibanding tahun sebelumnya.3
DAU bersifat hibah umum (block grant); oleh karenanya, pemda memiliki kebebasan
dalam memanfaatkannya tanpa campur tangan Pemerintah Pusat. DBH adalah dana
yang bersumber dari penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
yang dialokasikan kembali kepada daerah (penghasil) dengan pembagian sebagaimana
diatur dalam Undang-undang (UU) No. 33/2004. DBH dibagi atas DBH Pajak dan DBH
Sumber Daya Alam. DBH Pajak terdiri dari pajak bumi dan bangunan (PBB), bea
perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), dan pajak penghasilan (PPh). DBH
Sumber Daya Alam berasal dari kehutanan, pertambangan umum, perikanan,
pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi.
Berbeda halnya dengan kedua dana perimbangan tersebut, pemerolehan dan
pemanfaatan DAK harus mengikuti rambu-rambu yang telah ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat. DAK dialokasikan dalam APBN untuk daerah-daerah tertentu dalam
rangka mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan termasuk dalam
program prioritas nasional. Daerah dapat menerima DAK apabila memenuhi tiga
kriteria, yaitu (1) kriteria umum berdasarkan indeks fiskal neto; (2) kriteria khusus
berdasarkan peraturan perundangan dan karakteristik daerah; dan (3) kriteria teknis
berdasarkan indeks teknis bidang terkait (UU No. 32/2004 dan UU No. 33/2004).
Sekitar 80% DAU yang dikelola daerah digunakan untuk belanja rutin, terutama gaji
pegawai pemda. Oleh sebab itu, sumber utama daerah untuk membangun sarana dan
2“Pelaksanaan Kegiatan Analisis dan Pengolahan Data Pelaksanaan Dana Alokasi Khusus (DAK)”,
Direktorat Perekonomian Daerah, Bappenas, 2006
3“Nota Keuangan 2007”, Departemen Keuangan, 2007
2 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
prasarana fisik adalah dari DAK. DAK yang khusus digunakan untuk pembangunan dan
rehabilitasi sarana dan prasarana fisik ini, apabila dikelola dengan baik, dapat
memperbaiki mutu pendidikan, meningkatkan pelayanan kesehatan, dan paling tidak
mengurangi kerusakan infrastruktur. Hal ini sangat penting untuk menanggulangi
kemiskinan dan membangun perekonomian nasional yang lebih berdaya saing.
Daerah penerima DAK wajib menyediakan dana pendamping dalam APBD minimal
10% dari DAK yang diterima. Pengecualian dapat diberikan kepada daerah dengan
kemampuan fiskal rendah. Selain itu, daerah juga diwajibkan menyediakan 3% dari
nilai DAK yang diterima untuk biaya umum yang diambil dari sumber penerimaan
lainnya. DAK dipakai untuk menutup kesenjangan pelayanan publik antardaerah dengan
prioritas pada bidang kegiatan pendidikan, kesehatan, infrastruktur, kelautan dan
perikanan, pertanian, prasarana pemerintahan daerah, dan lingkungan hidup. Pada 2006
Pemerintah Pusat mengalokasikan DAK sebesar Rp11,6 triliun dan pada 2007
alokasinya meningkat tajam menjadi Rp17,094 triliun.4 Mulai tahun 2007, dana
dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan yang digunakan di daerah secara bertahap
akan dilimpahkan ke daerah melalui mekanisme DAK. Dana dekonsentrasi dan tugas
pembantuan dialokasikan kepada provinsi, sementara dana tugas pembantuan dapat
dialokasikan kepada provinsi, kabupaten, atau kota sebagai wakil Pemerintah Pusat di
daerah. Berbeda halnya dengan DAU, dan DBH, dana dekonsentrasi, dan dana tugas
pembantuan, DAK secara khusus diberikan kepada kabupaten/kota.
Sejauh ini yang sering menjadi fokus kajian adalah upaya optimalisasi sumber
pendapatan, sementara kajian tentang optimalisasi pusat-pusat pengeluaran jarang
dilakukan. Kajian tentang pelaksanaan dan dampak DAK, misalnya, belum banyak
dilakukan. Dalam kaitan ini, pertanyaan yang kerap muncul adalah mengenai hal-hal
sederhana seperti bagaimana mekanisme penyaluran dan pengelolaan DAK dijalankan.
Meskipun ada beberapa kriteria dalam pengalokasiannya, proses akuntabilitasnya di
tingkat nasional dan tingkat daerah belum banyak dipublikasikan.
1.2 Tujuan dan Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian yang dilakukan mulai dari April 2007 sampai dengan Januari 2008 ini
bertujuan mengkaji berbagai kebijakan pengelolaan DAK dan pelaksanaannya di
lapangan.
(1) Mengkaji mekanisme dan formulasi/kriteria DAK pada tingkat Pemerintah Pusat
dalam kaitannya dengan
(a) peraturan terkait DAK yang menjadi pedoman bagi pelaksana manajemen
(perencanaan, prosedur penetapan alokasi, mekanisme pencairan dana,
pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, dan koordinasi antarinstansi);
(b) alokasi dana lain yang bertujuan sama/serupa dengan DAK;
(c) peranan berbagai instansi (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional–
Bappenas, Departemen Keuangan–Depkeu, Departemen Dalam Negeri–
Depdagri, Kementerian Teknis Departemen Pendidikan Nasional–Depdiknas,
Departemen Kesehatan–Depkes, Departemen Pekerjaan Umum–Deppu) dalam
4Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 124/PMK.02/2005 dan PMK No. 128/PMK.07/2006
3 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
pengelolaan DAK (meliputi perencanaan bottom-up versus top-down, penetapan
alokasi, pencairan dan penggunaan dana, dan pertanggungjawaban);
(d) berapa banyaknya dan ke mana dana dialokasikan (sektoral, daerah, jenis
proyek, cara pelaksanaan proyek, dan kesesuaian dengan peraturan
perundangan); dan
(e) persoalan dan usulan jalan keluar.
(2) Mengkaji kapasitas pemda dalam menggunakan DAK dalam kaitannya dengan
(a) cara dan usaha dalam memperoleh dana;
(b) peraturan/kebijakan daerah dalam mengadministrasikan DAK;
(c) pengalaman pemda dalam memanfaatkan dana lain yang bertujuan sama/serupa
dengan DAK;
(d) peranan berbagai instansi di daerah (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah–
Bappeda, DPRD, Bagian Keuangan, Instansi Teknis, dan Kantor Wilayah
(Kanwil) Direktorat Jenderal Perbendaharaan–DJP) dalam pengelolaan DAK
(meliputi perencanaan, penggunaan, pengawasan, pertanggungjawaban, dan
kesesuaian dengan peraturan/kebijakan);
(e) prosedur dan proses pencairan (dari APBN ke APBD, dana pendamping,
penyaluran ke proyek, dan kesesuaian dengan peraturan/kebijakan);
(f) jumlah dana yang diterima dan untuk sektor/proyek apa (dasar pemilihan,
alokasi, dan lokasi setiap proyek, manajemen pengelolaan proyek: kontraktor
versus swakelola, dan kesesuaian dengan peraturan/kebijakan);
(g) kualitas proyek; dan
(h) hambatan dan usulan jalan keluar.
1.3 Metodologi Kajian
Kajian ini secara kualitatif akan menganalisis aliran dana DAK, berbagai masalah yang
timbul dalam penyalurannya, dan pengaturan pemanfaatannya baik di tingkat pusat
maupun di tingkat daerah. Penelitian ini difokuskan pada tiga bidang penerima DAK
terbesar, yakni pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur jalan. Penelitian ini juga
mengumpulkan informasi mengenai persepsi pemangku kepentingan, baik di tingkat
nasional maupun tingkat daerah, terutama menyangkut upaya peningkatan akuntabilitas
manajemen DAK. Pendekatan kualitatif juga akan dilakukan dalam melihat kerangka
regulasi dan implementasi DAK, transparansi informasi, penerimaan dan penggunaan
dana, berbagai hambatan, dan kemungkinan pemecahannya. Selain itu, penelitian ini
juga akan menggunakan pendekatan kuantitatif untuk melihat proporsi DAK dalam
APBN dan APBD, proporsi DAK dibandingkan dengan dana perimbangan lainnya, dan
trend DAK dalam APBN dan APBD, khususnya dalam kurun waktu lima tahun
terakhir. Analisis kuantitatif juga dilakukan dengan mengorelasikan alokasi DAK
dengan kondisi infrastruktur pelayanan publik per provinsi.
Sampel penelitian ini mencakup empat provinsi dan satu kabupaten/kota di setiap
provinsi tersebut. Pemilihan wilayah sampel mempertimbangkan kriteria seperti
(1) keterwakilan semua wilayah di Indonesia: Sumatera, Jawa-Bali, Kalimantan-
Sulawesi, dan Nusa Tenggara-Maluku-Papua;
4 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
(2) provinsi sampel adalah penerima DAK yang termasuk ke dalam kelompok provinsi
penerima dengan jumlah terbesar di antara provinsi-provinsi penerima di
wilayahnya;
(3) variasi dalam angka pertumbuhan ekonomi daerah dan Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB);
(4) mencakup kabupaten dan kota, yaitu tiga kabupaten dan satu kota; dan
(5) kabupaten/kota sampel adalah penerima DAK untuk semua bidang prioritas dan
masuk ke dalam kelompok kabupaten/kota penerima dengan jumlah terbesar di
antara seluruh kabupaten/kota penerima di provinsinya.
Tabel 1.1 Wilayah Sampel Kajian DAK, 2007
Wilayah Provinsi Kabupaten/Kota
Sumatera Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Kota Banda Aceh
Jawa-Bali Jawa Tengah (Jateng) Kabupaten Wonogori
Kalimantan-Sulawesi Gorontalo Kabupaten Gorontalo
Nusa Tenggara-Maluku-Papua*) Nusa Tenggara Timur (NTT) Kabupaten Kupang
Keterangan: Sebagai provinsi yang mempunyai otonomi khusus, Papua mempunyai karakteristik yang
berbeda dengan provinsi lain di wilayah tersebut. Namun, mengingat keterbatasan dana penelitian,
wilayah tersebut hanya diwakili oleh NTT.
Kota Banda Aceh Kabupaten Gorontalo
Kabupaten Wonogiri Kabupaten Kupang
Gambar 1.1 Peta Wilayah Indonesia dan Lokasi Penelitian
Proses pengumpulan data dan informasi dilakukan melalui kajian dokumen yang
mencakup semua peraturan perundangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat dan
pemerintah daerah baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota. APBN
dan APBD sejak awal periode desentralisasi juga dikompilasi. Informasi diperoleh juga
melalui wawancara mendalam dengan pejabat di pusat, seperti pejabat Depdagri,
Depkeu, Bappenas, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan beberapa pejabat departemen
5 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
teknis yang menjadi bidang prioritas DAK, khususnya Depdiknas, Depkes, dan Deppu.
Wawancara mendalam juga dilakukan dengan pejabat pemda di tingkat provinsi dan
kabupaten/kota, serta pemangku kepentingan yang terkait dengan pemanfaatan proyek
pembangunan yang didanai DAK.
Pemangku kepentingan di daerah yang diwawancarai adalah pejabat Bappeda, Dinas
Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas Pekerjaan Umum, Sekretaris Daerah Bagian
Keuangan dan Ekonomi, DPRD, Kanwil DJP Depkeu,5 kepala sekolah penerima DAK,
kontraktor (Gabungan Pengusaha Konstruksi–Gapensi), Dewan Pendidikan, lembaga
swadaya masyarakat, kepala pusat kesehatan masyarakat (puskesmas), media massa,
dan masyarakat pengguna. Informasi juga digali melalui diskusi kelompok terfokus
(Focus Group Discussion–FGD) yang diikuti semua pejabat pemda dan instansi terkait
lainnya yang bertanggung jawab terhadap kebijakan dan pelaksanaan penggunaan DAK.
1.4 Struktur Laporan
Bab I merupakan bab pendahuluan yang membahas secara ringkas latar belakang,
tujuan dan ruang lingkup studi, metode kajian, dan struktur laporan. Bab II memaparkan
regulasi yang terkait dengan perencanaan hingga pertanggungjawaban DAK. Bab III
menjelaskan alokasi DAK dalam APBN dan APBD, alokasi DAK per sektor prioritas,
dan alokasi DAK di daerah sampel. Bab IV melihat transparansi, akuntabilitas, dan
partisipasi dalam pemanfaatan DAK, terutama oleh daerah. Terakhir, Bab V
menitikberatkan pada beberapa catatan penting mengenai penelitian, memberikan
kesimpulan, dan mengajukan beberapa rekomendasi.
5Satu-satunya calon responden yang menolak untuk diwawancarai adalah kepala Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Perbendaharaan Wilayah I, Banda Aceh.
6 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
BAB II
REGULASI: DARI PERENCANAAN SAMPAI
PERTANGGUNGJAWABAN
Selama lebih dari setengah abad sejak kemerdekaannya, sistem pemerintahan Indonesia
cenderung dikelola secara sentralistis. Pada sistem ini, segala sesuatu yang menyangkut
urusan pemerintahan direncanakan dan diatur oleh Pemerintah Pusat. Pemda bertugas
melaksanakan segala sesuatu yang diputuskan dan diperintahkan oleh Pemerintah Pusat.
Argumen yang kerap muncul di balik sistem sentralistis adalah untuk mempertahankan
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun, untuk negara sebesar
Indonesia yang memiliki belasan ribu pulau, berisi ratusan etnis, dan berpenduduk lebih
dari 220 juta jiwa, tata kelola pemerintahan dengan sistem terpusat tidak akan efektif
dalam mengatur dan melaksanakan sendiri semua urusan pemerintahan. Sistem
sentralistis akan kuat dan dominan jika mekanisme pengawasan oleh rakyat dan
pertanggungjawaban kepada rakyat lemah dan tidak terbuka. Sistem ini cenderung
menciptakan birokrasi yang semakin besar dan rumit. Birokrasi yang terus membesar,
sampai titik tertentu, tidak akan lagi mampu menjadi pelayan dan penyelesai urusan,
tetapi justru dapat menjadi sumber persoalan.
“Negara dibangun dengan tujuan demi kesejahteraan penduduknya. NKRI bukan tujuan,
melainkan sarana untuk mencapai tujuan tersebut,” ujar seorang anggota DPR.6 Oleh
karena itu, ketika terjadi krisis moneter yang berlanjut dengan kekacauan politik,
berbagai kelompok masyarakat menuntut demokratisasi di berbagai bidang kehidupan
bernegara, termasuk menggugat sentralisasi pemerintahan yang berlindung di balik
NKRI. Upaya itu menemukan bentuknya, antara lain, berupa desakan untuk melakukan
desentralisasi kewenangan dan fiskal. Sistem desentralisasi memberi kewenangan
kepada daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri dengan status daerah otonom.
Hasil awal dari desakan untuk perubahan tersebut adalah kelahiran UU No. 22/1999
tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang berlaku efektif mulai 1 Januari
2001. Pada 2004, kedua UU tersebut diubah lagi, masing-masing dengan UU No.
32/2004 dan UU No. 33/2004.
Berdasarkan kedua UU itu, pemerintah kabupaten/kota berwenang dan bertanggung
jawab untuk menyediakan layanan umum yang luas pada hampir semua sektor
kehidupan masyarakat.7 Peraturan perundangan tersebut telah membuat tatanan
kerangka hubungan pengelolaan fiskal yang selama ini didominasi pusat melalui subsidi
daerah otonom (SDO) dan dana Inpres (Instruksi Presiden) menjadi lebih fleksibel
melalui DAU dan DAK. Secara umum, DAU serupa dengan fungsi SDO, yaitu untuk
membayar gaji pegawai dan kegiatan operasional pemerintahan, sementara fungsi DAK
menyerupai dana Inpres, yaitu untuk membiayai berbagai kegiatan khusus di dan oleh
6Wawancara pada 17 April 2007
7Sistem ini sebenarnya bukanlah suatu kebijakan baru. Indonesia pernah mempunyai Peraturan Pemerintah
(PP) No. 45/1992 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah dengan Titik Berat pada Daerah Tingkat II dan
diujicobakan melalui PP No. 8/1995 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan kepada 26 Daerah
Tingkat II Percontohan. Pelaksanaan PP ini kurang berhasil karena pelimpahan urusan pemerintahan kepada
pemda tidak sepenuhnya diikuti dengan penyerahan pembiayaannya, sementara berbagai sumber penerimaan
negara yang besar dikuasai oleh Pemerintah Pusat (Usman et al. 1996).
7 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
daerah. Fokus tinjauan pada bab ini bertujuan melihat dinamika regulasi kebijakan
(peraturan perundangan) terutama yang menyangkut pengalokasian, penyaluran, dan
penggunaan DAK.
2.1 Tinjauan Mengenai Dana yang Bertujuan Serupa (Dana Inpres)
Pemerintah Orde Baru, di samping dikenal mempunyai strategi pertumbuhan ekonomi
tinggi, juga memiliki strategi penanggulangan kemiskinan. Di era Orde Baru, secara
umum Pemerintah Pusat mentransfer dana ke pemda melalui dua jenis hibah: pertama,
hibah umum dalam bentuk SDO yang dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan daerah
dan arah penggunaannya berdasarkan pedoman dari pusat; dan kedua, hibah khusus
dalam bentuk dana Inpres yang dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan spesifik
daerah dan pelaksanaan dan pengawasannya diatur oleh pusat.8 Kedua jenis hibah
tersebut dimaksudkan untuk mengurangi kesenjangan antardaerah dan juga untuk
meningkatkan tanggung jawab pemda dalam memobilisasi sumber-sumber daerah
(World Bank 2003).
Hibah khusus tersebut disalurkan untuk pembangunan daerah dalam berbagai bentuk,
seperti Inpres sekolah dasar (SD), Inpres kesehatan, Inpres penghijauan, Inpres desa,
Inpres desa tertinggal, Inpres daerah tingkat (Dati) II, dan Inpres Dati I. Dari berbagai
jenis Inpres itu terlihat bahwa dalam mengalokasikan dana, selain menggunakan
pendekatan sektoral, Pemerintah juga memakai pendekatan wilayah. Program Inpres
berperan nyata dalam menyediakan dan memperluas akses bagi masyarakat untuk
mendapatkan barang dan jasa kebutuhan pokok hidup manusia. Sebagai hasilnya, kalau
di awal Orde Baru penduduk miskin berjumlah tidak kurang dari 60%, setelah tiga
dekade pemerintahannya, berdasarkan Susenas 1996, jumlah tersebut tinggal sekitar
11% saja (Suara Pembaruan 1997).
Sebelum era desentralisasi, Indonesia menganut sistem keuangan negara yang
memungkinkan pusat untuk menguasai sumber-sumber pendapatan besar dan produktif
tanpa dikembalikan ke daerah penghasil. Sistem ini mendorong terbukaluasnya akses
pengalokasian dana kepada departemen dan lembaga nondepartemen secara besarbesaran
(Simanjuntak 2005), sementara daerah kebanyakan hanya mengelola sumber
penerimaan yang nilai hasilnya mendekati biaya pungutnya. Tingginya derajat
keterpusatan pemungutan sumber penerimaan produktif tersebut menjadi salah satu
penyebab ketidakmampuan pemda dalam membiayai kebutuhan belanjanya.
Pemerintahan dengan sistem keuangan seperti terurai di atas cenderung rapuh, terlebih
lagi jika penggunaan dana oleh pusat dikontrol dan dilakukan sendiri melalui tiap-tiap
kanwil dan kantor departemen (kandep). Meskipun alokasi dana yang dialirkan ke
daerah pada era sebelum desentralisasi terus meningkat, masih tetap terlihat
kecenderungan pusat untuk menguasainya dengan cara lebih banyak mengalokasikan
dana melalui mekanisme dekonsentrasi (sebagai pelunak sentralisasi) daripada
desentralisasi (World Bank 2003). Pada gilirannya, kondisi ini membuat semakin
8Campur tangan pusat dalam pengelolaan dana daerah tidak hanya terjadi pada dana hibah, tetapi juga
terjadi pada dana yang bersumber dari pendapatan daerah sendiri. Realitas ini terlihat dari pernyataan
beberapa gubernur yang mengatakan bahwa penggunaan dana yang diperoleh melalui pendapatan asli
daerah (PAD) masih harus meminta “restu” pusat (Usman et al. 1996). Hal ini menunjukkan tingginya
tingkat sentralisasi di era Orde Baru.
8 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
lemahnya kewenangan pemda. Sebagai akibatnya, di samping cenderung menyuburkan
praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), sistem keuangan terpusat seperti itu juga
mematikan semangat berinovasi dan berkreasi pemda dan masyarakat daerah pada
umumnya. Inilah, antara lain, sumber terjadinya krisis moneter dan politik di akhir
dekade 1990 yang memaksa turunnya pemerintahan Orde Baru.
Tabel 2.1 memberikan gambaran mengenai pendapatan dan belanja pemda sebelum
periode desentralisasi. Sekitar 85% pendapatan daerah bersumber dari transfer keuangan
pusat ke daerah, baik berupa subsidi maupun bagi hasil pajak. Belanja pemda dibagi
menjadi dua kelompok, yaitu belanja rutin dan belanja pembangunan. Belanja rutin
dipakai untuk membayar gaji pegawai serta belanja barang dan jasa dalam rangka
menjalankan pemerintahan, sementara belanja pembangunan digunakan untuk mendanai
pengembangan kegiatan/proyek baru dalam usaha memajukan daerah.
Tabel 2.1 Pendapatan dan Belanja Pemerintah Daerah
Rincian Total Pendapatan
(% berdasarkan angka nominal)
1997/98 1998/99
Sisa anggaran tahun lalu 3,0 2,8
Pendapatan asli daerah (PAD) 13,0 11,0
Bagi hasil pajak 15,1 13,1
SDO dan dana Inpres 68,0 71,9
Pendapatan lain 0,9 1,0
Total Belanja (%)
Belanja rutin 56,0 68,0
Belanja pembangunan 44,0 32,0
Sumber: World Bank (2003)
Perencanaan. Pada tataran kebijakan, mekanisme pengelolaan dana Inpres dimulai
dengan perencanaan pembangunan dari bawah sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam
Negeri (Permendagri) No. 9/1982 tentang Pedoman Penyusunan Perencanaan dan
Pengendalian Pembangunan di Daerah (P5D). Rencana kegiatan/proyek yang akan
dibiayai dengan dana Inpres merupakan satu kesatuan dengan semua kegiatan/proyek
pembangunan yang akan dibiayai oleh APBD.
Penyusunan rencana kegiatan/proyek diawali dengan musyawarah pembangunan tingkat
desa, kemudian didiskusikan di tingkat kecamatan, dan selanjutnya disesuaikan dengan
kerangka perencanaan umum yang disusun oleh dinas/instansi daerah otonom. Hasil
kerja dinas/instansi dibahas dalam rapat koordinasi pembangunan (rakorbang). Kritik
yang sering muncul terhadap proses ini adalah semakin menghilangnya hasil
musyawarah di tingkat bawah ketika hasil tersebut diajukan ke musyawarah di tingkat
atasnya.
