Jumat, 19 Maret 2010

STANDARISASI TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN

1/36
STANDARISASI TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN
Mas Achmad Daniri*
Semenjak keruntuhan rezim diktatoriat Orde Baru, masyarakat semakin berani
untuk beraspirasi dan mengekspresikan tuntutannya terhadap perkembangan dunia
bisnis Indonesia. Masyarakat telah semakin kritis dan mampu melakukan kontrol sosial
terhadap dunia usaha. Hal ini menuntut para pelaku bisnis untuk menjalankan usahanya
dengan semakin bertanggungjawab. Pelaku bisnis tidak hanya dituntut untuk
memperoleh keuntungan dari lapangan usahanya, melainkan mereka juga diminta untuk
memberikan kontribusi positif terhadap lingkungan sosialnya.
Perubahan pada tingkat kesadaran masyarakat memunculkan kesadararan baru
tentang pentingnya melaksanakan apa yang kita kenal sebagai Corporate Social
Responsibility (CSR). Pemahaman itu memberikan pedoman bahwa korporasi bukan lagi
sebagai entitas yang hanya mementingkan dirinya sendiri saja sehingga ter-alienasi
atau mengasingkan diri dari lingkungan masyarakat di tempat mereka bekerja,
melainkan sebuah entitas usaha yang wajib melakukan adaptasi kultural dengan
lingkungan sosialnya.
CSR adalah basis teori tentang perlunya sebuah perusahaan membangun
hubungan harmonis dengan masyarakat tempatan. Secara teoretik, CSR dapat
didefinisikan sebagai tanggung jawab moral suatu perusahaan terhadap para strategicstakeholdersnya,
terutama komunitas atau masyarakat disekitar wilayah kerja dan
operasinya. CSR memandang perusahaan sebagai agen moral. Dengan atau tanpa
aturan hukum, sebuah perusahaan harus menjunjung tinggi moralitas. Parameter
keberhasilan suatu perusahaan dalam sudut pandang CSR adalah pengedepankan
prinsip moral dan etis, yakni menggapai suatu hasil terbaik, tanpa merugikan kelompok
masyarakat lainnya. Salah satu prinsip moral yang sering digunakan adalah goldenrules,
yang mengajarkan agar seseorang atau suatu pihak memperlakukan orang lain
sama seperti apa yang mereka ingin diperlakukan. Dengan begitu, perusahaan yang
bekerja dengan mengedepankan prinsip moral dan etis akan memberikan manfaat
terbesar bagi masyarakat.1
1 Sambutan Menteri Negara Lingkungan Hidup pada Seminar Sehari "A Promise of Gold Rating : Sustainable
CSR" Tanggal 23 Agustus 2006, diambil dari www.menlh.go.id
2/36
1. Pemahaman Tentang CSR
Menilik sejarahnya, gerakan CSR modern yang berkembang pesat selama dua
puluh tahun terakhir ini lahir akibat desakan organisasi-organisasi masyarakat sipil dan
jaringannya di tingkat global. Keprihatinan utama yang disuarakan adalah perilaku
korporasi, demi maksimalisasi laba, lazim mempraktekkan cara-cara yang tidak fair dan
tidak etis, dan dalam banyak kasus bahkan dapat dikategorikan sebagai kejahatan
korporasi. Beberapa raksasa korporasi transnasional sempat merasakan jatuhnya
reputasi mereka akibat kampanye dalam skala global tersebut.2
Hingga dekade 1980-90 an, wacana CSR terus berkembang. Munculnya KTT Bumi
di Rio pada 1992 menegaskan konsep sustainibility development (pembangunan
berkelanjutan) sebagai hal yang mesti diperhatikan, tak hanya oleh negara, tapi terlebih
oleh kalangan korporasi yang kekuatan kapitalnya makin menggurita. Tekanan KTT Rio,
terasa bermakna sewaktu James Collins dan Jerry Porras meluncurkan Built To Last;
Succesful Habits of Visionary Companies di tahun 1994. Lewat riset yang dilakukan,
mereka menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan yang terus hidup bukanlah
perusahaan yang hanya mencetak keuntungan semata.