Pengalokasian. Berdasarkan perkiraan alokasi dana Inpres oleh pusat, kepala daerah
melalui Bappeda bersama dengan dinas/instansi daerah otonom terkait melakukan
penajaman perencanaan guna menyesuaikan kegiatan/proyek yang akan didanai dengan
9 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
pagu alokasi yang tersedia. Pada tingkat ini, kerap terjadi beberapa usul kegiatan/proyek
yang sudah disepakati terpaksa tidak dapat didanai atau dikeluarkan dari daftar
kegiatan/proyek tahun bersangkutan, tetapi tetap dicatat sebagai bahan untuk rakorbang
tahun berikutnya.
Penyaluran dan pencairan. Dana Inpres disediakan oleh pusat melalui penerbitan surat
pengesahan anggaran bantuan pembangunan (SPABP) yang berisi pagu alokasi dana
yang diberikan kepada pemda. Penyaluran dana dilakukan melalui Kantor
Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN) ke rekening kas daerah. Pencairan dana Inpres
dari rekening kas daerah untuk kegiatan/proyek pembangunan mengikuti mekanisme
APBD.
2.2 Regulasi DAK Tingkat Nasional
Dua peraturan perundangan tentang desentralisasi dan otonomi daerah, yaitu UU No.
32/2004 dan UU No. 33/2004, menjadi dasar baru bagi penerapan struktur politik dan
administrasi pemerintahan, khususnya keuangan (fiskal), di Indonesia. Namun, dalam
pelaksanaannya, regulasi tersebut masih sering terganggu oleh peraturan perundangan
tentang tugas dan fungsi departemen dan lembaga nondepartemen yang belum
disesuaikan dengan regulasi baru yang menganut sistem desentralisasi tersebut.
Peraturan perundangan tentang tugas dan fungsi departemen dan lembaga
nondepartemen yang ada disusun di bawah nuansa sentralistis dengan kewenangan yang
sangat besar untuk mengatur dan memutuskan berbagai hal di seluruh pelosok tanah air.
Oleh karena itu, meskipun sebagian besar kewenangan pemerintahan sudah
didesentralisasikan, struktur departemen dan lembaga nondepertemen tetap tidak
berubah. Dari segi anggaran, mereka masih menguasai proporsi anggaran yang cukup
besar, termasuk dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan untuk urusan yang
sebenarnya sudah didesentralisasikan.
Hambatan pelaksanaan desentralisasi lainnya adalah keterlambatan penyusunan
berbagai regulasi ikutan yang berupa peraturan pemerintah sebagai dasar pijak bagi
penerapan dan penegakan peraturan perundangan yang bersangkutan. Dengan kata lain,
pelaksanaan perintah pasal tertentu dalam UU tidak didukung oleh peraturan yang
disepakati secara nasional. Sebagai implikasinya, pelaksanaannya di lapangan dapat
berbeda antardepartemen, begitu juga antardaerah. Keterlambatan penyusunan peraturan
pemerintah yang dimandatkan oleh UU seperti ini terjadi juga pada UU di masa lalu.
Misalnya, perintah UU No. 5/1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah untuk
menyusun Peraturan Pemerintah (PP) tentang penyelenggaraan otonomi daerah dengan
titik berat pada daerah tingkat II baru terealisasikan 18 tahun kemudian (Usman et al.
1996).
UU No. 32/2004 mengatur pelimpahan penyelenggaraan sebagian (besar) urusan
pemerintahan ke kewenangan daerah, sementara UU No. 33/2004 menata kebijakan
perimbangan keuangan sebagai konsekuensi atas pembagian kewenangan antara
Pemerintah Pusat dan pemda. Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan pemda didanai dari dan atas beban APBD. Sekarang ini, kemampuan asli
sebagian besar daerah yang tercermin dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya
mampu mengumpulkan tidak lebih dari 15% nilai APBD. Oleh karena itu,
kekurangannya harus dibantu oleh Pemerintah Pusat melalui mekanisme dana
perimbangan yang terdiri dari DBH, DAU, dan DAK yang satu sama lain saling
10 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
mengisi dan melengkapi. Selanjutnya, tinjauan ini hanya akan difokuskan pada regulasi
yang mengatur mekanisme penggunaan DAK.
Pasal 162 UU No. 32/2004 menyebutkan bahwa DAK dialokasikan dalam APBN untuk
daerah tertentu dalam rangka pendanaan desentralisasi untuk (1) membiayai kegiatan
khusus yang ditentukan Pemerintah Pusat atas dasar prioritas nasional dan (2)
membiayai kegiatan khusus yang diusulkan daerah tertentu. Pengaturan lebih lanjut
tentang DAK dimandatkan dalam Pasal 162 Ayat (4) untuk diatur dengan PP, tetapi
sampai sekarang peraturan yang dimaksud belum ada. Oleh karena itu, sejauh ini
praktik pengalokasian DAK, misalnya, hanya untuk tujuan pertama, sementara tujuan
kedua belum pernah dipraktikkan (Bappenas 2006). Pada awal pelaksanaan DAK,
Bappenas pernah mengumpulkan usul-usul dari daerah. Sebagai hasilnya, nilai
kegiatan/proyek usulan daerah berjumlah ratusan triliun rupiah, jauh di atas dana yang
dapat disediakan APBN. Seorang staf Depdiknas menyatakan bahwa ia sering
menerima surat usulan dari daerah. Namun, semua itu tidak bisa dipakai sebagai
pertimbangan pengalokasian DAK sebab belum tersedia mekanismenya. Meskipun
tidak sepenuhnya menggunakan pendekatan kedua, ada juga daerah yang mengusulkan
untuk memodifikasi penggunaan DAK yang telah dialokasikan untuk bidang tertentu di
daerahnya karena alasan khusus, misalnya perbaikan sarana pendidikan di daerah yang
terkena bencana alam. Modifikasi seperti ini harus mendapat persetujuan dari pejabat
yang berwenang di tingkat pusat.
UU No. 33/2004 mengatur bahwa pengalokasian DAK ditetapkan berdasarkan tiga
kriteria yang meliputi kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis.
(i) Kriteria umum didasarkan pada pertimbangan kemampuan keuangan pemda
dengan prioritas pada daerah yang selisih penerimaan umumnya dengan belanja
pegawai nol atau negatif atau berada di bawah rata-rata nasional berdasarkan
indeks fiskal neto.
(ii) Kriteria khusus disusun dengan memperhatikan peraturan perundangan, seperti
daerah otonomi khusus, dan karakteristik daerah, misalnya daerah pantai,
kepulauan, perbatasan, dll.
(iii) Kriteria teknis didasarkan pada pertimbangan yang ditentukan oleh departemen
teknis/kementerian negara dengan menggunakan indikator yang dapat
menggambarkan kondisi sarana dan prasarana pada setiap bidang.
Lebih lanjut lagi, pada Pasal 42, UU No. 33/2004 mengamanatkan penyusunan sebuah
PP untuk secara khusus mengatur pengelolaan DAK. Namun, sampai sekarang belum
terlihat adanya upaya Pemerintah untuk mengeluarkan PP yang dimaksud. Beberapa
kasus yang berkembang akhir-akhir ini, seperti keterlambatan pengesahan APBD dan
penyimpanan dana perimbangan pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI), memperlihatkan
urgensi untuk segera mengeluarkan PP mengenai pengelolaan DAK. Sebelum APBD
disahkan, pada dasarnya DAK tidak dapat dicairkan oleh daerah karena DAK harus
masuk APBD dan daerah wajib untuk mengalokasikan dana pendamping sebesar
minimal 10% dari DAK yang diterimanya. Penyimpanan dana dalam bentuk SBI
menghambat fungsi APBD sebagai penggerak sektor riil perekonomian daerah (lihat
Kotak 2.1).
11 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
Kotak 2.1 Pengelolaan APBD: Hambatan Informasi dan Sanksi
Salah satu fungsi penting APBN dan APBD adalah sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi. Fungsi ini
dapat berjalan kalau pemerintah mampu mengefektifkan dan mengefisienkan pengelolaan anggaran untuk
pengembangan sektor riil. Terkait dengan hal tersebut, akhir-akhir ini muncul tiga isu besar, yaitu (1)
penyimpanan dana daerah pada SBI; (2) penerbitan perda tentang pajak dan retribusi yang tidak
dilaporkan kepada Depkeu; dan (3) keterlambatan pengesahan APBD.
Bank Indonesia (BI) melaporkan bahwa hingga April 2007 dana pemda yang disimpan di perbankan
mencapai Rp90 triliun. “Ini suatu jumlah yang sangat besar,” kata Gubernur BI (Kompas 2007).
Menyangkut hal ini, beberapa waktu yang lalu, Menteri Keuangan mengatakan bahwa pihaknya akan
menyusun mekanisme kontrol yang lebih ketat dalam pencairan DAK agar anggaran belanja daerah yang
disalurkan dari APBN dapat diserap secara maksimal untuk sektor riil (Kompas 2007).
Mengenai perda pajak dan retribusi daerah, paling tidak, ada 1.366 perda yang tidak dilaporkan pemda
kepada Depkeu (Kompas 2007). Terdapat aturan yang mewajibkan pemda untuk menyerahkan perdanya
ke Pemerintah, tetapi aturan ini tidak menyediakan sanksi bagi pelanggarnya. Tindakan untuk tidak
melaporkan perda tersebut biasanya dilakukan pemda untuk menghindari pembatalannya oleh
Pemerintah. Perda yang tidak dilaporkan itu umumnya menjadi sumber ekonomi biaya tinggi yang
mengakibatkan dunia usaha makin lemah dalam menghadapi persaingan.
Ketua Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) mengungkapkan, “Tahun 2006 lalu
banyak daerah mengesahkan APBD di pertengahan tahun, bahkan ada yang baru mengesahkan
anggarannya pada bulan September. Jelas saja, tidak ada lagi program kerja di sektor riil yang bisa
dilakukan dalam sisa waktu itu” (Kompas 2007). Silalahi (2007) mengatakan bahwa apabila hingga April
2007 daerah tidak mengesahkan APBD, dapat dipastikan bahwa kegiatan pembangunan akan tertunda.
Akibat selanjutnya adalah bahwa kegiatan yang dibiayai anggaran daerah akan dilakukan secara tergesagesa.
Pejabat daerah cenderung akan melakukan pengadaan barang dan jasa dengan cara penunjukan
langsung, yang berarti melanggar Keputusan Presiden (Keppres) No. 80/2003.
Terhadap ketiga persoalan di atas, banyak pihak menuntut pengenaan sanksi nyata bagi daerah. Baik
pejabat eksekutif maupun pejabat legislatif mengusulkan dikenakannya sanksi berupa penangguhan
pencairan dana perimbangan. Depkeu melakukan penangguhan penyaluran DAU bagi lima kabupaten
yang tidak mampu menyelesaikan APBD hingga 11 Mei 2007 (Kompas 2007). UU No. 33/2004 memang
memberikan kewenangan kepada Menkeu untuk menunda penyaluran dana perimbangan kepada daerah
yang tidak menyampaikan informasi keuangan daerah.
Sangat disadari bahwa penundaan penyaluran dana perimbangan dapat menyebabkan terhambatnya
pergerakan ekonomi. Dengan kata lain, sanksi seperti ini ditanggung oleh rakyat banyak dalam bentuk
terganggunya kehidupan ekonomi. Adalah tidak adil apabila sanksi bagi keteledoran pejabat dalam
mengurus keuangan daerah justru dilimpahkan kepada seluruh rakyat. Sanksi keteledoran serupa ini
seharusnya ditanggung oleh para pejabat dan pengambil keputusan. Mereka adalah
gubernur/bupati/walikota dan para kepala satuan kerja perangkat daerah (SKPD), serta para anggota
DPRD. Oleh karena itu, perlulah dipertimbangkan perumusan sanksi bagi para pejabat yang lalai dalam
melaksanakan tugasnya, misalnya berupa pemotongan gaji.
Selain itu, terkait dengan DAK, Pasal 108 UU No. 33/2004 menyatakan bahwa dana
dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang merupakan bagian dari anggaran
kementerian/lembaga negara yang digunakan untuk melaksanakan urusan yang menurut
peraturan perundang-undangan menjadi urusan daerah secara bertahap dialihkan
menjadi DAK. Untuk mengalihkan dana tersebut, UU ini memerintahkan agar
Pemerintah mengeluarkan PP pelaksanaannya. Setelah empat tahun pelaksanaan UU ini,
belum terlihat tanda-tanda Pemerintah akan mengeluarkan PP tersebut. Sejauh ini,
12 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
belum ada pejabat pemerintah kabupaten/kota yang memberi perhatian terhadap
persoalan ini. Namun, ada seorang staf pemerintah provinsi menyampaikan
keberatannya atas regulasi yang akan mengalihkan dana dekonsentrasi dan tugas
pembantuan ke DAK. Alasannya adalah bahwa dana perimbangan itu dimaksudkan
untuk membantu pemda sebelum mereka mempunyai kemampuan yang cukup. Jadi,
seharusnya dana perimbangan, termasuk DAK, tidak diharapkan untuk terus diperbesar,
sebaliknya seharusnya justru makin dikurangi. Persoalannya adalah bahwa selama
berbagai sumber penerimaan besar dikuasai Pemerintah Pusat, mayoritas pemda tidak
akan pernah memperoleh penerimaan yang cukup memadai untuk membiayai
kegiatannya. Beberapa staf kabupaten menilai bahwa keberatan pejabat provinsi itu
lebih disebabkan oleh fakta bahwa dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan diurus
pemerintah provinsi, sementara DAK dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota.
Satu-satunya PP yang mengatur DAK adalah PP No. 55/2005 tentang Dana
Perimbangan. DAK merupakan bagian dari dana perimbangan yang diatur dalam PP ini.
Kekhususan DAK diarahkan untuk kegiatan pembangunan, pengadaan, peningkatan,
dan/atau perbaikan sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar masyarakat dengan umur
ekonomis panjang. Untuk menyatakan komitmen dan tanggung jawabnya, daerah
penerima wajib mengalokasikan dana pendamping dalam APBD-nya sebesar minimal
10% dari jumlah DAK yang diterimanya. Menteri Negara (Meneg) Perencanaan
Pembangunan Nasional (PPN) bersama dengan Menteri Teknis melakukan pemantauan
dan evaluasi atas pemanfaatan dan teknis pelaksanaan berbagai kegiatan yang dibiayai
DAK, sementara Menteri Keuangan (Menkeu) melakukan pemantauan dan evaluasi
pengelolaan keuangannya.
DAK dialokasikan dalam APBN berdasarkan UU tentang APBN dan pengalokasian ini
sesuai dengan program yang menjadi prioritas nasional sebagaimana tercantum dalam
Keputusan Presiden tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun berjalan. Bappenas
(2006) membandingkan kesesuaian bidang kegiatan yang didanai DAK 2006 dengan
prioritas pembangunan nasional berdasarkan RKP 2006. Tabel 2.2 memperlihatkan
bahwa ada dua bidang yang tidak sesuai dengan RKP 2006, yaitu lingkungan hidup dan
prasarana pemerintahan daerah. Kesesuaian bidang-bidang lain dengan RKP pun baru
pada tingkat judul, belum sampai pada kesesuaian antara kegiatan bidang dan arah
kegiatan setiap prioritas pembangunan nasional, kecuali pada bidang infrastruktur dalam
rangka mendukung peningkatan kesempatan kerja, investasi, dan ekspor (Bappenas
2006).
Mulai 2007, bidang kegiatan DAK semakin sesuai dengan prioritas pembangunan dan
kegiatan pokok yang tertuang dalam RKP 2007 (Tabel 2.3). Pada Program Wajib
Belajar (Wajar) Pendidikan Dasar (Dikdas) Sembilan Tahun, misalnya, tercantum
kegiatan RKP untuk merehabilitasi (gedung) sekolah pada jenjang SD (57% rusak) dan
SMP (27% rusak). Dalam hal mutu pendidikan, RKP menyusun kegiatan penyediaan
buku pelajaran dan pembangunan sarana pendukung. Dalam kaitannya dengan program
kesehatan masyarakat, RKP antara lain merumuskan kegiatan untuk meningkatkan
status fisik puskesmas dan jaringannya, terutama di daerah perbatasan, terpencil,
tertinggal, dan kepulauan. Pada sisi lain, RKP infrastruktur jalan sebagaimana yang
tertera pada program rehabilitasi/pemeliharaan jalan dan jembatan tidak mencantumkan
kegiatan yang cocok untuk kegiatan DAK. RKP umumnya berisi kegiatan yang
menyangkut ruas jalan nasional, sementara DAK diperuntukkan bagi ruas jalan yang
berstatus jalan kabupaten/kota (Bappenas 2006a).
13 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
Tabel 2.2 Kesesuaian Prioritas Pembangunan dan Bidang Kegiatan DAK, 2006
Prioritas Pembangunan RKP 2006 Bidang Kegiatan DAK 2006
1. Prioritas penanggulangan kemiskinan dan
kesenjangan
2. Prioritas peningkatan kesempatan kerja,
investasi, dan ekspor
3. Prioritas revitalisasi pertanian, perikanan,
kehutanan, dan perdesaan
4. Prioritas peningkatan aksesibilitas dan kualitas
pendidikan, dan kesehatan
5. Prioritas penegakan hukum, pemberantasan
korupsi, dan reformasi birokrasi
6. Prioritas penguatan kemampuan pertahanan,
pemantapan keamanan dan ketertiban, dan
penyelesaian konflik
7. Prioritas rehabilitasi dan rekonstruksi
Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias
(Sumatera Utara)
1. Bidang pendidikan
2. Bidang kesehatan
3. Bidang ke-PU-an
• Prasarana jalan
• Prasarana irigasi
• Prasarana air bersih
4. Bidang prasarana pemerintahan daerah
5. Bidang kelautan dan perikanan
6. Bidang pertanian
7. Bidang lingkungan hidup
Sumber: Bappenas (2006)
Tabel 2.3 Kesesuaian Prioritas Pembangunan dan Bidang Kegiatan DAK, 2007
Prioritas Pembangunan RKP 2006 Bidang Kegiatan DAK 2006
1. Peningkatan akses masyarakat terhadap
pelayanan pendidikan yang lebih berkualitas
2. Peningkatan akses masyarakat terhadap
layanan kesehatan yang lebih berkualitas
3. Percepatan pembangunan infrastruktur
4. Revitalisasi proses desentralisasi dan otonomi
daerah
5. Revitalisasi pertanian, perikanan, dan
kehutanan
6. Perbaikan pengelolaan sumber daya alam dan
pelestarian fungsi lingkungan hidup
1. Bidang pendidikan
2. Bidang kesehatan
3. Bidang ke-PU-an
• Prasarana jalan
• Prasarana irigasi
• Prasarana air bersih
4. Bidang prasarana pemerintahan daerah
5. Bidang kelautan dan perikanan
6. Bidang pertanian
7. Bidang lingkungan hidup
Sumber: Diolah berdasarkan Bappenas (2006a)
Selain mempertimbangkan kriteria umum dan kriteria khusus, penghitungan alokasi DAK
oleh Menkeu juga mempertimbangkan kriteria teknis yang berupa kegiatan khusus atas
usul Menteri Teknis. Kegiatan khusus ini ditetapkan berdasarkan indeks teknis setiap
bidang setelah Menteri Teknis yang bersangkutan mengkoordinasikannya dengan
Mendagri, Menkeu, dan Meneg PPN. Berikut ini adalah kriteria teknis dari tiga bidang
kegiatan yang menjadi sampel kajian ini.9 Kriteria teknis bidang pendidikan terdiri dari
(1) jumlah ruang kelas yang rusak; (2) jumlah SD dan sekolah yang setara; dan (3) indeks
kemahalan konstruksi (IKK). Kriteria teknis bidang kesehatan meliputi (1) indeks
kemiskinan masyarakat (IKM); (2) luas wilayah; (3) jumlah penduduk; (4) jumlah
puskesmas, pustu, polindes, pusling, dan rumah dinas tenaga kesehatan; dan (5) IKK.
Kriteria teknis bidang infrastruktur jalan mencakup (1) panjang jalan kabupaten/kota; (2)
panjang jalan yang rusak; (3) kinerja jalan kabupaten/kota; dan (4) IKK.
9Tinjauan umum terhadap ketiga Petunjuk Teknis yang dikeluarkan oleh tiap-tiap Menteri Teknis dibahas
di akhir bagian ini.
14 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
Hasil penghitungan alokasi DAK dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan
(PMK) tentang Alokasi dan Pedoman Pengelolaan DAK per Daerah. Menurut PP No.
55/2005, Menkeu sudah harus mengeluarkan PMK ini paling lambat dua minggu setelah
UU APBN disahkan. UU No. 18/2006 tentang APBN 2007 disahkan pada 17 Oktober
2006, sementara PMK tentang DAK 2007 baru diterbitkan pada 15 Desember 2006 atau
dua bulan kemudian.
Sejauh ini, alokasi DAK masih tergolong kecil; sampai dengan 2005, proporsinya
terhadap total belanja APBN masih di bawah 1% (Tabel 2.4). Dalam usaha
meningkatkan efektivitas penggunaan dana yang terbatas itu, pemda dapat membentuk
Tim Koordinasi Kegiatan DAK yang mengoordinasikan perencanaan, pelaksanaan,
pelaporan, dan pemantauan. Tim ini biasanya dikoordinasikan oleh pejabat Bappeda
dengan anggota dari setiap satuan kerja perangkat daerah (SKPD) pengelola DAK.
Koordinasi ini bertujuan agar terjadi sinkronisasi dan sinergi penggunaan DAK, dan
supaya penggunaannya tidak bertumpang-tindih dengan penggunaan DAK untuk
kegiatan pembangunan lain. Selain itu, koordinasi ini juga bertujuan untuk menciptakan
transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas pada setiap kegiatan yang dibiayai DAK.
Tabel 2.4 Perkembangan Alokasi DAK, 2003–2007 (juta rupiah)
Rincian 2003 2004 2005 2006 2007
Jumlah bidang 4 5 6 7 7
DAK dalam APBN 2.269.000 2.835.500 4.014.000 11.569.800 17.094.100
DAK/TB APBN (%) 0,70 0,84 0,85 1,73 2,24
Sumber: Diolah dari APBN dan PMK tiap-tiap tahun
Keterangan: TB = Total belanja dalam APBN; tahun 2007 masih angka perkiraan
Setelah menerima surat rincian alokasi anggaran (SRAA) DAK, Kepala Daerah
menyusun rencana penggunaan DAK yang dituangkan dalam rencana definitif (RD) dan
konsep daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA). Ketiga dokumen tersebut
dikonsultasikan (asistensi dan konfirmasi) dengan Kepala Kanwil DJP setempat.
Sebagai hasilnya, Kepala Kanwil DJP mengeluarkan Surat Pengesahan DIPA DAK.
Atas dasar DIPA DAK ini, Kepala Daerah menyusun dokumen pelaksana anggaran
(DPA)/DIPA SKPD yang memuat kegiatan dan alokasi anggaran untuk setiap bidang
yang menerima anggaran. Gambar 2.1 menjelaskan mekanisme verifikasi RD yang
kemudian berubah menjadi DIPA.
Dalam mengelola kegiatan yang dibiayai DAK, pemda wajib pula mengikuti petunjuk
teknis (juknis) yang dikeluarkan oleh Menteri Teknis. Menurut PP No. 55/2005,
Menteri Teknis menetapkan Juknis tentang Penggunaan DAK paling lambat dua
minggu setelah penetapan alokasi DAK oleh Menkeu. Berikut ini adalah gambaran
umum tiga Juknis tentang Penggunaan DAK yang menjadi sampel kajian (pendidikan,
kesehatan, dan PU-jalan).
Departemen Teknis
mengeluarkan JUKNIS
Kanwil PBN menggunakan
SRAA dan Juknis sebagai
sumber untuk verifikasi RD
dan Konsep DIPA dinas teknis
Dinas berlandaskan Juknis
menyusun RD dan Konsep
DIPA DAK
Dinas menggunakan
DIPA/DASK sebagai
Ditjen Perbendaharaan
mengeluarkan SRAA DAK
15 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
Keterangan: Gambar dibuat berdasarkan hasil wawancara dengan pihak terkait dan beberapa
Petunjuk Teknis Pelaksanaan DAK.
Gambar 2.1 Mekanisme Verifikasi Rencana Definitif Menjadi Daftar Isian
Pelaksana Anggaran/Daftar Anggaran Satuan Kerja
Peraturan Mendiknas No. 4/2007 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan DAK Bidang
Pendidikan Tahun 2007 ditetapkan pada 29 Januari 2007 atau enam minggu setelah
keluarnya PMK tentang Penetapan Alokasi DAK 2007. DAK bidang pendidikan
dialokasikan untuk menunjang pelaksanaan Wajar Dikdas Sembilan Tahun yang
bermutu. Kegiatannya diarahkan untuk (1) merehabilitasi gedung/ruang kelas SD dan
sekolah yang setara, baik umum, agama, negeri, maupun swasta; dan (2) peningkatan
mutu pendidikan dasar.
Tujuan DAK bidang pendidikan adalah mewujudkan pengelolaan pendidikan yang
transparan, profesional, dan akuntabel; melibatkan masyarakat secara aktif; mendorong
masyarakat untuk ikut mengawasi kegiatan pendidikan secara langsung; dan
menggerakkan perekonomian masyarakat bawah. Arah kebijakannya, antara lain, untuk
menghindari ketumpangtindihan dengan kegiatan yang didanai anggaran kementerian
dan secara bertahap mengalihkan pendanaan kegiatan yang telah menjadi urusan daerah
dari dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan ke DAK.
Dalam proses pemanfaatan DAK, Dinas Pendidikan dan Kantor Departemen Agama
bersama dengan Dewan Pendidikan kabupaten/kota membentuk tim teknis yang bertugas
menyeleksi sekolah penerima, mensosialisasikan kegiatan, dan mengawasi
pelaksanaannya. Selain itu, penanggung jawab pelaksanaan kegiatan di tingkat sekolah
adalah kepala sekolah dengan dibantu oleh komite sekolah/majelis madrasah. Pelaksanaan
kegiatan di tingkat sekolah dilakukan secara swakelola dengan melibatkan lingkungan
masyarakat di sekitar sekolah.10 Penyaluran dana ke sekolah diberikan secara penuh/utuh
tanpa potongan pajak dari kas daerah ke rekening sekolah. Kewajiban pajak diurus oleh
sekolah berdasarkan peraturan yang berlaku (untuk mekanisme pencairan, penyaluran,
dan pelaporan penggunaan DAK di bidang pendidikan, lihat Lampiran 4).
Sebagai tindak lanjut dari petunjuk teknis ini, pada 15 Februari 2007, Dirjen Pendidikan
Dasar dan Menengah mengeluarkan Surat Edaran (SE) No. 643/C/KU/2007 tentang
Tata Cara Pelaksanaan DAK Bidang Pendidikan Tahun Anggaran 2007. Kemudian,
pada 16 Februari 2007, Direktur Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar mengeluarkan
pula SE No. 0123/C2/LL/2007 tentang Contoh Spesifikasi Teknis Meubelair, Alat
Peraga Pendidikan, Buku Pengayaan/Referensi untuk Perpustakaan, Sarana Multimedia,
dan Alat Perpustakaan, serta Penyusunan Laporan Kegiatan DAK Bidang Pendidikan
Tahun Anggaran 2007.
10Pelaksanaan kegiatan secara swakelola ini dinilai oleh beberapa pihak, khususnya para kontraktor, telah
melanggar Keppres No. 80/2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
16 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
Kedua SE ini isinya jelas dan rinci. Kalau saja pengelola DAK di daerah membaca
keduanya dengan cermat, tidak akan ditemukan ukuran meja dan kursi murid yang
seragam dan hanya cocok untuk murid kelas 1. Bila murid-murid kelas 3 dan 4, apalagi
murid-murid kelas 5 dan 6, menggunakan meja dan kursi tersebut, mereka terpaksa
harus agak membungkuk. Dapat dibayangkan akibatnya pada fisik murid-murid tersebut
setelah bertahun-tahun menggunakan meja dan kursi semacam ini. Penyeragaman
seperti ini juga ditemukan pada jumlah meja dan kursi yang semuanya 40 pasang di
setiap kelasnya, padahal ada banyak sekolah yang jumlah murid per kelasnya sekitar 20
orang saja sehingga meja dan kursi yang tidak terpakai hanya ditumpuk di bagian
belakang ruang kelas.11 Kejanggalan lain adalah menyangkut pengadaan buku
pengayaan pengetahuan murid untuk perpustakaan sekolah. Ada sekolah yang membeli
100 set buku untuk satu judul buku saja, padahal akan lebih baik jika disediakan
sepuluh judul buku yang berbeda, masing-masing terdiri atas sepuluh set buku. Dengan
demikian, di perpustakaan sekolah tersedia sepuluh judul buku yang dapat memberi
kesempatan kepada murid untuk menambah khazanah pengetahuannya secara lebih
banyak dan luas.
Keputusan Menteri Kesehatan No. 7/Menkes/SK/I/2007 tentang Petunjuk Teknis
Penggunaan DAK Tahun Anggaran 2007 dikeluarkan pada 8 Januari 2007 atau tiga
minggu setelah keluarnya PMK tentang Penetapan Alokasi DAK 2007. DAK bidang
kesehatan dialokasikan untuk usaha peningkatan akses dan mutu pelayanan kesehatan.
Kegiatannya diarahkan untuk peningkatan, rehabilitasi, perluasan, pengadaan, dan
pembangunan berbagai jenis unit pelayanan kesehatan serta pengadaan peralatan
kesehatan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan dasar.
Pendistribusian alokasi DAK bidang kesehatan ke puskesmas dan jaringannya
ditetapkan oleh bupati/walikota atas usulan Dinas Kesehatan kabupaten/kota.
Pendistribusian ini tidak didasarkan atas asas pemerataan, melainkan diprioritaskan
pada pemenuhan kebutuhan pemanfaatnya. Setiap kabupaten wajib memprioritaskan
pembangunan poskesdes dalam rangka mendukung Program Desa Siaga.12
Bupati/walikota menunjuk SKPD bidang kesehatan sebagai penanggung jawab
pelaksana kegiatan kesehatan yang dibiayai DAK.
Setiap triwulan sekali (pada Maret, Juni, September, dan Desember), bupati/walikota
harus menyampaikan laporan yang berisi jenis kegiatan, realisasi fisik, realisasi
keuangan, dan permasalahan kepada Sekretaris Jenderal Depkes. Pada Maret,
kabupaten/kota juga diminta untuk mengirimkan data jumlah dan kondisi seluruh sarana
kesehatan di wilayahnya untuk dijadikan sebagai salah satu pertimbangan dalam
pengalokasian DAK bidang kesehatan tahun berikutnya (untuk mekanisme pelaporan
penggunaan DAK, lihat Lampiran 6).
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 39/PRT/M/2006 tentang Petunjuk Teknis
Penggunaan DAK Bidang Infrastruktur Tahun 2007 dikeluarkan pada 29 Desember
11Penyeragaman memang memudahkan tugas pengelola proyek, tetapi mencari cara gampang seperti ini
tergolong tidak bertanggung jawab karena mereka tidak peduli dengan kondisi keuangan negara yang
terbatas.
12Desa yang sumber dayanya siap, mau, dan mampu mencegah dan mengatasi kegawatan yang
disebabkan oleh bencana, baik itu bencana alam yang menimbulkan kegawatan kesehatan maupun
bencana penyakit yang menimbulkan kegawatan kesehatan (Supari 2006).
17 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
2006. Menteri PU menaati perintah PP No. 55/2005 untuk menerbitkan juknis dalam
jangka dua minggu setelah diterbitkannya PMK tentang Penetapan Alokasi DAK 2007.
Secara nasional, prioritas kegiatan DAK infrastruktur jalan adalah meningkatkan
integrasi fungsi jaringan jalan, meningkatkan akses ke daerah potensial, membuka
daerah terisolir dan terpencil, serta mendukung pengembangan kawasan perbatasan.
DAK dialokasikan untuk pemeliharaan berkala jalan sebesar minimal 70% dan
peningkatan jalan sebesar maksimal 30%. Kegiatan pemeliharaan rutin jalan dan
pembangunan jalan tidak dapat dibiayai dengan DAK. DAK infrastruktur jalan terutama
dialokasikan untuk kegiatan pemeliharaan berkala jalan dan peningkatan prasarana jalan
dan jembatan pada ruas-ruas jalan yang secara resmi berstatus jalan kabupaten/kota.
Untuk pemanfaatan DAK, menteri membentuk Tim Koordinasi dan Tim Teknis tingkat
departemen, dan departemen menyediakan biaya khusus untuk kegiatan operasional
tim-tim tersebut.13 Di tingkat provinsi, gubernur juga membentuk tim penyelenggara
yang terdiri dari unsur Bappeda, dinas teknis terkait, dan satuan kerja pusat di daerah
(Perencanaan dan Pengawasan Jalan dan Jembatan–P2JJ). Untuk melaksanakan
kegiatan di tingkat kabupaten/kota yang didanai oleh DAK, bupati/walikota membentuk
tim penyelenggara yang terdiri dari unsur Bappeda dan dinas terkait. Kepala SKPD
yang membidangi urusan jalan bertanggung jawab secara fisik dan keuangan atas
pelaksanaan kegiatan yang dibiayai dengan DAK. Dalam Peraturan Menteri PU di atas,
terdapat pasal tentang sanksi bagi penyelenggara DAK yang tidak melaksanakan
tugasnya sesuai dengan Peraturan Menteri PU ini dalam bentuk penilaian kinerja yang
akan dituangkan dalam laporan menteri kepada Menkeu, Meneg PPN, Mendagri, dan
DPR. Untuk memberikan penilaian yang dimaksud menteri memerlukan laporan
pelaksanaan kegiatan DAK setiap daerah penerima. Pelaporan pelaksanaan kegiatan
DAK dilakukan secara berjenjang oleh kepala SKPD, kepala daerah, dan menteri.
Dalam kaitan ini, Pasal 102 UU No. 33/2004 memberi kewenangan kepada Menkeu
untuk memberikan sanksi berupa penundaan penyaluran dana perimbangan, termasuk
DAK, kepada daerah yang tidak menyampaikan informasi. Setiap penundaan
penyaluran dana ke daerah berdampak pada terhambatnya perekonomian rakyat di
daerah. Jadi, pasal ini berarti bahwa sanksi atas kesalahan pejabat ditanggung oleh
rakyat banyak (lihat juga Kotak 2.1).
2.3 Regulasi DAK Tingkat Daerah
Ketergantungan keuangan daerah pada hibah Pemerintah Pusat melalui dana
perimbangan dapat dikatakan belum berubah meskipun UU tentang desentralisasi dan
otonomi daerah telah direformasi. Selama sumber-sumber penerimaan negara yang
berpotensi besar tetap dikuasai Pemerintah Pusat, selama itu pula kondisi
ketergantungan pemda akan terus berlangsung.
Meskipun jumlah DAK relatif kecil dibanding jumlah DAU, kebanyakan daerah
mengandalkan DAK untuk belanja modal (dulu belanja pembangunan), sementara bagian
terbesar DAU dipakai untuk belanja pegawai/barang (dulu belanja rutin). Dalam
mengelola DAK, daerah umumnya bekerja berdasarkan regulasi yang dikeluarkan
Pemerintah Pusat. Hanya beberapa daerah saja yang mengeluarkan regulasi pengaturan
13Tidak semua departemen menyediakan dana operasional untuk Tim Koordinasi tingkat departemen.
Untuk itu, staf pengelola DAK Depdiknas, misalnya, mengusulkan agar Pemerintah menyediakan dana
monitoring dan evaluasi DAK.
18 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
pemanfaatan DAK sebagai rincian atas regulasi Pemerintah Pusat. Salah satu daerah yang
secara khusus mengeluarkan regulasi semacam ini adalah Kabupaten Gorontalo, namun
itupun hanya terbatas untuk bidang pendidikan. Setiap tahun, Bupati Gorontalo
mengeluarkan Peraturan Bupati tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan DAK. Tujuannya
adalah untuk mengatur pengelolaan DAK bidang pendidikan yang dilaksanakan secara
swakelola berapa pun nilai proyeknya. Kegiatan swakelola yang tidak membatasi nilai
proyeknya seperti ini tidak sesuai dengan Keppres No. 80/2003 yang membatasi nilai
proyek swakelola sebesar maksimal Rp50.000.000.14 Bupati Gorontalo tidak
mengeluarkan petunjuk teknis untuk bidang lain karena pengelolaan DAK bidang-bidang
lain sepenuhnya didasarkan pada Keppres No. 80/2003. Kegiatan yang nilainya lebih dari
Rp50.000.000 diproses melalui tender terbuka.
Pemda Kabupaten Kupang memberi kesempatan yang lebih luas kepada masyarakat
untuk ikut melaksanakan kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah secara swakelola.
Dalam rangka pelaksanaan Program Pemberdayaan Masyarakat (PPM), setiap tahun
kabupaten ini mengeluarkan petunjuk pelaksanaan PPM melalui surat keputusan bupati.
PPM pada dasarnya memberi ruang bagi masyarakat untuk mengerjakan proyek yang
dibiayai APBD secara swakelola (tanpa tender) dengan nilai maksimal Rp250.000.000
(Surat Keputusan Bupati Kupang No. 134/SKEP/HK/2007). Pada dasarnya, SK ini tidak
sesuai dengan isi Keppres No. 80/2003 yang seperti telah disebut sebelumnya
membatasi nilai proyek swakelola sebesar maksimal Rp50.000.000.
Karena DAK termasuk ke dalam APBD, selain harus tunduk pada regulasi Pemerintah
Pusat tentang DAK, pemda juga harus mengelolanya bersama dengan unsur legislatif
(DPRD). Kotak 2.1 antara lain menggambarkan beberapa persoalan yang terkait dengan
hambatan penggunaan DAK. Hambatan tersebut sebenarnya tidak semata-mata
bersumber di daerah. Dalam banyak hal, proses pengambilan keputusan di daerah
tergantung pada berbagai keputusan di pusat. Keterlambatan keputusan di pusat
membuat keputusan di daerah menjadi tertunda.
Di tingkat kabupaten/kota, prioritas dan plafon anggaran setiap SKPD disusun
berdasarkan kebijakan umum APBD yang seharusnya sudah disepakati pada Juli tahun
sebelumnya (lihat Pasal 35 PP No. 58/2005). Untuk kasus APBN 2007, misalnya,
APBN baru ditetapkan pada Oktober 2006 dan alokasi DAK pada Desember, disusul
kemudian dengan ketetapan petunjuk teknis penggunaan DAK oleh Menteri Teknis.
Jadwal penerbitan berbagai keputusan yang saling terkait tetapi tidak saling mendukung
dari segi waktu ini menyebabkan penyusunan APBD menjadi tersendat-sendat (lihat
Tabel 2.5). Ketika isi keputusan pusat yang terbit terlambat itu ternyata berbeda dengan
yang diperkirakan daerah dalam membuat kesepakatan APBD, banyak hal dalam
rancangan APBD yang terpaksa harus dirombak atau diteliti ulang dan wajib
dibicarakan lagi dengan DPRD. Proses seperti ini, selain menyita waktu pejabat daerah,
juga menghabiskan banyak dana, sementara kemampuan keuangan daerah terbatas.
Tabel 2.5 Jadwal Penetapan Regulasi yang Terkait dengan
Pengelolaan DAK, 2007
Regulasi Waktu Penetapan Keterangan
14Dasar dari Peraturan Bupati ini adalah Peraturan Mendiknas tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan
DAK.
19 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
UU No. 18/2006 tentang APBN TA (Tahun
Anggatan) 2007 17 Oktober 2006
Perlu lebih cepat
karena APBD sudah
mulai disusun
PMK No. 128/PMK.07/2006 tentang Penetapan
Alokasi dan Pedoman Umum Pengelolaan DAK TA
2007
15 Desember 2006
Terlambat enam
minggu; seharusnya
awal November
Peraturan Mendiknas No. 4/2007 tentang Petunjuk
Teknis Pelaksanaan DAK Bidang Pendidikan TA
2007
29 Januari 2007
Terlambat empat
minggu; seharusnya
akhir Desember
Keputusan Menteri Kesehatan No. 7/Menkes/SK/I/
2007 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan DAK TA
2007
8 Januari 2007
Terlambat satu
minggu, seharusnya
akhir Desember
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 39/PRT/
M/2006 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan DAK
Bidang Infrastruktur TA 2007
29 Desember 2006 Tepat waktu
Secara umum pemda tidak mempunyai ruang untuk mengusulkan kegiatan yang akan
dibiayai DAK kepada Pemerintah Pusat meskipun Pasal 162 UU No. 32/2004
memungkinkan daerah untuk mengajukan usul. Pemda hanya berkewajiban menyediakan
dan mengirimkan data tentang kondisi sarana dan prasarana bidang-bidang pemerintahan
yang secara nasional memperoleh alokasi DAK. Data tersebut menjadi bahan baku bagi
Pemerintah Pusat (Menkeu) untuk mengalokasikan DAK ke setiap daerah. Selain
menggunakan data dari daerah, perhitungan alokasi DAK juga menggunakan data yang
bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS). Setelah mengetahui alokasi DAK untuk
daerahnya, barulah pemda merencanakan distribusi penggunaannya ke berbagai kegiatan
sesuai dengan ketentuan Pemerintah Pusat. Dalam berbagai FGD, selalu muncul kritik
tentang lemahnya pangkalan data mengenai berbagai bidang pemerintahan di daerah.15
Penilaian tersebut biasanya didasarkan pada adanya kekurangtepatan penetapan lokasi
untuk kegiatan-kegiatan yang didanai DAK. Namun, ketidaktepatan lokasi belum tentu
sepenuhnya disebabkan oleh kelemahan pangkalan data. Misalnya, kesalahan lokasi dapat
terjadi karena adanya tekanan (lobby) dari kelompok-kelompok kepentingan tertentu.
Sebagai contoh lain, meskipun DAK tidak berasaskan pemerataan, beberapa daerah
terpaksa menggunakan pendekatan pemerataan guna menghindari kecemburuan sosial
antarwilayah. Ketika pemda mempertimbangkan asas pemerataan, asas kebutuhan
pemanfaatnya yang ada di balik konsep DAK ini cenderung terabaikan.
15Kalau kritik ini betul, tentunya data yang dikirim ke pusat pun dengan sendirinya pantas dipertanyakan.
20 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
BAB III
PENGALOKASIAN DANA ALOKASI KHUSUS
Tujuan pengalokasian DAK antara lain adalah untuk meningkatkan penyediaan sarana
dan prasarana fisik yang menjadi prioritas nasional dan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi guna menyerasikan laju pertumbuhan antardaerah serta pelayanan antarsektor.
Sejak 2006, ada tujuh bidang pelayanan pemerintahan yang mendapatkan DAK, yakni
pendidikan, kesehatan, infrastruktur (prasarana jalan, irigasi, dan air bersih), prasarana
pemerintahan, pertanian, perikanan dan kelautan, serta lingkungan hidup. Di antara
ketujuh bidang itu, bidang pendidikan, kesehatan dan infrastruktur jalan selalu
mendapat porsi DAK terbanyak. Total alokasi DAK untuk ketiga bidang tersebut
mencapai sekitar tiga perempat dari total DAK. Sebagaimana diuraikan dalam Bab II,
DAK merupakan modifikasi dari model dana Inpres pada era Orde Baru. Perbedaannya
antara lain adalah bahwa dana Inpres memiliki dua pendekatan, yaitu pendekatan
sektoral dan wilayah. Dana Inpres sektoral terdiri dari dana Inpres SD, dana Inpres
kesehatan, dana Inpres penghijauan dan reboisasi, dana Inpres peningkatan jalan dan
dana Inpres pasar. Dana Inpres wilayah terdiri dari dana Inpres Dati I (provinsi) dan
dana Inpres Dati II (kabupaten/kota). Berbeda dengan dana Inpres, DAK hanya
dialokasikan untuk kabupaten/kota16 dengan alokasi bidang yang bergantung pada
prioritas nasional sebagaimana tercantum dalam RKP.
Pada awal pelaksanaan desentralisasi fiskal, seluruh DAK bersumber dari dana reboisasi
(DR), yakni sebesar 40 persen dari penerimaan bidang kehutanan. Sejak 2003, selain
membiayai kegiatan bidang kehutanan, DAK juga membiayai kegiatan bidang lainnya
dalam usaha Pemerintah untuk memenuhi standar pelayanan minimum (SPM). Sejak
2006, Pemerintah mengalihkan komponen DAK DR menjadi salah satu komponen
DBH karena adanya kesamaan karakteristik antara konsep DBH yang bersifat “menurut
asalnya” dan DAK DR.17 Pada awalnya, DAK non-DR hanya dialokasikan untuk empat
bidang, yakni pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan prasarana pemerintahan.
Namun, pada 2004, Pemerintah menambahkan sebuah bidang, yaitu kelautan dan
perikanan, dan pada 2005, terjadi penambahan satu bidang lagi, yaitu pertanian. Sejak
2006, cakupan pembiayaan DAK secara total menjadi tujuh bidang dengan
ditambahkannya bidang lingkungan hidup. Bidang pembiayaan DAK bertambah sesuai
dengan perkembangan RKP yang merupakan acuan rencana pembangunan nasional.
Dalam konteks itu, perkembangan jumlah nominal DAK dalam APBN tergantung pada
kemampuan keuangan negara. Selama periode 2001–2007, jumlah nominal dan proporsi
DAK terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mengalami peningkatan sejalan dengan
meningkatnya PDB. Penetapan jumlah DAK dan alokasinya kepada daerah merupakan
hasil keputusan antara Panitia Anggaran DPR dengan Pemerintah yang terdiri dari unsur
Depkeu, Depdagri, Bappenas, dan departemen teknis yang bidang tugasnya menerima
alokasi DAK (Gambar 3.1).
16Meskipun demikian, pengertian DAK dalam UU No. 32 atau 33/2004, atau bahkan PP No. 55/2005,
tidak secara eksplisit menyatakan bahwa DAK hanya diperuntukkan bagi daerah kabupaten/kota.
17Nota Keuangan RI 2007, Departemen Keuangan
21 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
Meskipun mekanisme penetapan DAK melibatkan beberapa lembaga, keputusan akhir
mengenai total jumlah DAK dan alokasinya per bidang maupun per daerah menjadi
wewenang Menteri Keuangan setelah berkonsultasi dengan DPR. Peran lembaga
lainnya hanya sebagai fasilitator. Departemen teknis, misalnya, hanya berperan dalam
memberikan data teknis tiap daerah sesuai dengan bidang tugasnya. Menurut seorang
responden di Depkeu, data teknis di berbagai bidang umumnya tidak up-to-date; hal ini
menjadi kendala dalam upaya perhitungan alokasi DAK kepada daerah secara tepat.
Sebagian responden menyatakan bahwa salah satu faktor penyebab kurang tersedianya
data yang komprehensif adalah kurang terakomodasinya hasil musyawarah rencana
pembangunan (musrenbang) dari tingkat desa hingga tingkat kabupaten/kota.
Keterangan: Gambar dibuat berdasarkan hasil analisis beberapa peraturan
yang berkaitan dengan DAK dan hasil wawancara dengan Departemen terkait.
Gambar 3.1 Mekanisme Pengalokasian DAK di Tingkat Pusat
Uraian dalam Bab II menyatakan bahwa daerah yang berhak mendapatkan DAK harus
memenuhi kriteria umum, khusus, dan teknis. Menurut beberapa responden, proses dan
formula perhitungan DAK tergolong relatif kompleks (lihat Kotak 3.1). Rincian proses
perhitungannya tidak bersifat transparan dan sulit untuk diakses oleh publik. Banyak
pihak menginginkan penyederhanaan formula perhitungan DAK. Selain untuk alasan
transparansi, penyederhanaan itu juga akan berguna bagi daerah dalam mengaplikasikan
formula yang tersedia sewaktu mereka memperkirakan perolehan DAK-nya. Harapannya
adalah bahwa daerah dapat menyusun APBD-nya dengan lebih mudah.
Pemerintah Pusat
APBN termasuk juga
nilai Total DAK
Depkeu & Bappenas DPR
DPR
Alokasi DAK per bidang
Depkeu dengan
mempertimbangkan
masukan dari Dept
Teknis, Bappenas, &
Depdagri
DPR
Alokasi DAK per
daerah
22 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
Kotak 3.1 Proses Penentuan Alokasi DAK untuk Kabupaten/Kota
1. Langkah pertama adalah penentuan kabupaten/kota yang berhak menerima DAK berdasarkan
Indeks Fiskal Neto (IFN) atau kemampuan keuangan suatu daerah (IFN<1 otomatis daerah
berhak menerima). Langkah ini termasuk ke dalam kriteria umum.
2. Langkah kedua adalah sebagai berikut. Apabila ada sebuah kabupaten/kota yang tidak memenuhi
kriteria umum namun memenuhi salah satu kriteria dari kriteria khusus, yaitu Otonomi Khusus
(Otsus) dan daerah tertinggal sebagaimana tercantum dalam undang-undang, seperti Provinsi
NAD dan Provinsi Papua (untuk tahun 2007, hanya Papua), daerah tersebut secara otomatis
berhak mendapat DAK.
3. Dalam langkah ketiga, jika daerah dimaksud tidak termasuk ke dalam wilayah Provinsi NAD
atau Provinsi Papua, daerah itu harus melalui proses penentuan berdasarkan langkah kedua
kriteria khusus, yakni karakteristik wilayah seperti daerah pesisir, daerah yang berbatasan
dengan negara tetangga, daerah terpencil, daerah yang rawan banjir dan tanah longsor, daerah
rawan pangan dan, sejak tahun 2007, daerah pariwisata. Karakteristik wilayah tadi masuk ke
dalam Indeks Karakteristik Wilayah (IKW).
4. Langkah keempat menggabungkan IFN (setelah dikonversi sesuai dengan arah IKW) dan Indeks
Karakteristik Wilayah untuk mendapatkan Indeks Fiskal dan Wilayah (IFW).
5. Dalam langkah kelima, jika nilai IFW suatu kabupaten/kota lebih dari 1, kabupaten/kota tersebut
secara otomatis berhak menerima DAK (walaupun berdasarkan kriteria umum daerah tadi tidak
berhak). Apabila nilai IFW suatu daerah kurang dari 1, daerah tersebut tidak berhak menerima
DAK.
6. Menurut langkah keenam, daerah yang berhak menerima DAK adalah daerah yang memenuhi
langkah pertama (IFN<1) atau langkah kedua (kabupaten/kota berada pada wilayah provinsi
NAD atau Papua, meskipun IFN>1), atau memenuhi langkah kelima, yaitu IFW>1.
7. Langkah ketujuh menghitung Bobot Daerah (BD) dengan cara mengalikan Indeks Fiskal dan
Wilayah (IFW) dengan Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK).
8. Dalam langkah kedelapan, untuk seluruh kabupaten/kota, departemen teknis menghitung Indeks
Teknis untuk tiap sektor yang akan menerima DAK.
9. Langkah kesembilan menghitung Bobot Teknis (BT) dengan cara mengalikan Indeks Teknis
dengan IKK.
10. Langkah kesepuluh menentukan bobot DAK berdasarkan hasil dari penggabungan BD dan BT.
11. Dalam langkah kesebelas, setelah mendapatkan bobot DAK, Depkeu kemudian menentukan
jumlah DAK untuk tiap kabupaten/kota.
Keterangan: Alur ini disusun berdasarkan hasil analisis beberapa peraturan yang berkaitan dengan DAK dan
hasil wawancara dengan kementerian terkait.
3.1 DAK dalam APBN: Perbandingannya dengan DAU, DBH, dan Dana
Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
Sebagai bagian dari dana perimbangan, DAK memberikan kontribusi yang lebih kecil
terhadap keseluruhan dana perimbangan daripada DAU dan DBH. Selain proporsinya yang
kecil, pengaturannya juga tidak serinci pengaturan DAU dan DBH. Dalam UU No.
33/2004, besaran DAU telah ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari penerimaan dalam
negeri neto. Selain itu, UU No. 33/2004 juga secara rinci mengatur formula pembagian
23 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
DBH di antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah. Berbeda dengan pengaturan DAU
dan DBH, pengaturan DAK dalam UU No. 33/2004 hanya menyebutkan bahwa besaran
DAK akan ditentukan setiap tahun dalam APBN. Ketiadaan pasal-pasal yang mengatur
DAK secara ketat dan juga PP yang secara khusus mengatur DAK menjadikan DAK
sebagai komponen dana perimbangan yang bersifat fleksibel. Di satu sisi, fleksibilitas DAK
dapat menjadikannya sebagai instrumen penyelaras dana perimbangan antardaerah. Di sisi
lain, fleksibilitas ini membuat pemda tidak bisa mendapatkan kepastian secara dini
mengenai besaran dana DAK yang akan diterimanya. Selain itu, tidak adanya ketentuan
yang mengatur jumlah, proporsi, atau persentase DAK dalam APBN juga menimbulkan
kesan bahwa alokasi DAK dalam APBN hanya bersifat residual.
Terlepas dari karakter DAK yang fleksibel, Tabel 3.1 menunjukkan bahwa dari tahun ke
tahun, DAK mengalami peningkatan yang signifikan, baik dari segi nilai nominalnya
maupun dari segi perbandingan proporsinya dengan proporsi DAU dan DBH. Selama
periode 2001–2007, nilai nominal DAK meningkat lebih dari 24 kali lipat atau rata-rata
390% per tahunnya. Jika dibandingkan dengan jumlah DAU dan DBH, nilai relatif
DAK juga mengalami peningkatan yang cukup besar. Terhadap nilai DAU, nilai DAK
meningkat dari 1,2% (2001) ke 10.4% (2007), sementara terhadap DBH,
peningkatannya adalah dari 3.5% (2001) ke 25% (2007). Selain disebabkan oleh
kenaikan anggaran pada setiap bidang yang dibiayai DAK, peningkatan DAK tersebut
juga disebabkan oleh perluasan bidang cakupan pembiayaan DAK dan peningkatan
jumlah kabupaten/kota yang menerima DAK. Pada 2007, misalnya, seharusnya terdapat
87 kabupaten/kota yang tidak menerima DAK. Namun, karena ada kompromi antara
Pemerintah dan DPR, daerah-daerah tersebut akhirnya menjadi penerima DAK.18
Meskipun nilai nominal DAK dari tahun ke tahun meningkat, secara keseluruhan nilai
tersebut masih sangat rendah dibandingkan dengan besaran APBN. Selama 2001–2007,
persentase tertinggi DAK terhadap APBN sisi belanja adalah sebesar 2,2% (2007) dan
terhadap total penerimaan APBN sebesar 2,4% (2007).
18Berdasarkan wawancara dengan staf Departemen Pendidikan Nasional
24 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
Tabel 3.1 Perbandingan DAK, DAU, DBH, Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan,
dan APBN, serta PDB, 2001-2007 (miliar rupiah)
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
DAK 700,9 658,1 2.616,60 3.650 4.323 11.569,80 17.094
DAU 60.345 69.114 76.978,00 82.130 88.765 145.664,00 164.787
DBH 20.007 24.266 27.895,90 37.368 31.218 59.563,70 68.461
Dekon & T.Pem n.a. n.a. n.a. n.a. 9.906 30.046,00 n.a.
TP 301.077 298.527 341.100 407.800 495.444 637.800 723,057
TB 341.562 315.600 374.800 436.400 509.418 669.900 763,570
DAK/TP 0,23% 0,22% 0,77% 0,90% 0,87% 1,81% 2,36%
DAK/TB 0,21% 0,21% 0,70% 0,84% 0,85% 1,73% 2,24%
DAK/PDB 0,05% 0,04% 0,13% 0,20% 0,20% 0,40% 0,50%
DAU/TP 20,04% 23,15% 22,57% 20,14% 17,92% 22,84% 22,79%
DAU/TB 17,67% 21,90% 20,54% 18,82% 17,42% 21,74% 21,58%
DAU/PDB 4,30% 4,20% 3,82% 4,50% 4,11% 5,04% 4,82%
DBH/TP 6,65% 8,13% 8,18% 9,16% 6,30% 9,34% 9,47%
DBH/TB 5,86% 7,69% 7,44% 8,56% 6,13% 8,89% 8,97%
DBH/PDB 1,43% 1,47% 1,39% 2,05% 1,44% 2,06% 2,00%
Dekon&T/TP n.a. n.a. n.a. n.a. 2,00% 4,71% n.a.
Dekon&T/TB n.a. n.a. n.a. n.a. 1,94% 4,49% n.a.
Dekon&T/PDB n.a. n.a. n.a. n.a. 0,46% 1,04% n.a.
Sumber: Data diolah dari SIKD Depkeu (2007).
Keterangan: TP = Total Pendapatan (Pendapatan Negara & Hibah); TB = Total Belanja Negara;
2001–2006 Realisasi APBN, 2007 Rencana APBN; n.a. = data tidak tersedia
Selain dana perimbangan dalam bentuk DAU, DBH, dan DAK, selama ini Pemerintah
Pusat juga mengalokasikan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan kepada daerah.
Baik dana dekonsentrasi maupun dana tugas pembantuan merupakan dana APBN, tetapi
bukan merupakan bagian dari dana perimbangan. Dana dekonsentrasi merupakan bagian
dari anggaran kementerian/lembaga yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai
representasi Pemerintah Pusat di daerah. Secara teknis, pelimpahan dana dekonsentrasi
ke daerah dilaksanakan melalui dinas-dinas di provinsi. Sebagai contoh, pada 2007,
Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah mengelola dana
dekonsentrasi sebesar Rp19,85 triliun; Rp16,379 triliun di antaranya ditransfer ke dinasdinas
di provinsi untuk kegiatan yang berkaitan dengan Wajar Dikdas Sembilan Tahun.
Dana tugas pembantuan adalah dana yang dilimpahkan kepada pemda atau pemerintah
desa dan pertanggungjawabannya langsung kepada Pemerintah Pusat. Jumlah kedua
jenis dana itu jauh lebih besar daripada jumlah DAK. Per Maret 2006, misalnya, jumlah
dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan untuk seluruh provinsi mencapai Rp30,5
triliun atau sekitar tiga kali lipat dari jumlah DAK (Lampiran 1 dan Lampiran 2). Angka
tersebut meningkat tajam dari jumlah dana pada tahun sebelumnya yang hanya bernilai
Rp9,9 triliun: Rp4 triliun untuk dana dekonsentrasi dan Rp5,9 triliun untuk dana tugas
pembantuan.
Dalam kaitan kedua dana tersebut dengan DAK, UU No. 33/2004 Pasal 108
menyatakan bahwa dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan secara bertahap akan
dialihkan menjadi DAK. Oleh karena itu, di masa depan jumlah DAK diperkirakan akan
menjadi semakin besar. Jika diasumsikan bahwa jumlah dana dekonsentrasi dan tugas
pembantuan 2007 sama dengan jumlah dana tersebut pada 2006 dan seluruhnya
25 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
dialihkan menjadi DAK, jumlah DAK 2007 akan berkembang menjadi Rp47,1 triliun
atau setara dengan 6,2% belanja APBN.
Pengalihan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan menjadi DAK ini mempunyai
alasan kuat karena pada dasarnya tujuan pengalokasian dana dekonsentrasi dan tugas
pembantuan sama dengan tujuan pengalokasian DAK. Baik DAK maupun dana
dekonsentrasi dan tugas pembantuan adalah untuk mendanai berbagai kegiatan
pelayanan pemerintahan yang telah menjadi urusan daerah namun pelaksanaannya
masih tergolong belum memadai, paling tidak menurut SPM. Kesamaan tujuan
pengalokasian DAK dan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan antara lain terlihat
pada tingginya angka korelasi di antara keduanya. Tabel 3.2 menunjukkan bahwa
alokasi per provinsi dari kedua jenis dana tersebut mempunyai angka korelasi 0,7387.
Hal ini mengindikasikan bahwa dasar pertimbangan pengalokasian DAK dan dana
dekonsentrasi dan tugas pembantuan sangatlah mungkin menggunakan parameter yang
relatif sama.
Tabel 3.2 Korelasi antara Nilai DAK dan Nilai Dana Dekonsentrasi
dan Tugas Pembantuan Tingkat Provinsi
Variabel-variabel Koefisien Korelasi
Total DAK 2007 dengan total Dekon & TP 2006 0,7387 **
Per kapita DAK 2007 dengan per kapita Dekon & TP 2006 0,8364 **
Total DAK 2005 dengan IPM provinsi 2004 -0,2494
Per kapita DAK 2005 dengan IPM provinsi 2004 -0,2872
Total Dekon & TP 2006 dengan IPM provinsi 2004 -0,0527
Per kapita Dekon & TP 2006 dengan IPM provinsi 2004 -0,2872
Total DAK 2005 dengan total DAK 2006 0,8806 **
Total DAK 2005 dengan total DAK 2007 0,9009 **
Total DAK 2006 dengan total DAK 2007 0,9853 **
Keterangan: ** signifikan pada tingkat 1 persen
Selain itu, angka-angka korelasi baik alokasi DAK maupun dana dekonsentrasi dan
tugas pembantuan per kapita dengan angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) per
provinsi tergolong rendah, yaitu masing-masing -0,3364 dan -0,3228. Jika angka IPM
dapat dianggap sebagai gambaran dari, atau terkait dengan, kondisi pelayanan publik di
suatu daerah, kebijakan alokasi kedua jenis dana tersebut tidak sesuai dengan tujuannya
untuk menyeimbangkan kondisi pelayanan publik antardaerah. Dengan kata lain,
praktik pengalokasian dana-dana tersebut tidak akan mengurangi jurang perbedaan
pelayanan antardaerah. Tabel 3.2 juga memperlihatkan tingginya angka korelasi alokasi
DAK antartahun yang mengindikasikan bahwa kebijakan dan dasar pertimbangan
pengalokasian DAK dari tahun ke tahun tidak berubah.
3.2 Alokasi DAK Per Bidang Prioritas
Sesuai dengan sifat DAK yang fleksibel, dari tahun ke tahun Pemerintah Pusat berupaya
mengalokasikan bidang penerima DAK sesuai dengan prioritas Pemerintah Pusat yang
tercantum dalam RKP. Perubahan prioritas pembangunan yang tercantum dalam RKP
akan tercermin dalam perubahan alokasi pemanfaatan DAK. Pada 2007, sebagai contoh,
26 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
Pemerintah menetapkan prioritas yang tinggi pada pembangunan pendidikan dan oleh
karena itu, bidang ini mendapatkan alokasi DAK terbesar. Pada 2005 dan 2006, sesuai
dengan prioritas pembangunan pada tahun itu, bidang pembangunan infrastruktur
menjadi penerima DAK terbesar (Tabel 3.3). Masih terkait hal itu, sejak 2005
Pemerintah membagi bidang infrastruktur menjadi tiga subbidang kegiatan, yaitu
prasarana jalan, prasarana irigasi, dan prasarana air bersih. Subbidang prasarana jalan
selalu memperoleh alokasi terbesar daripada subbidang lainnya.
Tabel 3.3 Alokasi DAK Nonreboisasi Nasional Per Bidang Prioritas
serta Perkembangannya, 2003–2007 (juta rupiah)
Sumber: Departemen Keuangan (2007)
Berdasarkan RKP, ketujuh bidang yang mendapat alokasi DAK berdampak langsung
terhadap pencapaian prioritas pembangunan nasional, antara lain, meliputi
penanggulangan kemiskinan dan kesenjangan, peningkatan kesempatan kerja, investasi
dan ekspor, peningkatan aksesibilitas dan kualitas pendidikan dan kesehatan, serta
reformasi birokrasi. Di masa depan, tidak tertutup kemungkinan terjadinya penambahan
bidang baru yang mendapat alokasi DAK. Hal itu tergantung pada perubahan dan/atau
penambahan prioritas pembangunan nasional.
Selama kurun waktu 2003–2007, peningkatan total DAK tertinggi terjadi pada periode
2005–2006 (188%) sebagai akibat meningkatnya alokasi DAK secara signifikan pada
semua bidang (Tabel 3.4). Bidang-bidang kegiatan yang memberikan kontribusi tinggi
terhadap peningkatan tersebut, yakni meningkat di atas 200%, meliputi pertanian (544%),
kesehatan (288%), dan prasarana pemerintahan (203%). Bidang pertanian yang
mengalami peningkatan tertinggi sangatlah mungkin terkait dengan kebijakan Pemerintah
yang pada saat itu mulai berupaya merevitalisasi sektor pertanian. Untuk periode 2006–
2007, bidang lingkungan hidup mendapatkan DAK dengan kenaikan tertinggi, yaitu
216%. Kerusakan lingkungan yang semakin parah sehingga mengakibatkan munculnya
berbagai bencana, seperti banjir dan tanah longsor, nampaknya menjadi alasan utama
untuk meningkatkan alokasi DAK bidang lingkungan hidup.
No. Bidang 2003 2004 2005 2006 2007
1 Pendidikan 625.000 652.600 1.221.000 2.919.525 5.195.290
2 Kesehatan 375.000 456.180 629.000 2.406.795 3.381.270
3 Infrastruktur 1.181.000 1.196.250 1.533.000 3.811.380 5.034.340
3.1 Prasarana jalan 0 839.050 945.000 2.575.705 3.113.060
3.2 Prasarana irigasi 0 357.200 384.500 627.675 858.910
3.3 Prasarana air bersih 0 0 203.500 608.000 1.062.370
4 Praspem 88.000 228.000 148.000 448.675 539.060
5 Kelautan dan perikanan 0 305.470 322.000 775.675 1.100.360
6 Pertanian 0 0 170.000 1.094.875 1.492.170
7 Lingkungan hidup 0 0 0 112.875 351.610
Total DAK 2.269.000 2.838.500 4.014.000 11.569.800 17.094.100
27 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
Tabel 3.4 Perkembangan DAK Per Bidang, 2003–2007 (%)
Sumber: Data diolah dari Departemen Keuangan (2007).
Khusus bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, keterangan sebelumnya
menyatakan bahwa dari tahun ke tahun, ketiga bidang ini mendominasi penyerapan
DAK. Di satu segi, hal ini memberikan petunjuk bahwa Pemerintah menaruh perhatian
yang besar terhadap pembangunan tiga bidang tersebut. Namun, di segi lain, informasi
itu sekaligus menandaskan bahwa kondisi infrastruktur fisik dalam bidang-bidang itu
masih buruk sehingga ketiganya memerlukan dana yang besar untuk kegiatan
perbaikan. Sesuai dengan tujuan DAK yang antara lain adalah untuk mengurangi
kesenjangan pelayanan antardaerah (melalui pengurangan kesenjangan fiskal
antardaerah), semakin buruk kondisi infrastruktur pelayanan suatu daerah, maka
semakin besar pula DAK yang seharusnya diterima oleh daerah tersebut. Sebaliknya,
daerah yang telah memiliki kondisi infrastruktur pelayanan yang relatif baik seharusnya
hanya mendapatkan DAK dalam jumlah yang kecil. Meskipun kaidah yang sederhana
ini tidak mampu mengungkapkan efektivitas alokasi DAK secara menyeluruh,
setidaknya kaidah tersebut dapat memberikan indikasi awal ketepatan alokasi DAK
untuk suatu daerah.
Untuk mengetahui ketepatan alokasi DAK bagi suatu daerah, Tabel 3.5 menyajikan
korelasi antara alokasi DAK per provinsi dan indikator kondisi infrastruktur fisik tiga
bidang yang menjadi fokus kajian ini. Di bidang pendidikan dasar, indikatornya adalah
jumlah ruang kelas yang mengalami kerusakan berat. Bidang kesehatan menggunakan
indikator ratio penduduk per puskesmas/pustu, dan indikator prasarana jalan adalah
ketersediaan fasilitas jalan yang dapat diakses kendaraan bermotor roda empat atau
lebih. Hasil perhitungan korelasi antara jumlah DAK per kapita dan tiap-tiap indikator
tersebut pada bidang pendidikan dan prasarana jalan memberikan tanda nilai korelasi
yang searah dengan tujuan DAK, sementara pada bidang kesehatan tidak searah. Untuk
bidang pendidikan, angka korelasinya bertanda positif. Angka ini berarti bahwa semakin
tinggi jumlah kerusakan ruang kelas di suatu provinsi, semakin tinggi pula total alokasi
DAK bidang pendidikan kepada provinsi bersangkutan. Di bidang prasarana jalan,
angka korelasinya bertanda negatif yang menunjukkan bahwa semakin sedikit ruas jalan
yang dapat dilalui kendaraan roda empat atau lebih, semakin besar alokasi DAK untuk
kedua bidang tersebut. Meskipun secara umum alokasi DAK untuk bidang pendidikan
dan prasarana jalan mengarah pada sasaran, namun nilai korelasinya masih relatif
rendah, sekitar 0,5 (Tabel 3.5). Di bidang pendidikan, angka korelasi antara kedua
variabel +0,4649. Hal ini berarti bahwa faktor jumlah ruang kelas yang rusak berat
hanya menjadi setengah pertimbangan dalam pengalokasian DAK bidang pendidikan
No. Bidang 2003–2004 2004–2005 2005–2006 2006–2007
1 Pendidikan 4,42 87,10 139 78
2 Kesehatan 21,65 37,88 288 40
3 Infrastruktur 1,29 28,15 149 32
3.1 Prasarana jalan 0 12,62 173 21
3.2 Prasaran irigasi 0 7,64 63 37
3.3 Prasarana air bersih 0 0 199 75
4 Praspem 159,09 -35,09 203 20
5 Kelautan dan perikanan 0 5,41 141 42
6 Pertanian 0 0 544 36
7 Lingkungan hidup 0 0 - 216
Total DAK 25,10 41,41 188 48
28 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
kepada daerah. Pemerintah mendasarkan setengah pertimbangan lainnya pada faktor
lain. Demikian pula halnya dengan bidang prasarana jalan yang nilai korelasinya
-0,5122. Angka ini mengindikasikan bahwa sebagian pertimbangan pengalokasian DAK
bidang prasarana jalan kepada daerah bukan ditentukan oleh kondisi jalan di daerah
bersangkutan. Sementara itu, nilai korelasi pada bidang kesehatan adalah -0,6360.
Angka ini dapat diartikan bahwa alokasi DAK bidang kesehatan tidak
mempertimbangkan besarnya jumlah penduduk yang perlu dilayani per
puskesmas/pustu.
Tabel 3.5 Korelasi Besaran DAK dengan Indikator Kondisi Infrastruktur
Pendidikan, Kesehatan, dan Jalan Tingkat Provinsi
Variabel-variabel Koefisien Korelasi
Per kapita DAK pendidikan 2005 dengan persentase jumlah
kelas yang rusak ringan 2005/06 -0,4340 *
Per kapita DAK pendidikan 2005 dengan persentase jumlah
kelas yang rusak berat 2005/06 0,4649 **
Per kapita DAK pendidikan 2005 dengan persentase jumlah
kelas yang rusak ringan + berat 2005/06 0,0982
Per kapita DAK kesehatan 2005 dengan ratio penduduk per
puskesmas/pustu 2005 -0,6360 **
Per kapita DAK jalan 2005 dengan ketersediaan fasilitas jalan
yang dapat diakses kendaraan bermotor roda 4 atau lebih
sepanjang tahun 2005 -0,5122 **
Total DAK 2006 dengan total DAK 2005 0,8806 **
Total DAK 2007 dengan total DAK 2005 0,9009 **
Total DAK 2007 dengan total DAK 2006 0,9853 **
Keterangan: ** signifikan pada tingkat 1 persen
* signifikan pada tingkat 5 persen
3.3 Alokasi DAK di Kabupaten/Kota Sampel
Kabupaten/kota sampel studi ini mempunyai tingkat perkembangan sosialekonomi yang
berbeda. Pada 2005, angka PDRB per kapita Kota Banda Aceh, misalnya, adalah
sebesar Rp11,5 juta, sedangkan angka untuk Kabupaten Gorontalo adalah Rp1,8 juta.
Tingkat kemiskinan di empat daerah tersebut juga menunjukkan perbedaan yang cukup
signifikan. Data 2004 menunjukkan bahwa angka kemiskinan di Kota Banda Aceh dan
Kabupaten Wonogiri adalah masing-masing sebesar 21,2% dan 24,4%, lebih rendah
daripada angka kemiskinan di Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Kupang yang
masing-masing mencapai 33,5% dan 32,7%. Sejalan dengan angka-angka kemiskinan
ini, pada tahun yang sama, Indeks Pembangunan Manusia (IPM)19 Kota Banda Aceh
memperoleh peringkat tertinggi (nilai 74,7) dan nilai indeks terendah (nilai 62)
diperoleh Kabupaten Kupang. Penilaian KPPOD (2005)20 terhadap empat
kabupaten/kota tersebut juga menunjukkan adanya perbedaan karakter kelembagaan
pemerintahan. Kabupaten Gorontalo mendapatkan nilai A dalam aspek kepemimpinan
19IPM terdiri dari angka harapan hidup, tingkat kemelekan huruf, lama bersekolah, dan pengeluaran riil
per kapita.
20Disebabkan oleh masalah keamanan, KPPOD tidak melakukan survey di Kota Banda Aceh dan juga
kabupaten lainnya di Provinsi NAD.
29 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
lokal dan Perda, sedangkan di Wonogiri dua aspek ini hanya mendapatkan nilai C
(Tabel 3.6).
Tabel 3.6 Ringkasan Beberapa Indikator Ekonomi, Kemiskinan, Kelembagaan,
dan Alokasi DAK di Empat Daerah Sampel
Banda Aceh Wonogiri Gorontalo Kupang
PDRB/kapita (2005-konstan) 11.541.000 2.482.000 1.827.000 2.762.000
% Kemiskinan (2004) 21,2 24,43 33,5 32,68
IPM (2005) 74,7 69 66,8 62
Kelembagaan (KPPOD, 2005) n.a. C B B
(a) Kepastian hukum n.a. C B B
(b) Aparatur dan pelayanan n.a. C B B
(c) Perda n.a. C A B
(d) Kepemimpinan lokal n.a. C A C
DAK 2003 (juta rupiah) 8.400 7.200 9.300 10.300
DAK 2004 (juta rupiah) 11.432.26 9.350 13.070 9.240
DAK 2005 (juta rupiah) 7.730 13.030 14.220 18.660
DAK 2006 (juta rupiah) 22.630 32.410 31.830 33.070
DAK 2007 (juta rupiah) 34.098 54.306 55.544 58.295
Sektor penerima terbesar 2007 Pendidikan Pendidikan Infrastruktur Pendidikan
Sumber: BPS, UNDP, KPPOD, SIKD Depkeu (2007); data diolah
Keterangan: Untuk faktor kelembagaan, nilai Kabupaten Wonogiri diambil dari nilai rata-rata kabupaten
yang berada di bekas wilayah Karesidenan Surakarta dan nilai Kabupaten Kupang diambil
dari nilai rata-rata kabupaten/kota yang berada di wilayah Timor Barat; n.a. = data tidak
tersedia
Berdasarkan perbedaan kondisi daerah seperti itu, besaran alokasi DAK bagi daerah
sampel juga berbeda. Selama kurun 2003–2007, total perolehan DAK Kota Banda
Aceh, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Gorontalo, dan Kabupaten Kupang masingmasing
sebesar Rp84,3 miliar, Rp116,3 miliar, 124,0 miliar, dan Rp129,6 miliar (Tabel
3.6). Sejalan dengan peningkatan total DAK secara nasional, perolehan DAK
kabupaten/kota sampel juga mengalami peningkatan nyata. Dalam periode tersebut,
perolehan DAK Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Kupang, dan
Kota Banda Aceh masing-masing meningkat sebesar 164%, 124%, 116%, dan 76%.
Kecuali di Kabupaten Wonogiri, peningkatan perolehan DAK di tiga kabupaten/kota
sampel lainnya masih lebih rendah daripada peningkatan jumlah DAK nasional yang
mencapai 163% per tahun.
Bagi semua kabupaten/kota sampel, dari tahun ke tahun peranan DAK menjadi semakin
penting sebagai sumber penerimaan daerah, melebihi peranan PAD (pendapatan asli
daerah). Pada 2003, secara rata-rata, jumlah DAK di empat kabupaten/kota sampel baru
mencapai 66% dari perolehan PAD. Pada 2006, angkanya telah mencapai 212% dari
perolehan PAD yang berarti bahwa pertumbuhan perolehan DAK jauh melebihi
pertumbuhan PAD. Kondisi demikian membuat peranan DAK terhadap keseluruhan
APBD juga menjadi semakin penting. Pada 2003, rata-rata kontribusi DAK terhadap
pembentukan APBD kabupaten/kota sampel baru mencapai 3,2%, namun pada 2006,
rata-rata kontribusinya meningkat menjadi 7,2% (Tabel 3.7).
30 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
Tabel 3.7 Persentase DAK terhadap Penerimaan dan Belanja
Kabupaten/Kota Sampel (2003–2006)
Wonogiri Kupang Banda Aceh Gorontalo
Total Penerimaan APBD
2003 1,78 4,19 3,60 3,16
2004 2,23 3,53 4,95 5,92
2005 3,15 6,77 3,25 5,92
2006 5,23 8,85 6,13 8,57
Rata-rata 3,10 5,84 4,48 5,89
Pendapatan Asli Daerah
(PAD)
2003 28 50 134 51
2004 37 40 121 108
2005 37 128 150 73
2006 96 253 250 248
Rata-rata 50 118 164 120
Total Dana Perimbangan
2003 2,15 4,84 4,71 3,71
2004 2,63 3,95 5,81 6,71
2005 3,56 7,54 3,68 6,82
2006 5,67 9,24 6,77 9,00
Rata-rata 3,50 6,39 5,24 6,56
Belanja Modal
2003 8,11 28,31 23,93 11,95
2004 13,32 46,41 37,64 28,95
2005 18,80 68,04 22,46 38,05
2006 25,11 38,69 25,85 61,30
Rata-rata 16,33 45,36 27,47 35,06
Sumber: Dokumen APBD tiap-tiap kabupaten/kota sampel, 2003–2006
Selain berperan dalam menunjang penerimaan daerah, DAK juga berperan cukup penting
dalam meningkatkan kapasitas belanja modal pemda dengan kecenderungan yang terus
meningkat dari tahun ke tahun (Tabel 3.7). Pada 2003, kontribusi DAK terhadap belanja
modal kabupaten/kota sampel rata-rata sebesar 18,1%. Pada tahun-tahun berikutnya,
kontribusinya menjadi semakin besar dan pada 2006, angkanya telah mencapai 36,8%.
Pada 2006, kontribusi DAK Kabupaten Gorontalo terhadap belanja modalnya bahkan
telah mencapai 61,3%. Perkembangan demikian mengindikasikan bahwa ketergantungan
pembangunan daerah terhadap DAK menjadi semakin besar. Jika kecenderungan ini terus
berlanjut, otonomi daerah mempunyai kemungkinan untuk kehilangan substansinya yang
berupa adanya kemandirian daerah dalam menentukan kebijakan pembangunan yang
sesuai dengan kebutuhan dan prioritas daerah.
Penggunaan sebagian besar alokasi DAK kepada kabupaten/kota sampel sejalan dengan
prioritas penggunaan DAK secara nasional, yakni untuk bidang pendidikan, kesehatan,
dan infrastruktur jalan. Selama periode 2005–2007, total proporsi DAK kabupaten/kota
sampel untuk ketiga bidang itu masing-masing mencapai 68,5%, 71,3%, dan 71,9%
(Tabel 3.8). Meskipun demikian, jika dilihat dari prioritas penggunaan DAK di tiap-tiap
31 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
kabupaten/kota sampel, terdapat beberapa perbedaan. Untuk Kabupaten Kupang dan
Kabupaten Gorontalo, alokasi DAK untuk ketiga bidang tersebut mengalami
peningkatan masing-masing dari 50,1% dan 64,1% pada 2005 menjadi 66,5% dan
73,6% pada 2007. Sebaliknya, di Kota Banda Aceh, proporsi DAK untuk tiga bidang itu
justru mengalami penurunan, yakni dari 88,5% pada 2005 menjadi 76,3% pada 2007,
sementara di Kabupaten Wonogiri, angkanya relatif stabil pada kisaran 71% (Tabel 3.8).
Menurunnya proporsi penggunaan DAK untuk ketiga bidang tersebut di Kota Banda
Aceh tidak berarti bahwa telah terjadi pergeseran prioritas penggunaan DAK di Kota
Banda Aceh. Faktor yang menyebabkannya adalah karena Kota Banda Aceh
mendapatkan tambahan DAK untuk bidang pertanian dalam jumlah yang cukup besar.
Pada 2005, Kota Banda Aceh tidak mendapatkan alokasi DAK bidang pertanian, namun
pada 2006 dan 2007, Kota Banda Aceh mendapatkan alokasi DAK bidang pertanian
sebesar Rp2,54 miliar dan Rp3,03 miliar (Lampiran 3).
Tabel 3.8 Persentase Alokasi DAK Per Bidang di Kabupaten/Kota Sampel,
2005–2007
Bidang Banda Aceh Wonogiri Gorontalo Kupang
Pendidikan
2005 41,4 33,8 29,5 22,6
2006 31,2 31,9 22,8 25,2
2007 37,6 37,2 26,0 27,4
Kesehatan
2005 20,2 15,3 16,0 11,7
2006 21,1 20,3 21,4 21,7
2007 18,5 19,6 18,9 20,7
Infrastruktur jalan
2005 26,9 22,3 18,6 15,8
2006 22,3 19,7 26,8 20,9
2007 20,2 14,4 28,7 18,4
Total bidang lainnya
2005 11,5 28,5 35,9 50,0
2006 25,4 28,1 29,0 32,2
2007 23,8 28,8 26,4 33,6
Sumber: SIKD Depkeu (2007); diolah
32 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
BAB IV
PEMANFAATAN DANA ALOKASI KHUSUS:
TRANSPARANSI, AKUNTABILITAS, DAN PARTISIPASI
Dalam kaitannya dengan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, fungsi DAK
sebenarnya hanya sebagai penambah atau pelengkap jenis dana perimbangan lainnya.
Namun, dalam perkembangannya, keberadaan DAK menjadi semakin penting bagi
pembangunan daerah. Hal ini disebabkan oleh komponen utama dana perimbangan
dalam berbentuk DAU yang pada umumnya hanya mencukupi untuk memenuhi
kebutuhan belanja birokrasi. Oleh karena itu, penggunaan dan pemanfaatan DAK di
daerah menjadi faktor penting dalam keseluruhan program pembangunan daerah pada
khususnya dan pembangunan nasional pada umumnya.
Selain DAK, dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan juga merupakan sumber dana
bagi proyek pembangunan yang berlokasi di kabupaten/kota tertentu. Namun, berbeda
dengan DAK, kedua jenis dana ini bukan dana perimbangan dan, oleh karena itu, bukan
bagian dari APBD kabupaten/kota. Kewenangan dan manajemen penggunaan dua jenis
dana itu berada pada pemerintah provinsi. Bagi pemerintah kabupaten/kota, DAK
merupakan dana yang keberadaannya lebih transparan dan memberikan kepastian lebih
tinggi untuk pendanaan pembangunan daripada dana dekonsentrasi dan tugas
pembantuan. Hal ini antara lain karena Pemerintah Pusat telah mengembangkan kriteria
untuk menentukan alokasi DAK bagi daerah. Di sisi lain, pengalokasian kegiatan
proyek yang menggunakan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan tidak
menggunakan tolok ukur tertentu secara terbuka. Oleh karenanya, pemda tidak dapat
memperkirakan kemungkinannya untuk mendapatkan dana ini. Apakah daerah akan
menerima atau tidak jenis dana ini sangat tergantung pada kebijakan departemen teknis
pemilik dana.
Penggunaan DAK pada dasarnya merupakan kewenangan pemda karena DAK
merupakan bagian dari APBD. Meskipun demikian, dengan alasan agar penggunaan
DAK oleh pemda sesuai dengan kepentingan nasional, Pemerintah Pusat mengatur
penggunaan DAK melalui berbagai regulasi, seperti peraturan menteri keuangan dan
peraturan menteri teknis berupa petunjuk teknis. Sejak pelaksanaan desentralisasi dan
otonomi daerah pada 2001, cakupan sektor bidang atau kegiatan yang dibiayai oleh
DAK bertambah banyak. Jika awalnya DAK hanya terbatas untuk pembiayaan
reboisasi, pada tahun-tahun berikutnya Pemerintah memperluas penggunaan DAK ke
bidang-bidang lain21 sesuai dengan prioritas pembangunan nasional sebagaimana
tercantum dalam RKP. Pada 2007, penggunaan DAK telah meliputi tujuh bidang
pelayanan pemerintahan, yakni pendidikan, kesehatan, pertanian, pekerjaan umum
(jalan, irigasi, dan air bersih), prasarana pemerintahan, kelautan dan perikanan, serta
lingkungan hidup.
Berdasarkan latar belakang, batasan, dan definisi DAK seperti dikemukakan pada bagian
terdahulu, keputusan Pemerintah untuk memperluas cakupan sektor dan/atau kegiatan yang
dibiayai oleh DAK menimbulkan berbagai tafsiran, antara lain, sebagai berikut.
21Sejak 2003, bahkan dana reboisasi dikeluarkan dari DAK dan masuk kelompok DBH.
33 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
(i) Formula DAU dan DBH gagal menjalankan fungsinya sebagai komponen utama
dana perimbangan. Dalam kaitan ini, yang sering menjadi perhatian kalangan
pemda adalah bahwa arti kata “khusus” yang melekat pada DAK akan semakin
kehilangan maknanya jika terdapat semakin banyak sektor yang pembangunannya
dibiayai oleh DAK.
(ii) Kinerja pemda dalam membangun paling tidak pada tujuh bidang tersebut
tergolong masih rendah. Oleh karena itu, Pemerintah Pusat terpaksa ikut campur
dalam membangun bidang bersangkutan. Pemerintah kabupaten/kota sampel
umumnya menyatakan bahwa ‘ketidakberdayaan” mereka dalam membangun
berbagai bidang itu bukan karena mereka tidak peduli, melainkan semata-mata
disebabkan oleh keterbatasan dana. Sebagian besar dana perimbangan dalam
bentuk DAU dan DBH, seperti dikemukakan sebelumnya, hanya mencukupi untuk
memenuhi kebutuhan rutin birokrasi sehingga yang tersisa untuk dana
pembangunan menjadi terbatas.
(iii) Prioritas kepentingan Pemerintah Pusat menjadi semakin luas. Dilihat dari aspek
pembangunan secara umum, peran Pemerintah Pusat untuk membangun berbagai
bidang itu mempunyai pengertian yang positif. Namun, jika dilihat dari makna
desentralisasi dan otonomi daerah, campur tangan Pemerintah Pusat yang semakin
luas terhadap kewenangan pemda mempunyai implikasi negatif. Upaya untuk
menempatkan pemda sebagai entitas penting dalam pembangunan daerah menjadi
kabur. Perluasan cakupan kegiatan dan peningkatan jumlah DAK untuk daerah yang
disertai dengan batasan “apa yang boleh dan apa yang tidak boleh” berarti membatasi
kewenangan pemda. Sebaliknya, kewenangan Pemerintah Pusat menjadi semakin
kuat. Jika terdapat semakin banyak bidang yang pembangunannya menggunakan
mekanisme DAK, secara sadar atau tidak, secara perlahan politik sentralisasi akan
mengambil alih kebijakan desentralisasi. Oleh karena itu, tidak terlalu salah jika
kemudian berbagai kalangan pemda menyatakan bahwa otonomi daerah yang tersisa
saat ini hanyalah teks undang-undangnya. Dalam tataran praktis, ruang lingkup
kewenangan pemda dipersempit. Selanjutnya, bagian berikut ini menguraikan praktik
penggunaan DAK oleh pemda dalam tiga sektor bidang yang menjadi kajian studi ini,
yakni kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur jalan.
4.1 Perencanaan Pembangunan dan Pengusulan DAK
4.1.1 Perencanaan Pembangunan
Pada 2004, Pemerintah mengesahkan UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional. Untuk melaksanakan UU ini, pada 20 Januari 2005 Bappenas
dan Mendagri mengeluarkan Surat Edaran Bersama No.
0259/M.PPN/I/2005.050/166/SJ mengenai Petunjuk Teknis Penyelenggaraan
Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang). Secara normatif, keberadaan
UU ini beserta aturan pelaksanaannya merupakan penegasan kembali terhadap perlunya
melaksanakan proses perencanaan pembangunan yang lebih partisipatif. Pola
musrenbang sebenarnya bukan merupakan mekanisme baru karena sejak pemerintahan
Orde Baru, pemda telah melaksanakan musrenbang.
Di semua daerah sampel, kecuali Kota Banda Aceh, pemda melaksanakan musrenbang
tiap tahun dan menjadikannya sebagai mekanisme tunggal untuk menjaring aspirasi
34 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
masyarakat dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan. Pada tahun kalender
berjalan, rangkaian musrenbang biasanya dimulai pada Januari (tingkat desa) dan
berakhir pada sekitar April atau Mei (musrenbang tingkat kabupaten). Khusus untuk
Kota Banda Aceh, pelaksanaan musrenbang hanya sekali dalam lima tahun, yakni
ketika pemerintah kota akan menyusun dokumen rencana strategis (renstra). Penjabaran
renstra dalam rencana kerja tahunan atau penyusunan APBD, tidak lagi
mengikutsertakan masyarakat dengan alasan bahwa aspirasi masyarakat telah
terakomodasi dalam renstra. Menurut staf Bappeda Kota Banda Aceh, proses
penyusunan APBD dan/atau pelaksanaan rencana pembangunan tahunan hanya bersifat
teknis sehingga masyarakat tidak perlu dilibatkan lagi.
Musrenbang yang dilaksanakan untuk menyusun perencanaan pembangunan
kabupaten/kota pada dasarnya merupakan forum untuk menampung usulan masyarakat.
Di musrenbang tingkat kabupaten, Bappeda kemudian menggabungkan usulan-usulan
itu dengan perencanaan sektoral tiap-tiap SKPD. Hasil penggabungan ini menjadi
dokumen perencanaan pembangunan kabupaten/kota. Pada tahap ini, pemda kemudian
mulai memetakan sumber-sumber pendanaan yang memungkinkan untuk membiayai
berbagai kegiatan tersebut, yakni melalui DAU, PAD, DAK, atau dana dekonsentrasi
dan tugas pembantuan. Selanjutnya, dokumen ini menjadi bahan untuk musrenbang
tingkat provinsi. Dokumen perencanaan pembangunan tingkat provinsi yang terbentuk
sebagai hasil musrenbang ini kemudian menjadi acuan pihak pemerintah provinsi dalam
musrenbang nasional.
Meskipun pola musrenbang sudah berlangsung sejak pemerintahan Orde Baru, sebagian
kalangan di daerah–terutama kalangan nonpemerintah–masih sering mempertanyakan
efektivitas kegiatan itu dalam melahirkan proses perencanaan pembangunan partisipatif.
Mereka menilai bahwa proses musrenbang yang lebih mengedepankan mekanisme
perwakilan tidak sepenuhnya mencerminkan aspirasi masyarakat yang sebenarnya.
Mekanisme perwakilan dalam musrenbang mempunyai risiko elite-capture yang cukup
besar. Pada kenyataannya, sangatlah mungkin usulan-usulan itu hanya sekedar
mengatasnamakan kepentingan masyarakat, padahal tujuannya adalah untuk
kepentingan kelompok elite.
Uraian di atas menunjukkan bahwa perolehan DAK suatu daerah sebenarnya tidak
terkait dengan proses perencanaan pembangunan daerah, khususnya musrenbang.
Dalam konteks ini, peran pemda dalam pengalokasian DAK sebenarnya dalam posisi
pasif. Oleh karena itu, dapat dimengerti jika kalangan pemda menyatakan sikap
kekurangpuasannya terhadap keseluruhan proses pengalokasian DAK.
Hasil FGD di empat kabupaten/kota sependapat dengan kekurangpuasan aparat pemda
tersebut. Untuk aspek perencanaan pengelolaan DAK, peserta FGD menempatkan tahap
perencanaan pada urutan ke enam (terendah) dibanding tahap-tahap pengelolaan DAK
lainnya (Tabel 4.1 dan Lampiran 5).
35 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
Tabel 4.1 Peringkat Tingkat Kepuasan Peserta FGD terhadap
Tahapan Pengelolaan DAK di Kabupaten/Kota Sampel
Tahap Pengelolaan Komponen Transparansi Akuntabilitas Partisipasi
Simpulan
Peringkat
Perencanaan 6 6 6 6
Penetapan alokasi proyek 3 3 3 3
Pencairan dana 2 1 1 1
Pelaksanaan 1 2 2 2
Monitoring dan evaluasi 4 4 5 4
Koordinasi 5 5 4 5
Sumber: FGD di empat kabupaten/kota sampel
Keterangan: 1 = Kepuasan tertinggi; 6 = Kepuasan terendah
Penilaian peserta FGD yang relatif rendah terhadap aspek perencanaan DAK umumnya
berdasarkan alasan berikut ini.
(i) Pangkalan data kondisi infrastruktur di daerah kurang up-to-date, khususnya di
bidang kesehatan dan pendidikan.
(ii) Pembahasan hasil musrenbang tingkat desa dan kecamatan di tingkat SKPD
bersifat tertutup.
(iii) Pemda tidak begitu banyak berperan dalam perencanaan penggunaan DAK karena
sudah ada ketentuan Pemerintah Pusat yang membatasinya.
Berbeda dengan kabupaten sampel lainnya, peserta FGD di Kabupaten Gorontalo lebih
melihat proses perencanaan pembangunan secara umum, tidak semata-mata
menyangkut perencanaan DAK. Menurut mereka, proses musrenbang hingga
penyusunan dokumen perencanaan pembangunan telah mencerminkan mekanisme yang
partisipatif, akuntabel, dan transparan. Pemerintah kabupaten juga melakukan upaya
untuk menjelaskan kepada berbagai komunitas mengenai usulan-usulan masyarakat
yang belum terakomodir dalam perencanaan pembangunan. Berdasarkan hal ini, peserta
FGD memberikan penilaian yang cukup tinggi terhadap proses perencanaan
pembangunan di Kabupaten Gorontalo.
4.1.2 Persoalan Seputar Alokasi DAK kepada Daerah
Sebenarnya praktik perencanaan pembangunan yang berlangsung di kabupaten/kota dan
pola penentuan DAK oleh Pemerintah Pusat tidak mempunyai hubungan langsung.
Alasannya adalah bahwa, pertama, rencana pembangunan kabupaten/kota yang
mencakup pula rencana sumber pembiayaan dari DAK akan terhenti di tingkat provinsi;
kedua, dokumen perencanaan pembangunan tingkat provinsi yang dibawa ke
musrenbang nasional merupakan hasil sintesis perencanaan pembangunan
kabupaten/kota, bukan dokumen yang berisi kumpulan perencanaan masing-masing
kabupaten/kota; dan, ketiga, dalam mengalokasikan DAK kepada kabupaten/kota,
Pemerintah Pusat telah mempunyai pedoman tersendiri berdasarkan tiga kriteria seperti
telah dikemukakan sebelumnya.
36 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
Yang menarik adalah bahwa meskipun Pemerintah Pusat sudah memiliki kriteria dan
formula baku dalam pengalokasian DAK kepada daerah, sebagian aparat pemda
beranggapan bahwa mereka masih mempunyai ruang untuk melakukan “lobby” ke
Pemerintah Pusat. Dengan kata lain, entah dengan cara apa, pemda masih dapat
memengaruhi Pemerintah Pusat dalam mengalokasikan DAK kepada daerah tertentu. Di
Kabupaten Kupang dan Kabupaten Gorontalo, misalnya, beberapa responden
mengklaim bahwa terus meningkatnya perolehan DAK di dua kabupaten itu antara lain
karena bupati mempunyai “peran yang besar” dalam hal ini. Ini berarti bahwa
pertambahan alokasi DAK kepada daerah merupakan hasil dari lobi bupati yang kuat ke
Pemerintah Pusat. Selain adanya “campur tangan langsung” dari bupati, beberapa
responden juga menyatakan bahwa tiap SKPD membawa perencanaan kegiatannya
langsung ke Jakarta untuk mendapatkan DAK. Mereka menyebut langkah ini sebagai
“mengawal proposal ke pusat”.
Dalam menyikapi beberapa fenomena tersebut, aparat Pemerintah Pusat memberikan
penjelasan yang berbeda. Di satu pihak, seorang responden di departemen teknis
menyatakan bahwa departemennya memang mengundang SKPD terkait, baik tingkat
kabupaten/kota maupun tingkat provinsi, setiap tahun. Tujuannya adalah untuk
mendapatkan penjelasan langsung mengenai keseluruhan perencanaan pembangunan
dinas bersangkutan. Mengingat pertemuan demikian biasanya berlangsung sebelum
adanya penetapan alokasi DAK, kesan yang muncul kemudian adalah seolah-olah
terjadi “kesepakatan” tertentu antara aparat Pemerintah Pusat dan aparat pemda. Di
pihak lain, seorang responden aparat Pemerintah Pusat justru mengakui adanya
fenomena lobi pemda untuk mendapatkan DAK. Menurutnya, hal ini terjadi karena
pengelolaan DAK kurang transparan. Penentuannya cenderung bias sehingga
memunculkan kemungkinan adanya praktik “dagang sapi” atau tawar menawar antara
oknum Pemerintah Pusat dan oknum pemda melalui kegiatan lobi ke departemen teknis
dan Depkeu. Munculnya istilah ”duta daerah di Jakarta” mungkin merupakan indikasi
berlangsungnya praktik “dagang sapi” tersebut. Dalam kaitan ini, kalangan DPR yang
berupaya memperjuangkan DAK bagi daerah pemilihnya juga menambah maraknya isu
“percaloan” DAK. Sebagai indikasi pengelolaan DAK yang kurang transparan, Kota
Banda Aceh, misalnya, mendapatkan DAK bidang pertanian yang lebih besar (Rp3,027
miliar) daripada DAK bidang kelautan dan perikanan (Rp2,176 miliar), padahal potensi
pertanian di kota ini lebih sempit dibandingkan dengan potensi kelautan dan
perikanannya (lihat PMK No. 128/PMK.07/2006). Keanehan semacam ini menambah
bukti sulitnya melaksanakan koordinasi antardepartemen teknis, sekalipun sudah ada
Menteri Koordinator.
Di luar fenomena tersebut, sebagian aparat pemda juga menyatakan bahwa sebenarnya
tidak ada hubungan langsung antara perencanaan pembangunan kabupaten/kota dan
alokasi dana DAK. Pengalokasian DAK kepada daerah sepenuhnya menjadi wewenang
Pemerintah Pusat berdasarkan kriteria tertentu. Dalam hal ini, peran SKPD hanyalah
menyediakan data bagi departemen teknis terkait. Oleh karena itu, jika ada SKPD
kabupaten/kota tertentu yang pergi ke Jakarta sebelum penetapan DAK, tujuan
sebenarnya adalah hanya untuk menyerahkan data kepada departemen bersangkutan.
Peran pemda dalam pengalokasian DAK bersifat pasif. Bahkan seorang responden di
Kabupaten Kupang menyatakan, “Walau pemda tidak melakukan langkah apapun,
Pemerintah Pusat tetap memberikan DAK kepada daerah.” Dinas Kesehatan Kabupaten
Kupang, misalnya, selama ini tidak pernah secara khusus membuat perencanaan atau
37 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
pengusulan DAK untuk membiayai rencana kegiatannya. Pengalokasian dana dan
sumber-sumbernya tergantung kepada kebijakan pemerintah Kabupaten Kupang.
Jika mengacu pada UU No. 32/2004 dan UU No. 33/2004, berbagai persepsi
pengusulan DAK yang muncul di kalangan pemda seperti terurai di atas sedikit banyak
mendapatkan pembenaran. Dalam UU No. 32/2004, pengalokasian DAK menuntut
pendekatan bottom-up berdasarkan usulan pemda. Menurut responden di Depkeu dan
Bappenas, pada awal pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Pusat pernah mencoba
menerapkan mekanisme bottom-up. Namun, karena usulan daerah cenderung tidak
rasional, dalam arti jumlah usulannya sangat besar,22 Pemerintah Pusat tidak
melanjutkan mekanisme bottom-up ini. Di sisi lain, menurut UU No. 33/2004,
pembagian DAK pada dasarnya mengikuti mekanisme top-down, yakni Pemerintah
Pusat mengalokasikan DAK kepada daerah berdasarkan kriteria tertentu. Berdasarkan
pengalaman sebelumnya, Pemerintah Pusat cenderung memilih mekanisme top-down
dalam mengalokasikan DAK ke daerah.
Secara normatif, meskipun pengalokasian DAK bersifat top-down, prosesnya
berlangsung melalui mekanisme yang objektif. Departemen teknis, Depkeu, Depdagri,
Bappenas, dan DPR berperan secara intensif dalam mengalokasikan DAK sesuai
dengan perannya masing-masing. Namun, dalam praktiknya, setidaknya menurut
seorang responden di Bappenas, pengalokasian DAK menjadi domain Depkeu dan
departemen teknis terkait, sementara Depdagri dan Bappenas tidak dilibatkan secara
aktif. Menurut responden bersangkutan, proses semacam ini antara lain membawa
konsekuensi tertentu ketika pemda menyusun APBD, yakni pemda tidak mengetahui
jumlah DAK yang akan diterimanya. Hal ini mempersulit proses perencanaan
penyusunan anggaran di daerah.
Seorang responden di sebuah departemen teknis memberikan penjelasan yang berbeda.
Selama ini, pihaknya tidak pernah dilibatkan dalam penentuan alokasi DAK.
Menurutnya, peran departemen teknis tidak lebih dari sekedar menyediakan data teknis
yang diminta oleh Depkeu. Penentuan alokasi DAK, baik alokasi sektoral maupun
alokasi per daerah, sepenuhnya ditentukan oleh Depkeu bersama-sama dengan
Bappenas.
Informasi mengenai praktik pengalokasian DAK menjadi semakin simpang-siur ketika
seorang responden di Depkeu menyatakan bahwa penentuan alokasi DAK sebenarnya
merupakan hasil rumusan berbagai pihak sesuai dengan kewenangannya masingmasing.
Menurutnya, untuk penentuan jumlah anggaran tiap-tiap sektor/bidang, Depkeu
mendapatkan masukan dari Bappenas dan departemen teknis agar hasilnya sesuai
dengan RKP. Draf penentuan alokasi ini kemudian dikonsultasikan dengan Panitia
Anggaran DPR. Setelah DPR menyetujui jumlah DAK dan alokasinya menurut bidang,
kemudian Depkeu melakukan koordinasi dengan departemen teknis dengan
sepengetahuan Bappenas dan Depdagri. Selanjutnya, sesuai dengan PP No. 55/2005,
keputusan akhir mengenai hal tersebut serta penetapan DAK per daerah berada dalam
kewenangan Menkeu.
Uraian di atas mengindikasikan bahwa dalam praktiknya, tidak terdapat kesepahaman
mengenai mekanisme alokasi DAK baik di kalangan Pemerintah Pusat maupun
pemda. Kondisi demikianlah yang kemudian memungkinkan terjadinya perbedaan
22Akumulasi usulan DAK dari daerah mencapai angka ratusan triliun rupiah.
38 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
persepsi, baik perbedaan persepsi dalam batasan wacana maupun perbedaan persepsi
yang memunculkan “upaya lobi” untuk mendapatkan DAK yang tentunya
membutuhkan biaya tidak sedikit. Jika memang benar bahwa upaya lobi dapat
memengaruhi perolehan DAK, mungkin hal ini masih dapat dipahami dari aspek cost
benefit. Namun, jika pengalokasian DAK ternyata benar-benar mengikuti aturan main
yang berlaku sehingga tidak bisa dipengaruhi oleh upaya lobi daerah, upaya itu hanya
menjadi ajang penipuan orang-orang yang mengaku dapat memengaruhi perolehan
DAK. Maraknya isu mengenai “calo anggaran” beberapa waktu lalu, mungkin
merupakan fenomena di balik kekisruhan praktik pengalokasian DAK dan/atau jenis
dana perimbangan lainnya.
Di daerah, isu mengenai “percaloan anggaran” tersebut bukan hanya sekedar wacana,
melainkan sudah menjadi kenyataan. Seorang responden LSM di Kota Banda Aceh,
misalnya, menunjukkan kopi dokumen resmi Kabupaten X (ditandatangani oleh bupati)
yang berisi “kerjasama” antara Kabupaten X tersebut dan sebuah perusahaan Y yang
berkedudukan di Jakarta. Isi dokumen tersebut antara lain menyebutkan bahwa Kabupaten
X menugaskan PT. Y di Jakarta untuk mengurus pencairan DAK bidang perikanan dan
kelautan. Apabila tugas ini berhasil, PT. Y akan mendapatkan kompensasi dalam bentuk fee
sebesar 10% dari total DAK yang akan diterima oleh Kabupaten X.
4.2 Penetapan Alokasi dan Jenis Proyek
Beberapa aparat Pemerintah Pusat menyatakan bahwa meskipun penetapan alokasi
DAK menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, pemda masih mempunyai ruang yang
cukup untuk memanfaatkan dana itu sesuai dengan kewenangan otonominya. Di sektor
pendidikan, misalnya, pemda mempunyai kewenangan penuh dalam menetapkan
sekolah mana saja yang mendapat alokasi DAK. Meskipun demikian, hal ini tidak
berarti bahwa pemda dapat sepenuhnya menggunakan DAK sesuai dengan
keinginannya. Pemerintah Pusat melalui departemen teknisnya telah menetapkan
petunjuk teknis penggunaan DAK. Di bidang pembangunan prasarana jalan, misalnya,
pada TA 2006 Departemen PU menetapkan bahwa 70% DAK hanya boleh digunakan
untuk kegiatan pemeliharaan berkala jalan dan 30%-nya digunakan untuk kegiatan
peningkatan jalan. Departemen Pendidikan juga telah menggariskan bahwa pada 2007,
60% DAK digunakan untuk rehabilitasi gedung SD/madrasah ibtidaiyah dan 40%-nya
harus digunakan untuk peningkatan mutu pendidikan.
4.2.1 Penetapan Lokasi Proyek
Tiap-tiap kabupaten/kota sampel menyatakan bahwa penetapan lokasi proyek yang
menggunakan DAK telah dilakukan melalui proses pendekatan partisipatif dalam forum
musrenbang dan berdasarkan urutan skala prioritas. Mengingat jumlah DAK yang
terbatas, tidak semua usulan kegiatan pembangunan dari masyarakat bisa diwujudkan.
Selain karena alasan keterbatasan dana, sebagian aparat pemda menyatakan bahwa hal
itu terjadi karena usulan-usulan masyarakat cenderung berupa keinginan yang seringkali
tidak sesuai dengan kerangka pembangunan daerah secara keseluruhan. Namun, apapun
alasannya, kesan yang muncul kemudian adalah bahwa proses musrenbang sebagai
acuan penyusunan perencanaan pembangunan yang partisipatif menjadi tidak efektif.
Dalam praktiknya, pemda lebih banyak menentukan lokasi proyek DAK berdasarkan
perencanaan SKPD ketimbang usulan masyarakat. Dalam batas tertentu, faktor
39 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
nepotisme dan/atau kedekatan personal antara birokrat pemerintah dan pihak penerima
proyek, seperti kepala sekolah atau kepala puskesmas, ikut pula mewarnai penetapan
proyek DAK. Sebagai akibatnya, tidak jarang penetapan lokasi proyek menjadi polemik
dalam masyarakat. Di Kabupaten Wonogiri, sebagai contoh, pada 2006 DPRD yang
melakukan klarifikasi lapangan menemukan adanya lima SD yang ternyata tidak layak
untuk mendapatkan DAK. Mereka memakai DAK bukan untuk merehabilitasi gedung,
melainkan untuk membangun ruang kelas baru. Pada 2007, lebih banyak lagi rencana
rehabilitasi SD yang tidak tepat sasaran. Dari usulan rencana rehabilitasi 88 gedung SD
dari Dinas Pendidikan, DPRD memutuskan untuk membatalkan rencana rehabilitasi 29
SD dan merelokasikanya ke SD-SD lain karena rencana tersebut tidak memenuhi syarat.
Menurut seorang anggota DPRD, penentuan lokasi pembangunan SD yang tidak tepat
bisa terjadi antara lain karena adanya kedekatan personal antara pihak sekolah (kepala
sekolah atau komite sekolah) dan birokrat di kantor cabang dinas kecamatan atau dinas
kabupaten/kota.
Mungkin masih berkaitan dengan persoalan kedekatan personal seperti di atas, sebuah
SD di Kota Banda Aceh yang mendapatkan DAK pada 2006 berani merehabilitasi ruang
kelas dengan biaya yang melebihi plafon DAK. Jumlah biaya yang dikeluarkan untuk
membangun beberapa ruang kelas itu bernilai hampir dua kali lipat plafon DAK. Untuk
menutupi kekurangan biaya pembangunan, pihak sekolah (bersama komite sekolah)
berhutang kepada toko material bangunan. Pihak sekolah merasa sangat yakin bahwa
pada 2007 mereka akan mendapatkan DAK lagi sehingga dana ini dapat digunakan
untuk melunasi hutang tersebut.
Persoalan seputar penetapan lokasi proyek DAK tidak hanya terjadi di Kabupaten
Wonogiri dan Kota Banda Aceh, tetapi juga terjadi di Kabupaten Gorontalo dan
Kabupaten Kupang. Sebuah LSM yang bergiat di bidang pendidikan di Kabupaten
Gorontalo menyatakan bahwa di antara semua aspek pengelolaan DAK, penetapan
lokasi proyek merupakan aspek yang sangat rawan dengan kolusi. Sebagai contoh, ada
sebuah SD yang sudah selama lima tahun mengajukan usulan rehabilitasi gedung tetapi
sekolah tersebut belum juga memperoleh DAK. Sebaliknya, ada sebuah sekolah yang
bahkan mendapatkan DAK selama dua tahun berturut-turut. Selain itu, ada juga sebuah
sekolah yang mendapatkan bantuan DAK dan sekaligus bantuan dana dekonsentrasi.
Sebuah LSM di Kupang juga menuturkan bahwa penetapan lokasi proyek DAK telah
menjadi ajang kolusi. Dalam kasus ini,23 terdapat sebuah SD yang secara definitif telah
mendapatkan alokasi DAK berdasarkan SK bupati, namun kemudian alokasi DAK
tersebut dibatalkan berdasarkan SK bupati juga. Menurut seorang responden, hal itu
terjadi karena ada pihak tertentu yang mencoba membujuk kepala sekolah SD tersebut
agar proyeknya dikerjakan oleh kontraktor tertentu. Namun, karena kepala sekolah
tersebut tidak menyetujuinya, DAK untuk sekolahnya dialihkan ke sekolah lain.
Meskipun penetapan lokasi proyek DAK tidak sepenuhnya berlangsung secara objektif
dan transparan, peserta FGD memberikan penilaian relatif baik terhadap aspek
penetapan lokasi proyek DAK. Dalam hal ini, peserta FGD menempatkan tahap
partisispasi penetapan alokasi proyek pada urutan ketiga dibanding dengan tahap-tahap
lain (lihat Tabel 4.1 dan Lampiran 5). Hal ini mungkin disebabkan oleh peran SKPD
yang lebih besar dalam penetapan alokasi proyek daripada peran masyarakat yang
terhimpun melalui proses musrenbang.
23Kasus ini terjadi di Kabupaten Timor Tengah Selatan (bukan daerah sampel).
40 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
4.2.2 Persoalan Seputar Petunjuk Teknis
Kalangan pemerintah kabupaten/kota sampel menyatakan bahwa persoalan utama
penggunaan DAK antara lain terletak pada aspek keseragaman dan kekakuan petunjuk
teknis sehingga kondisi spesifik suatu daerah terabaikan. Sebagai akibatnya, daerah
tidak bisa menggunakan DAK secara maksimal sesuai dengan kepentingannya, bahkan
tidak jarang justru muncul kondisi kontraproduktif. Petunjuk teknis ketat yang
menyertai alokasi DAK merupakan indikasi bahwa Pemerintah Pusat tidak sepenuhnya
menginginkan pelaksanaan otonomi daerah secara penuh. Menyikapi pandangan
semacam ini, kalangan Pemerintah Pusat umumnya menyatakan bahwa pengaturan
penggunaan DAK yang ketat merupakan upaya kontrol Pemerintah Pusat terhadap
pemda, selain juga beralasan teoritis dan legalitas. Jika penggunaan DAK menjadi
diskresi penuh pemda, Pemerintah Pusat merasa khawatir bahwa banyak daerah akan
membelanjakan DAK untuk kepentingan birokrasi, sebagaimana halnya yang terjadi
pada DAU.
Terlepas dari perbedaan pandangan mengenai petunjuk teknis DAK, bagian berikut
menyajikan beberapa permasalahan pemda dalam menjalankan juknis.
(i) Petunjuk teknis yang tidak sesuai dengan kondisi daerah
Secara sektoral, juknis sering kali tidak sesuai dengan kondisi daerah. Di Kabupaten
Kupang, misalnya, sebagian besar permukaan jalan masih berupa tanah atau belum
beraspal. Namun, juknis menggariskan bahwa 70% DAK infrastruktur jalan harus
dipergunakan untuk pemeliharaan dan hanya 30%-nya yang diperbolehkan untuk
kegiatan peningkatan kondisi jalan. Hal ini tentu tidak sesuai dengan kebutuhan karena
Kabupaten Kupang lebih banyak memerlukan dana untuk kegiatan peningkatan jalan.
Kasus yang berbeda terjadi di Kota Banda Aceh. Alokasi DAK bidang pendidikan
hanya diperbolehkan untuk mendanai rehabilitasi gedung SD, padahal di Kota Banda
Aceh, hampir semua SD yang rusak akibat bencana tsunami telah dibangun kembali
oleh Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) dan berbagai lembaga bantuan lain,
baik lembaga dalam negeri maupun lembaga luar negeri. Sebagai akibatnya, DAK
dipakai untuk merehabilitasi gedung-gedung SD yang sebenarnya secara teknis masih
layak digunakan.
Persoalan lain yang mengemuka adalah penentuan standar satuan unit biaya. Untuk
rehabilitasi gedung SD, pada 2006 Pemerintah Pusat menetapkan standar biaya per
paket sebesar Rp150 juta untuk merehabilitasi tiga ruang kelas, padahal kondisi
kerusakan tiap-tiap gedung SD berbeda-beda. Ada SD yang hanya memiliki satu ruang
kelas rusak, namun ada juga SD yang memiliki sampai enam ruang kelas rusak. Dalam
konteks ini, pemda menyarankan agar paket pendanaan rehabilitasi gedung SD sejauh
mungkin disesuaikan dengan kebutuhan tiap-tiap sekolah. SD yang kerusakannya hanya
pada satu ruang kelas tidak perlu diberi dana untuk pembangunan tiga ruang kelas.
Sebaliknya, SD yang kerusakannya meliputi enam ruang kelas perlu mendapatkan
pendanaan untuk enam ruang kelas juga. Jika SD dengan kondisi demikian hanya
diberikan paket untuk pembangunan tiga ruang kelas saja, sulitlah bagi SD ini untuk
memperoleh paket yang sama pada tahun berikutnya. Selain itu, penyeragaman harga
paket Rp50 juta per ruang kelas tidak mencerminkan kondisi sebenarnya di lapangan.
Di Kabupaten Kupang saja, misalnya, terdapat tiga zona indeks kemahalan harga bahan
bangunan.
41 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
Penyeragaman petunjuk teknis pengadaan alat-alat penunjang peningkatan mutu
pendidikan maupun alat kesehatan juga mengakibatkan ketidakefektifan penggunaan
dana DAK. Ilustrasi berikut memberikan gambaran mengenai hal tersebut.
􀂃 Pengadaan meja-kursi siswa
Melalui petunjuk teknis, Departemen Pendidikan menetapkan bahwa pengadaan
meja-kursi siswa haruslah sebanyak 40 set per ruang kelas, padahal kondisi di
lapangan menunjukkan bahwa banyak terdapat SD yang jumlah muridnya hanya
sekitar 20 siswa per kelasnya. Sebagai akibatnya, meja-kursi siswa yang tidak
terpakai hanya menumpuk di gudang atau di bagian belakang ruang kelas. Persoalan
lainnya adalah ukuran meja-kursi siswa yang juga dibuat seragam dan hanya sesuai
untuk siswa kelas 1–3. Siswa kelas 5 dan 6 merasa tidak nyaman memakainya
karena ukurannya terlalu kecil.
􀂃 Pengadaan mesin ketik
Dalam paket peningkatan mutu pendidikan, Pemerintah Pusat mengharuskan semua
sekolah (kasus di Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Gorontalo) untuk menerima
paket mesin ketik seharga Rp1,55 juta. Menurut seorang responden di daerah,
Pemerintah Pusat telah menentukan spesifikasi jenis mesin ketik, yakni mesin ketik
yang mempunyai huruf beta (β). Baik di Kabupaten Wonogiri maupun di Kabupaten
Gorontalo, mesin ketik tersebut bermerek “Royal–Special School Edition”. Dalam
kaitan ini, beberapa responden mempersoalkan efektivitas penggunaan mesin ketik
untuk kegiatan administrasi sekolah. Sekolah-sekolah di daerah perkotaan lebih
membutuhkan komputer daripada mesin ketik. Di salah satu SD di Kabupaten
Wonogiri, mesin ketik itu hanya ditaruh di sudut ruangan (Lampiran 12). Para guru
tidak pernah menggunakan mesin ketik itu karena sekolah bersangkutan sudah
memiliki komputer.
􀂃 Pengadaan buku
Paket buku penunjang yang diterima sekolah tidak sesuai dengan kebutuhan. Sebuah
SD di Kabupaten Wonogiri yang jumlah muridnya hanya 92 orang menerima satu
judul buku yang jumlahnya sampai 200 buah. Dalam kaitan ini, pihak sekolah
mempertanyakan mengapa untuk perbaikan gedung sekolah, pihak Dinas
Pendidikan mempercayakan pembangunannya kepada sekolah, sementara
pengadaan alat penunjang mutu pendidikan diserahkan kepada pihak ketiga.
􀂃 Pengadaan kulkas vaksin
Di sektor kesehatan, hal yang sama juga terjadi. Untuk pengadaan kulkas vaksin,
sebagai contoh, berdasarkan petunjuk teknis, puskesmas harus membeli kulkas
dengan spesifikasi tertentu yang harganya mencapai Rp30 juta per unit, padahal
menurut seorang dokter puskesmas, vaksin dapat disimpan di dalam kulkas biasa
yang harganya jauh lebih murah. Di pihak lain, ironisnya, spesifikasi untuk
rehabilitasi bangunan puskesmas justru tidak disertai dengan pengadaan jaringan
listrik dan pembuangan sampah medis.
(ii) Pentahapan pencairan dana
42 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
Proses pencairan dana DAK secara bertahap kurang sesuai dengan kondisi beberapa
daerah. Untuk kasus Kota Banda Aceh, sebagian besar dinas/instansi teknis pengguna
anggaran tidak mengajukan permohonan pembayaran dana secara bertahap sesuai
kemajuan kegiatan pelaksanaan proyek. Mereka umumnya hanya mengajukan
permintaan pembayaran pada saat kegiatan/proyek telah selesai. Hal ini terjadi karena
umumnya rekanan pelaksana proyek (kontraktor) tidak mengajukan pembayaran sesuai
kemajuan pembangunan fisik proyek. Selama ini sebagian besar kontraktor lebih
memilih untuk lebih dulu menyelesaikan pekerjaan/proyek secara keseluruhan,
kemudian mengajukan permohonan pembayaran. Menurut beberapa responden di
kalangan Pemerintah Kota Banda Aceh, kontraktor memilih pendekatan semacam ini
untuk menghindari birokrasi administrasi pencairan dana yang berulang-ulang. Dalam
mengomentari kondisi tersebut, seorang peserta FGD menyatakan, “Rekanan
(kontraktor) tidak mau mencairkan uang berulang kali sebab setiap pencairan
memerlukan biaya.”
Di Kabupaten Kupang dan Kabupaten Gorontalo yang wilayahnya luas, aparat pemda
juga banyak menyoroti mekanisme pencairan dana secara bertahap sebagai kebijakan
yang kurang efisien, terutama untuk daerah-daerah terpencil dengan kondisi parasarana
jalan yang buruk. Kondisi demikian sering mengakibatkan keterlambatan penyelesaian
prosedur administratif yang berujung pada keterlambatan penyelesaian proyek. Untuk
pembangunan gedung SD yang menggunakan pola swakelola, sebagai contoh, setiap
proses pencairan dana membutuhkan tanda tangan komite sekolah, petugas PU
kecamatan, dan kepala cabang Dinas Pendidikan. Bila salah seorang dari mereka tidak
menandatangani surat pengajuan pembayaran tersebut, misalnya karena mereka sedang
tidak berada di tempat, proses pencairan dana menjadi terhambat. Meskipun beberapa
responden mengkritik mekanisme pencairan DAK, peserta FGD menempatkan tahap
pencairan dana pada urutan terbaik dibandingkan dengan tahap-tahap pengelolaan DAK
lainnya (lihat Tabel 4.1 dan Lampiran 5).
(iii) Keterlambatan penerbitan petunjuk teknis
Semua pemda sampel mengeluhkan lambatnya Pemerintah Pusat dalam menerbitkan
petunjuk teknis penggunaan DAK. Masalah ini setidaknya mengakibatkan dua hal:
Pertama, pemda tidak bisa memulai kegiatan pembangunan yang dananya bersumber
dari DAK dengan segera; dan kedua, ada kemungkinan bahwa perencanaan kegiatan
pembangunan yang dananya bersumber dari DAK dan sudah tertuang dalam APBD
tidak sesuai dengan petunjuk teknis. Jika hal kedua yang terjadi, pemda terpaksa harus
mengajukan permohonan pengecualian kepada departemen teknis terkait, atau pemda
harus menyesuaikan kembali APBD-nya. Penyesuaian ini dapat menghabiskan biaya
dan waktu yang tidak sedikit karena pihak eksekutif harus mempersiapkan
perubahannya dan kemudian memusyawarahkannya kembali dengan DPRD. Dalam
kondisi seperti itu, pemda umumnya cenderung melakukan penyesuaian pada saat
membahas APBD-P (Perubahan) yang biasanya berlangsung pada Agustus. Sebagai
konsekuensinya, waktu pelaksanaan kegiatan proyek-proyek yang dananya bersumber
dari DAK sangat sempit dan dapat berdampak pada mutu yang kurang memadai.
4.3 Pelaksanaan Proyek
43 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
Di semua daerah sampel, terdapat dua pola umum pelaksanaan proyek pembangunan
fisik yang dananya bersumber dari DAK, yakni melalui swakelola dan melalui
lelang/tender. Di sektor bidang pendidikan, Depdiknas menggariskan bahwa semua
pelaksanaan proyek rehabilitasi gedung SD harus menggunakan pola swakelola.
Pelaksana proyeknya adalah kepala sekolah dan/atau komite sekolah. Pola swakelola
sebenarnya identik dengan penunjukan langsung. Menurut seorang responden di
Depdiknas, pola pembangunan swakelola merupakan bagian dari filosofi pengelolaan
pendidikan nasional, yakni pendidikan menjadi tanggung jawab pemerintah dan
masyarakat. Melalui pola ini, Depdiknas mengharapkan masyarakat dapat memberikan
kontribusinya terhadap pembangunan prasarana fisik pendidikan. Berbeda dengan
kebijakan tersebut, Depkes dan Departemen PU menetapkan pelaksanaan proyekproyek
DAK melalui proses lelang. Di kabupaten/kota sampel, proses pelaksanaan
pembangunan fisik melalui pola swakelola maupun lelang berjalan dengan baik. Secara
visual, kualitas bangunan SD, puskesmas, dan jalan juga terlihat baik. Berdasarkan hal
ini, peserta FGD menempatkan tahap pelaksanaan proyek-proyek DAK pada urutan
terbaik kedua di antara tahap-tahap pengelolaan DAK, setelah tahap pencairan dana
(lihat Tabel 4.1 dan Lampiran 5).
Catatan seputar pelaksanaan proyek swakelola
Di satu sisi, secara umum pola swakelola telah mampu membuat biaya rehabilitasi
gedung SD menjadi lebih murah sehingga pelaksana proyek dapat meningkatkan
volume pekerjaan. Di sebuah SD Inpres di Kabupaten Kupang, misalnya, dana DAK
sebesar Rp108 juta yang seharusnya hanya untuk membiayai rehabilitasi tiga ruang
kelas cukup untuk membiayai rehabilitasi lima ruangan, yaitu tiga ruang kelas, satu
ruang perpustakaan, dan satu ruang guru. Jika menggunakan ukuran harga pasar, nilai
rehabilitasi kelima ruangan itu mencapai Rp400 juta atau 270% dari nilai anggaran
DAK. Sejalan dengan fakta ini, staf Dinas Pendidikan Kabupaten Wonogiri menyatakan
bahwa berdasarkan pengalaman empiris, pola swakelola memiliki beberapa keuntungan,
seperti kualitas bangunan yang lebih baik, volume pekerjaan yang lebih besar,
pemberdayakan ekonomi yang berimbas pada peningkatan pendapatan masyarakat
setempat, serta pemberdayaan komite sekolah.
Nilai positif pembangunan melalui pola swakelola bersumber dari adanya kontribusi
yang cukup besar dari orang tua murid, baik kontribusi dalam bentuk tenaga kerja
maupun kontribusi dalam bentuk sumbangan bahan-bahan material bangunan. Di
Kabupaten Kupang, para pekerja mau menerima upah Rp15.000/hari, lebih rendah dari
tingkat upah umum yang mencapai Rp25.000–Rp35.000/hari. Demikian juga halnya
untuk pengadaan bahan bangunan. Misalnya, harga kayu jati di pasaran mencapai Rp3,2
juta/kubik, namun para orang tua murid mau menjualnya kepada panitia pembangunan
sekolah dengan harga Rp1,5 juta/kubik.
Sehubungan dengan hal itu, sebenarnya tidak menjadi soal apabila pemerintah meminta
masyarakat untuk memberikan kontribusinya bagi pembangunan pendidikan. Namun,
untuk daerah-daerah yang sebagian besar masyarakatnya miskin, seperti di Kabupaten
Kupang dan Kabupaten Wonogiri, permintaan demikian menjadi tidak tepat. Sebuah
LSM di Kupang, misalnya, menyatakan bahwa meminta masyarakat miskin untuk
memberikan kontribusinya kepada pembangunan pendidikan merupakan hal yang
ironis. Pemerintah seharusnya tidak menjadikan filosofi tanggung jawab pendidikan
untuk menutupi kegagalannya dalam membangun prasarana pendidikan. Dalam
44 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
pandangan masyarakat miskin, justru pemerintahlah yang seharusnya membantu
mereka, bukan sebaliknya. Dalam konteks ini, pola swakelola untuk memberdayakan
ekonomi masyarakat setempat gagal mencapai tujuannya.
Kritik lain terhadap pelaksanaan pola swakelola datang dari kalangan kontraktor.
Mereka menyatakan bahwa pola pengerjaan proyek secara swakelola pada dasarnya
menyalahi aturan Keppres No. 80/2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah dan juga menyalahi UU No. 18/1999 tentang Jasa Konstruksi.
Misalnya, secara teknis kualitas pekerjaan proyek swakelola meragukan karena
pelaksananya tidak mempunyai sertifikat kompetensi seperti yang dipersyaratkan oleh
UU No. 18/1999. Jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan terhadap bangunan yang
dikerjakan secara swakelola, misalnya gedung roboh akibat kesalahan konstruksi, tidak
ada pihak yang bisa dimintai pertanggungjawabannya. Kritik lainnya adalah bahwa
sistem pengerjaan secara swakelola memungkinkan terjadinya kolusi yang semakin
besar. Hal ini karena tidak banyak terdapat tukang yang mempunyai keahlian memadai
untuk melaksanakan pekerjaan bangunan untuk kepentingan publik. Sebagai akibatnya,
tidak jarang kepala sekolah/komite sekolah kemudian menyerahkan pekerjaan tersebut
kepada pihak ketiga, baik perorangan maupun kontraktor. Dalam kaitan ini, seorang
kontraktor di Kabupaten Kupang menyatakan bahwa dulu untuk mendapatkan proyek,
kontraktor harus mengikuti tender yang diadakan oleh pemda, sementara sekarang
mereka cukup datang ke kepala sekolah atau komite sekolah.
4.4 Monitoring dan Evaluasi Proyek DAK
Kegiatan monitoring dan evaluasi (monev) terhadap program pembangunan umumnya
masih sangat kurang. Khusus untuk proyek-proyek DAK, di antara masalahnya adalah
bahwa baik Pemerintah Pusat maupun pemda tidak mengalokasikan anggaran untuk
kegiatan monev. Terkait hal ini, peserta FGD memberikan penilaian yang relatif rendah,
yakni urutan keempat dari enam tahap pengelolaan DAK (lihat Tabel 4.1). Di
Kabupaten Kupang dan Kabupaten Wonogiri, peserta FGD bahkan memberikan
peringkat paling rendah terhadap aspek monitoring dan evaluasi dari keseluruhan
pentahapan penggunaan DAK (Lampiran 5).
Untuk Kota Banda Aceh, peserta FGD memberikan peringkat yang relatif tinggi
terhadap kegiatan monev. Di antara alasannya adalah bahwa Pemkot Banda Aceh telah
membentuk Tim Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan DAK yang terdiri dari unsur
Bappeda, Bagian Keuangan, dan Bagian Pembangunan. Tugas tim ini adalah melakukan
pengawasan secara langsung terhadap pelaksanaan proyek DAK. Selain itu, sebagai
bagian dari fungsi internal audit pemkot, secara rutin Bawasda Kota Banda Aceh juga
melakukan pemeriksaan terhadap proyek DAK. Peserta FGD berpendapat bahwa
intensitas monev di Kota Banda Aceh tergolong cukup tinggi karena kota ini merupakan
kawasan perkotaan sehingga sangatlah mudah bagi tim untuk mengunjungi lokasi
proyek. Meskipun begitu, Bappeda Kota Banda Aceh menyatakan bahwa pelaksanaan
monev masih tergolong kurang optimal. Masalah utamanya terletak pada biaya
operasional yang sangat kecil. Pada 2006, APBD Kota Banda Aceh hanya menyediakan
dana sekitar Rp8 juta dan pada 2007, Pemerintah Kota Banda Aceh bahkan tidak lagi
meyediakan dana untuk kegiatan monev proyek DAK.
Sebagai akibat ketidaktersediaan komponen dana khusus monev dalam proyek DAK,
kegiatan monev di tiga kabupaten sampel lainnya hanya bersifat administratif dan pasif.
45 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
Tiap-tiap dinas lebih banyak menunggu laporan dari penanggung jawab atau pelaksana
proyek. Pihak dinas terkait jarang melakukan kunjungan langsung ke lokasi proyek.
Kalaupun mereka melakukan kunjungan, umumnya kunjungan ini hanya menumpang
pada kegiatan lain.
Kegiatan monev yang kurang intensif pada proyek DAK kemungkinan juga berkaitan
dengan kelanjutan dari rangkaian proses monev itu sendiri. Kalangan dinas pengguna
DAK menyatakan bahwa laporan mereka ke departemen teknis tidak pernah mendapat
umpan balik. Dinas Kesehatan Kabupaten Kupang, misalnya, selama ini secara rutin
mengirimkan laporan kemajuan kegiatan ke Depkes setiap tiga bulan. Namun, daerah
ini belum pernah menerima tanggapan atau umpan balik dari Pemerintah Pusat.
Ketiadaan respons Pemerintah Pusat membuat daerah bahkan tidak mengetahui apakah
laporannya sampai ke tujuan atau tidak.
Menurut peraturan perundangan, antara lain, yang tercantum dalam PP No. 55/2005 dan
berbagai juknis dari departemen teknis, setiap daerah harus menyampaikan laporan
triwulanannya tentang status kemajuan pekerjaan kegiatan DAK kepada Pemerintah
Pusat dan wakil Pemerintah Pusat di daerah (gubernur/provinsi). Pada 2006, secara
nasional jumlah daerah yang menyampaikan laporan sebagaimana yang diterima oleh
setiap departemen teknis sangatlah rendah (Tabel 4.2): Kurang dari separuh jumlah
seluruh daerah menyampaikan laporannya. Pada bidang pertanian, jumlahnya bahkan
kurang dari 10%. Informasi ini memperlihatkan tingkat kepatuhan daerah yang rendah
dalam memenuhi tuntutan peraturan perundangan, dan sekaligus juga memperlihatkan
ketidakseriusan departemen teknis dalam melaksanakan monev penggunaan DAK oleh
daerah. Salah satu penjelasan departemen teknis terhadap kondisi ini adalah tidak
tersedianya dana monev.
46 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
Tabel 4.2 Frekuensi Pelaporan DAK oleh Daerah
No. Bidang %
1 Jalan 45%
2 Irigasi 45%
3 Air Bersih 45%
4 Lingkungan Hidup 65%
5 Pertanian < 10%
6 Kelautan dan Perikanan 45–60%
7 Pendidikan < 50%
8 Kesehatan n.a.
Sumber: Bappenas (2006)
Keterangan: n.a. = data tidak tersedia
Tingkat pelaporan DAK yang rendah juga terjadi di empat provinsi sampel penelitian
ini. Pada 2005, dari 77 kabupaten/kota di keempat provinsi tersebut, tidak ada satu pun
kabupaten/kota yang menyampaikan laporan status pelaksanaan kegiatan subsektor
jalan (Tabel 4.3). Sebenarnya, menurut ketentuan yang berlaku, ada sanksi terhadap
kelalaian penyampaian laporan, yaitu penundaan penyaluran DAK. Namun, sanksi ini
tidak pernah dilaksanakan. Kalaupun akan dilaksanakan, sanksi demikian dinilai tidak
adil terhadap rakyat. Setiap penundaan pencairan dana berarti penundaan penerimaan
manfaat oleh rakyat, padahal kelalaian ini dilakukan oleh aparat birokrasi (lihat juga
Kotak 2.1).
Tabel 4.3 Jumlah Kabupaten/Kota di Provinsi Sampel yang Memberikan
Laporan untuk Prasarana Jalan, 2005
Jumlah Kabupaten/Kota
No. Provinsi Yang menerima DAK Yang menyampaikan laporan
1 NAD 21 0
2 Jawa Tengah 35 0
3 NTT 16 0
4 Gorontalo 5 0
TOTAL 77 (434) 0 (195)
Sumber: Bappenas (2006)
Keterangan: Angka dalam tanda kurung adalah angka nasional.
4.5 Koordinasi Pengelolaan DAK
Koordinasi merupakan salah satu titik lemah pengelolaan DAK. Hal ini, antara lain,
terlihat dari penilaian peserta FGD yang memberi peringkat kelima dari enam tahap
pengelolaan DAK. Di Kota Banda Aceh, misalnya, Bappeda mengakui bahwa mereka
tidak dilibatkan secara langsung sejak awal perencanaan program/kegiatan yang
menggunakan dana DAK. Setiap SKPD pengguna anggaran DAK membuat
perencanaannya sendiri-sendiri dan hanya menyampaikan rencana kegiatannya kepada
walikota melalui Bagian Pembangunan. Setelah walikota menyetujui rencana itu,
kemudian Bappeda mendapatkan laporannya. Bappeda, sebagai leading actor dalam
panitia anggaran eksekutif, kemudian memasukkan rencana itu ke dalam rancangan
APBD. Mekanisme seperti ini menunjukkan bahwa peran Bappeda dalam penggunaan
DAK adalah hanya sebagai pencatat administratif. Dalam kaitan ini, tidak tampak
adanya koordinasi antarinstansi pengguna anggaran DAK. Lemahnya koordinasi ini,
47 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
antara lain, berdampak pada penggunaan DAK yang tidak tepat sasaran. Seorang
anggota DPRD Kota Banda Aceh mencontohkan adanya sebuah SD yang baru
direhabilitasi dengan menggunakan dana DAK kemudian dirobohkan kembali karena
adanya bantuan donor/LSM yang akan membangun sekolah tersebut dengan dana yang
lebih besar.
Di kabupaten sampel lainnya, Bappeda selalu menyatakan bahwa baik sebelum
maupun setelah menerima alokasi dana DAK, semua SKPD yang menerima DAK
selalu mengadakan koordinasi dengan Bappeda. Meskipun demikian, para peserta
FGD umumnya menyatakan bahwa aspek koordinasinya lemah, baik itu koordinasi
antar-SKPD maupun koordinasi dengan instansi tingkat provinsi. Umumnya para
responden menyatakan bahwa tiap-tiap SKPD cenderung mengedepankan tugas dan
fungsinya sendiri tanpa mau melihat tugas dan fungsi SKPD lain yang terkait. Hal ini
terjadi, antara lain, karena tiap-tiap SKPD harus memedomani petunjuk teknis
sehingga secara praktis tidak ada ruang untuk melakukan penyesuaian dengan
kebutuhan bersama di daerah.
Khusus menyangkut lemahnya koordinasi pemerintah kabupaten/kota dengan tingkat
pemerintah provinsi, contohnya adalah, antara lain, adanya sebuah SD yang akan
menerima DAK maupun dana dekonsentrasi pada saat bersamaan. Dalam kasus ini,
pemkab umumnya menyalahkan pemerintah provinsi karena “dengan seenaknya”
menentukan lokasi proyek tanpa berkoordinasi terlebih dahulu dengan pemerintah
kabupaten. Di Kabupaten Kupang, misalnya, pada 2007, pemda telah menetapkan SD X
sebagai penerima DAK. Namun, pemerintah provinsi juga ternyata menetapkan SD
tersebut sebagai penerima dana dekonsentrasi. Sebuah LSM di Kabupaten Gorontalo
juga melaporkan adanya kasus serupa, yaitu ada sebuah SD yang mendapatkan DAK
tetapi kemudian mendapatkan pula dana dekonsentrasi. Staf Dinas Pendidikan
Kabupaten Gorontalo memberikan tanggapan bahwa kasus ini terjadi karena dana DAK
tidak mencukupi untuk memperbaiki seluruh kerusakan gedung SD tersebut.
48 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
APBN mengalokasikan DAK untuk membiayai pelayanan publik tertentu yang
disediakan oleh pemerintah kabupaten/kota. Tujuannya adalah untuk mengurangi
kesenjangan pelayanan publik antardaerah. Meskipun DAK termasuk ke dalam APBD,
dalam pemanfaatannya, pemda harus menaati berbagai regulasi pusat. Selain itu, DAK,
yang tujuannya untuk membantu keuangan daerah, dalam batas tertentu ternyata telah
berubah menjadi kendala dalam proses penganggaran pemerintah daerah.
Penelaahan atas berbagai regulasi menemukan empat hal yang berpotensi menghambat
pengelolaan DAK.
(i) Belum ada PP yang secara khusus mengatur DAK, seperti PP tentang DAK24 (UU
No. 32/2004 Pasal 162 (4) dan UU No. 33/2004 Pasal 42) dan PP tentang
pengalihan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan menjadi DAK (UU No.
33/2004 Pasal 108).
(ii) Jadwal pengeluaran keputusan alokasi dan penerbitan regulasi DAK oleh
Pemerintah Pusat tidak sesuai dengan jadwal penyusunan APBD. Sebagai
akibatnya, selain pemda pada akhirnya perlu melakukan penyesuaian terhadap
anggarannya, waktu pengerjaan proyek menjadi terbatas.
(iii) Terdapat kebijakan yang seharusnya berlaku seragam secara nasional namun
masih menyediakan ruang bagi ketidakseragaman. Sebaliknya, ada juga kebijakan
yang seharusnya memberi ruang bagi perbedaan sebagai akibat dari kondisi
antardaerah yang memang berbeda namun justru memaksakan keseragaman
secara nasional.
(iv) Berbagai UU tentang organisasi dan tugas kementerian/lembaga yang bernuansa
sentralistis belum disesuaikan dengan UU desentralisasi. Oleh karenanya,
kebijakan pengelolaan DAK menjadi berbeda antarkementerian/lembaga dan
antardaerah. Tidak adanya sinkronisasi antara DAK, dana dekonsentrasi, dan
tugas pembantuan berakibat pada penggunaan dana yang menjadi tidak optimal.
Keempat penghambat itu menuntun kita pada sebuah kesimpulan bahwa reformasi
terhadap berbagai regulasi perlu dilakukan agar pelaksanaan desentralisasi dan otonomi
daerah pada umumnya dan pengelolaan DAK pada khususnya dapat berlangsung
dengan baik. Dengan demikian, upaya menyeimbangkan kualitas dan kuantitas
pelayanan publik di seluruh Indonesia dapat dioptimalkan.
Secara formal, regulasi menyediakan ruang bagi pemda untuk secara aktif mengajukan
proposal pemanfaatan DAK. Namun, dalam praktiknya, mereka menjadi penerima
pasif, padahal sebenarnya pemda sangat mengandalkan belanja modal daerahnya pada
DAK. Selama ini, pemda hanya sebatas diminta untuk mengirim data tentang kondisi
sarana dan prasarana berbagai sektor di daerahnya sebagai bahan bagi Pemerintah
Pusat dalam menetapkan alokasi DAK. Mengenai penetapan alokasi DAK, sikap
24PP yang mengatur DAK digabung dengan PP yang mengatur dana perimbangan secara keseluruhan.
DAK merupakan salah satu komponen dana perimbangan.
49 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
pemda mengindikasikan adanya penilaian bahwa Pemerintah Pusat tidak berlaku
transparan dalam hal ini sampai-sampai pejabat daerah perlu berusaha “melobi
Jakarta” untuk mendapatkan alokasi DAK yang lebih besar. Analisis kuantitatif
terhadap alokasi DAK per provinsi memang menunjukkan korelasi yang rendah
terhadap buruknya kondisi infrastruktur pelayanan publik di bidang pendidikan dan
infrastruktur jalan, sementara pada bidang kesehatan arah korelasinya bahkan
bertentangan dengan tujuan DAK.
Koordinasi dan komunikasi dalam pengelolaan DAK antarinstansi baik di pusat maupun
di daerah, termasuk antara provinsi dan kabupaten/kota, terlihat masih terbatas. Selain
itu, masih sedikit terdapat pemda yang memenuhi kewajibannya untuk melaporkan
perkembangan penggunaan DAK-nya setiap tiga bulan sebagaimana dimandatkan oleh
peraturan perundangan. Penyebabnya ada empat kemungkinan, yakni
(i) meskipun regulasi memberikan sanksi atas kelalaian pelaporan, Pemerintah Pusat
tidak pernah melaksanakannya;
(ii) beberapa pemda yang menyampaikan laporan tidak pernah mendapatkan respons
dari Pemerintah Pusat sehingga pada akhirnya pemda bersikap tidak peduli lagi
dengan kewajiban melapor tersebut;
(iii) sanksi atas kelalaian pelaporan dikenakan kepada daerah, bukan pejabat yang
lalai, sehingga pejabat tersebut tidak begitu merasa wajib untuk membuat laporan;
dan/atau
(iv) kapasitas pemda dalam pengelolaan keuangan publik tidak memadai.
Berdasarkan berbagai temuan di atas, secara umum dapat disimpulkan bahwa
manajemen DAK bersifat sentralistis, sementara kapasitas Pemerintah Pusat dalam
pengawasan penggunaannya di lebih dari 400 kabupaten/kota tidak memadai. Oleh
karena itu, SMERU menyarankan hal-hal berikut ini.
(i) Pemerintah Pusat hendaknya membangun sebuah paradigma baru dalam manajemen
DAK dengan mendesentralisasikannya kepada pemerintah provinsi sehingga
pemerintah provinsi berwenang dalam melaksanakan pengalokasian DAK,
pengkoordinasian pengelolaan DAK, dan pengawasan atas penggunaan DAK oleh
pemerintah kabupaten/kota. Tentu saja kewenangan ini harus dikawal oleh sejumlah
regulasi yang dapat menjamin terlaksananya mekanisme transparansi dan partisipasi,
prosedur akuntabilitas, dan sistem ganjaran (hadiah dan hukuman). Kebijakan ini
mempunyai tiga manfaat, yaitu (i) menyederhanakan manajemen DAK di tingkat pusat;
(ii) memperkuat kewenangan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah; dan
(iii) memberdayakan provinsi sebagai daerah otonom melalui diskresi fiskal.25
(ii) Sanksi atas kelalaian dalam penyampaian laporan pengelolaan keuangan daerah,
termasuk DAK, sebagaimana tercantum pada UU No. 33/2004 Pasal 102 hendaknya
tidak ditimpakan kepada daerah/rakyat secara keseluruhan. Sanksi atas kelalaian
tersebut hendaknya ditimpakan kepada aparat birokrasi yang harus memikulnya
secara tanggung renteng.
25Kalau sebagian dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan dialihkan menjadi DAK, sebagaimana
dimandatkan oleh UU, proporsi DAK terhadap total belanja APBN dapat mencapai sekitar 4%, sementara
pada 2006 saja, proporsi DAU sudah mencapai 22%.
50 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
DAFTAR ACUAN
Bappeda dan BPS Kabupaten Kupang (2005) Kabupaten Kupang dalam Angka, 2005.
Kupang: Bappeda dan BPS Kabupaten Kupang
Bappenas, BPS, dan UNFPA (2005) Proyeksi Penduduk Indonesia 2000–2025. Jakarta:
Bappenas, BPS, dan UNFPA
Bappenas dan Direktorat Perekonomian Daerah (2006) ‘Pengolahan dan Analisis
Laporan Monitoring Pelaksanaan Dana Alokasi Khusus (DAK).’ Jakarta:
Bappenas dan Direktorat Perekonomian Daerah
Bappenas (2006a) Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2007. Buku II. Jakarta:
Bappenas
Departemen Keuangan (2006) Nota Keuangan 2007. Jakarta: Departemen Keuangan
Departemen Keuangan (2007) Sistem Informasi Keuangan Daerah Direktorat Jenderal
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah [online]

Keputusan Menteri Kesehatan No. 7/Menkes/SK/I/2007 tentang Petunjuk Teknis
Penggunaan DAK Tahun Anggaran 2007
Keputusan Menteri Keuangan No. 55505/KMK.02/2004 tentang Penetapan Alokasi dan
Pedoman Umum Pengelolaan Dana Alokasi Khusus Non Dana Reboisasi Tahun
Anggaran 2005
Kompas (2007) ‘Jeda Penempatan Dana Harus Diperpendek. Penyerapan APBD Butuh
Perencanaan yang Tepat.’ Kompas 9 Januari
Kompas (2007) ‘1.366 Perda Tidak Dilaporkan.’ Kompas 22 Mei
Peraturan Bupati Gorontalo No. 413/2006 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Dana
Alokasi Khusus Bidang Pendidikan Tahun Anggaran 2006 Kabupaten Gorontalo
Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 9/1982 tentang Pedoman
Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan di Daerah (P5D)
Peraturan Menteri Keuangan No. 124/PMK.02/2005 tentang Penetapan Alokasi dan
Pedoman Umum Pengelolaan Dana Alokasi Khusus Tahun Anggaran 2006
Peraturan Menteri Keuangan No. 128/PMK.07/2006 tentang Penetapan Alokasi dan
Pedoman Umum Pengelolaan Dana Alokasi Khusus Tahun Anggaran 2007
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 39/PRT/M/2006 tentang Petunjuk Teknis
Penggunaan DAK Bidang Infrastruktur Tahun 2007
51 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 4/2007 tentang Petunjuk Teknis
Pelaksanaan DAK Bidang Pendidikan Tahun 2007
Peraturan Pemerintah No. 55/2005 tentang Dana Perimbangan
Peraturan Pemerintah No. 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
Silalahi, Pande Radja (2007) ‘Hambatan dari APBD.’ Suara Pembaruan 24 April
Simanjuntak, Robert A. (2005) ‘Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah.’ Dalam
Pasang Surut Otonomi Daerah; Sketsa Perjalanan 100 Tahun. Soetandyo
Wignosubroto et al. (eds.) Jakarta: Institute for Local Development dan Yayasan
Tifa: 214–325
Suara Pembaruan (1997) ‘Mengatasi Kesenjangan Antardaerah’ [online]
[2 Februari 1997]
Supari, Siti Fadillah (2006) Pidato Pembukaan pada Lokakarya tentang Potensi dan
Tantangan Pengembangan Desa Siaga dalam Rangka Menuju Indonesia Sehat.
Gedung Depkes, Jakarta, 24 November
Surat Edaran Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah No. 643/C/KU/2007
tentang Tata Cara Pelaksanaan DAK Bidang Pendidikan Tahun Anggaran 2007
Surat Edaran Direktur Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar No. 0123/C2/LL/2007
tentang Contoh Spesifikasi Teknis Meubelair, Alat Peraga Pendidikan, Buku
Pengayaan/Referensi untuk Perpustakaan, Sarana Multimedia, dan Alat
Perpustakaan, serta Penyusunan Laporan Kegiatan DAK Bidang Pendidikan
Tahun Anggaran 2007
Surat Keputusan Bupati Kupang No. 134/SKEP/HK/2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Program Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Kupang Tahun Anggaran 2007
Usman, Syaikhu et al. (1996) ‘Kajian Otonomi Daerah.’ Jakarta: Kerjasama antara
Lembaga Administrasi Negara dan Center for Policy and Implementation Studies
UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara
UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah
UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah
UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (revisi atas UU No. 22/1999)
UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah (revisi atas UU No. 25/1999)
World Bank (2003) ‘Kota-kota dalam Transisi: Tinjauan Sektor Perkotaan pada Era
Desentralisasi Di Indonesia.’ East Asia Urban Working Paper Series,
Dissemination Paper No. 7. Jakarta: World Bank
52 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
Lampiran 1. Rekapitulasi Jumlah Alokasi Dana Dekonsentrasi dan
Tugas Pembantuan berdasarkan RKL-KL TA 2006 (juta
rupiah)
Sumber: SIKD Departemen Keuangan (2006)
Keterangan: Data merupakan angka sementara yang bersumber dari Rencana Kerja Anggaran-
Kementerian dan Lembaga per Maret 2006.
No. Instansi Dekonsentrasi
Tugas
Pembantuan Total
1 Dalam Negeri 106.824 244.970 351.794
2 Pertanian 1.104.028 1.931.964 3.035.992
3 Perindustrian 72.094 0 72.094
4 Energi dan Sumber Daya Mineral 150.244 0 150.244
5 Pendidikan Nasional 17.719.711 0 17.719.711
6 Kesehatan 2.703.504 1.841.073 4.544.577
7 Agama 45.445 0 45.445
8 Tenaga Kerja dan Transmigrasi 473.832 563.943 1.037.775
9 Sosial 966.406 0 966.406
10 Kehutanan 136.636 0 136.636
11 Kelautan dan Perikanan 646.031 258.496 904.527
12 Pekerjaan Umum 87.261 437.034 524.295
13 Kementerian Negara Lingkungan Hidup 2.300 0 2.300
14 Kementerian Negara Koperasi dan UKM 210.000 0 210.000
15 Perpustakaan Nasional RI 9.625 3.500 13.125
16 Badan Koordinasi Penanaman Modal 5.000 0 5.000
17 Arsip Nasional RI 3.650 0 3.650
18 Departemen Perdagangan 76.315 0 76.315
19 Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga 112.000 0 112.000
20 Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias 113.361 21.019 134.380
Total 24.744.267 5.301.999 30.046.266
53 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
Lampiran 2. Rekapitulasi Jumlah Alokasi Dana Dekonsentrasi dan
Tugas Pembantuan Per Provinsi berdasarkan RKA-KL
TA 2006 (juta rupiah)
No. Provinsi Dekonsentrasi Tugas
Pembantuan Total
1 NAD 987.052 190.485 1.177.537
2 Sumatera Utara 1.477.193 216.043 1.693.236
3 Sumatera Barat 632.351 128.165 760.516
4 Riau 567.083 115.255 682.338
5 Kepulauan Riau 204.111 32.255 236.366
6 Jambi 443.771 121.649 565.420
7 Sumatera Selatan 760.094 194.421 954.515
8 Bangka Belitung 263.286 52.577 315.863
9 Bengkulu 370.330 138.769 509.099
10 Lampung 980.842 107.351 1.088.193
11 DKI Jakarta 638.321 10.732 649.053
12 Jawa Barat 2.707.889 232.042 2.939.931
13 Banten 815.305 85.110 900.415
14 Jawa Tengah 2.374.032 384.830 2.758.862
15 DI Yogyakarta 439.188 68.419 507.607
16 Jawa Timur 2.669.019 408.626 3.077.645
17 Kalimantan Barat 652.125 180.133 832.258
18 Kalimantan Tengah 446.108 186.462 632.570
19 Kalimantan Selatan 453.749 163.741 617.490
20 Kalimantan Timur 475.791 227.477 703.268
21 Sulawesi Utara 436.291 114.116 550.407
22 Gorontalo 237.718 85.664 323.382
23 Sulawesi Tengah 500.749 155.084 655.833
24 Sulawesi Selatan 890.926 312.362 1.203.288
25 Sulawesi Barat 172.390 92.960 265.350
26 Sulawesi Tenggara 390.648 219.548 610.196
27 Bali 455.985 82.157 538.142
28 Nusa Tenggara Barat 659.903 185.378 845.281
29 Nusa Tenggara Timur 773.674 250.868 1.024.542
30 Maluku 628.103 153.969 782.072
31 Maluku Utara 479.150 175.708 654.858
32 Papua 540.367 121.788 662.155
33 Irian Jaya Barat 221.120 107.855 328.975
Total 24.744.667 5.301.999 30.046.666
Sumber: SIKD Departemen Keuangan (2006)
Keterangan: Data merupakan angka sementara yang bersumber dari RKA-KL per Maret 2006.
54 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
Lampiran 3. Alokasi DAK Per Bidang di Kota Banda Aceh dan
Kabupaten Wonogiri, 2005–2007 (juta rupiah)
Bidang Kota Banda Aceh Kabupaten Wonogiri
2005 2006 2007 2005 2006 2007
Pendidikan 3.200 7.050 12.804 4.410 10.340 20.205
Kesehatan 1.560 4.780 6.293 2.000 6.580 10.660
Infrastruktur 2.080 6.270 9.070 4.930 10.090 14.594
(a) Jalan 2.080 5.050 6.873 2.910 6.380 7.798
(b) Irigasi 0 0 0 1.360 2.200 4.140
(c) Air bersih 0 1.220 2.197 660 1.510 2.656
Kelautan dan perikanan 890 1.690 2.176 900 1.700 2.489
Pertanian 0 2.540 3.027 790 3.400 5.598
Praspem 0 0 0 0 0 0
Lingkungan hidup 0 300 728 n.a. 300 760
Sumber: SIKD Depkeu (2007)
Keterangan: n.a. = data tidak tersedia
Lampiran 4.Alokasi DAK Per Bidang di Kabupaten Gorontalo dan
Kabupaten Kupang, 2005–2007 (juta rupiah)
Bidang Kabupaten Gorontalo Kabupaten Kupang
2005 2006 2007 2005 2006 2007
Pendidikan 4.190 7.270 14.415 4.210 7.310 15.950
Kesehatan 2.280 6.810 10.519 2.180 6.300 12.054
Infrastruktur 5.590 11.710 21.727 5.750 9.280 17.152
(a) Jalan 2.650 8.530 15.930 2.940 6.070 10.727
(b) Irigasi 2.260 1.370 2.667 2.050 1.560 3.108
(c) Air bersih 680 1.810 3.130 760 1.650 3.317
Kelautan dan perikanan 1.040 2.340 3.922 1.390 2.780 3.772
Pertanian 1.120 3.390 4.127 1.130 4.090 5.825
Praspem 0 0 0 4.000 3.000 2.680
Lingkungan hidup n.a. 310 834 n.a. 310 862
Sumber: SIKD Depkeu (2007)
Keterangan: n.a. = data tidak tersedia
55 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
Lampiran 5. Urutan Peringkat Hasil Penilaian Peserta FGD terhadap
Tahapan Penggunaan DAK
A. Kabupaten Kupang
No. Tahapan Penggunaan Peringkat
DAK Transparansi Akuntabilitas Partisipasi
Simpulan
Peringkat
1 Perencanaan 4 3 1 3
2 Penetapan lokasi proyek 3 2 3 2
3 Pencairan dana 1 1 4 1
4 Pelaksanaan proyek 2 4 2 4
5 Monitoring dan evaluasi 6 6 6 6
6 Koordinasi 5 5 5 5
B. Kabupaten Wonogiri
No. Tahapan Penggunaan Peringkat
DAK Transparansi Akuntabilitas Partisipasi
Simpulan
Peringkat
1 Perencanaan 4 5 3 4
2 Penetapan lokasi proyek 2 2 1 2
3 Pencairan dana 5 3 5 5
4 Pelaksanaan proyek 1 1 2 1
5 Monitoring dan evaluasi 6 6 6 6
6 Koordinasi 3 4 3 3
C. Kabupaten Gorontalo
No. Tahapan Penggunaan Peringkat
DAK Transparansi Akuntabilitas Partisipasi
Simpulan
Peringkat
1 Perencanaan 5 4 3 5
2 Penetapan lokasi proyek 3 3 5 3
3 Pencairan dana 1 1 1 1
4 Pelaksanaan proyek 2 2 2 2
5 Monitoring dan evaluasi 4 5 4 4
6 Koordinasi 6 6 6 6
D. Kota Banda Aceh
No. Tahapan Penggunaan Peringkat
DAK Transparansi Akuntabilitas Partisipasi
Simpulan
Peringkat
1 Perencanaan 6 6 6 6
2 Penetapan lokasi proyek 3 5 5 5
3 Pencairan dana 2 2 1 2
4 Pelaksanaan proyek 1 1 2 1
5 Monitoring dan evaluasi 5 3 4 3
6 Koordinasi 4 4 3 4
56 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
Lampiran 6. Skema Pengalokasian Dana Alokasi Khusus (Pasal 54 PP No. 55/2005)
Proses Penentuan Daerah Proses Penentuan Besaran Alokasi DAK
(Kriteria Umum) Ya (Kriteria Teknis)
Kemampuan Keuangan (IFN<1) Bobot Teknis (BT) = IT * IKK
(Kriteria Khusus)
Otsus Papua & Daerah Tertinggal Bobot DAK = f(BD,BT)
Ya
(Kriteria Khusus)
Karakteristik Wilayah (IKW) Daerah Layak Alokasi DAK
Indeks Fiskal dan Wilayah (IFW) =
f(IFN, IKW) Bobot Daerah (BD) = IFW * IKK
Tidak Ya Indeks Fiskal dan Wilayah (IFW) = f(IFN, IKW)
Tidak Layak IFW<1
Sumber: Petunjuk Teknis DAK Bidang Pendidikan Tahun 2007 (Permendiknas No. 4/2007)
57 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
Lampiran 7. Skema Mekanisme Penyaluran DAK Bidang Pendidikan,
2007
Sumber: Surat Edaran Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Depdiknas
58 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
Lampiran 8. Skema Mekanisme Penggunaan dan Pelaksanaan DAK
Departemen Keuangan Departemen Terkait
Gubernur u.p Kepala
Dinas Provinsi terkait
Bappenas & Depdagri
KPPN Departemen
Keuangan
Bupati/Walikota u.p
Dinas Kab/Kota
terkait
Pelaksana Proyek
=SRAA dan Juknis
=Jalur koordinasi
Kanwil Perbendaharaan
Departemen Keuangan
59 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
Lampiran 9. Skema Mekanisme Pelaporan DAK Bidang Pendidikan
Kepala Sekolah/
Madrasah
Bupati/Walikota u.p.
Kepala Dinas Pendidikan
Kantor Departemen Agama Kab/
Kota
Menteri Pendidikan Nasional
c.q. Dirjen Manajemen Pendidikan
Dasar dan Menengah
Menteri Keuangan u.p. Dirjen
Anggaran dan Perimbangan
Keuangan
Kepala Kanwil Perbendaharaan
Depkeu setempat
Gubernur u.p. Kepala Dinas
Pendidikan Provinsi
Direktur Agama dan Pendidikan
Bappenas
Dirjen Kelembagaan Agama
Islam Departemen Agama
:Jalur Pelaporan
: Jalur Koordinasi
60 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
Lampiran 10. Mekanisme Pelaporan DAK Bidang Kesehatan
Menteri Keuangan u.p. Dirjen
Anggaran dan Perimbangan
Keuangan
Kepala Kanwil Perbendaharaan
Depkeu setempat
Bupati/ Walikota u.p.
Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota
Gubernur u.p Kepala Dinas
Kesehatan Provinsi
Pelaksana Proyek
Menteri Kesehatan u.p
Sekretaris Jenderal Depkes
:Jalur Pelaporan
:Jalur Koordinasi
61 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
Lampiran 11. Mekanisme Penyaluran Dana DAK dari Pusat ke
Daerah
Ditjen Perbendaharaan
Departemen Keuangan
Kanwil Perbendaharaan
Departemen Keuangan
Pelaksana Proyek
Bupati/Walikota/
Dinas mengeluarkan
SPM
BANK
KPPN mengeluarkan
SP2D
62 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008
Lampiran 12. Foto Mesin Ketik “Royal-Special School Edition” yang
Menjadi Paket DAK 2006