Sebagaimana hasil Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) di Rio de
Janeiro Brazilia 1992, menyepakati perubahan paradigma pembangunan, dari
pertumbuhan ekonomi (economic growth) menjadi pembangunan yang berkelanjutan
(sustainable development). Dalam perspektif perusahaan, di mana keberlanjutan
dimaksud merupakan suatu program sebagai dampak dari usaha-usaha yang telah
dirintis, berdasarkan konsep kemitraan dan rekanan dari masing-masing stakeholder.
Ada lima elemen sehingga konsep keberlanjutan menjadi penting, di antaranya adalah ;
(1) ketersediaan dana, (2) misi lingkungan, (3) tanggung jawab sosial, (4)
terimplementasi dalam kebijakan (masyarakat, korporat, dan pemerintah), (5)
mempunyai nilai keuntungan/manfaat.
Pertemuan Yohannesburg tahun 2002 yang dihadiri para pemimpin dunia
memunculkan konsep social responsibility, yang mengiringi dua konsep sebelumnya
yaitu economic dan environment sustainability. Ketiga konsep ini menjadi dasar bagi
2 “Sumbangan Pemikiran BWI pada Penyusunan Peraturan Pemerintah Perihal Tanggung Jawab Sosial
Korporasi”, The Business Watch Indonesia, Desember 2007
3/36
perusahaan dalam melaksanakan tanggung jawab sosialnya (Corporate Social
Responsibility). Pertemuan penting UN Global Compact di Jenewa, Swiss, Kamis, 7 Juli
2007 yang dibuka Sekjen PBB mendapat perhatian media dari berbagai penjuru dunia.
Pertemuan itu bertujuan meminta perusahaan untuk menunjukkan tanggung jawab dan
perilaku bisnis yang sehat yang dikenal dengan corporate social responsibility.
Sesungguhnya substansi keberadaan CSR adalah dalam rangka memperkuat
keberlanjutan perusahaan itu sendiri dengan jalan membangun kerjasama antar
stakeholder yang difasilitasi perusahaan tersebut dengan menyusun program-program
pengembangan masyarakat sekitarnya. Atau dalam pengertian kemampuan perusahaan
untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya, komunitas dan stakeholder yang terkait
dengannya, baik lokal, nasional, maupun global. Karenanya pengembangan CSR ke
depan seyogianya mengacu pada konsep pembangunan yang berkelanjutan.
Prinsip keberlanjutan mengedepankan pertumbuhan, khususnya bagi masyarakat
miskin dalam mengelola lingkungannya dan kemampuan institusinya dalam mengelola
pembangunan, serta strateginya adalah kemampuan untuk mengintegrasikan dimensi
ekonomi, ekologi, dan sosial yang menghargai kemajemukan ekologi dan sosial budaya.
Kemudian dalam proses pengembangannya tiga stakeholder inti diharapkan mendukung
penuh, di antaranya adalah; perusahaan, pemerintah dan masyarakat.
Dalam implementasi program-program CSR, diharapkan ketiga elemen di atas
saling berinteraksi dan mendukung, karenanya dibutuhkan partisipasi aktif masingmasing
stakeholder agar dapat bersinergi, untuk mewujudkan dialog secara
komprehensif. Karena dengan partisipasi aktif para stakeholder diharapkan pengambilan
keputusan, menjalankan keputusan, dan pertanggungjawaban dari implementasi CSR
akan di emban secara bersama.
CSR sebagai sebuah gagasan, perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung
jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu nilai perusahaan (corporate value)
yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya (financial) saja. Tapi tanggung jawab
perusahaan harus berpijak pada triple bottom lines. Di sini bottom lines lainnya selain
finansial juga adalah sosial dan lingkungan. Karena kondisi keuangan saja tidak cukup
menjamin nilai perusahaan tumbuh secara berkelanjutan (sustainable). Keberlanjutan
perusahaan hanya akan terjamin apabila, perusahaan memperhatikan dimensi sosial dan
lingkungan hidup. Sudah menjadi fakta bagaimana resistensi masyarakat sekitar, di
4/36
berbagai tempat dan waktu muncul ke permukaan terhadap perusahaan yang dianggap
tidak memperhatikan aspek-aspek sosial, ekonomi dan lingkungan hidupnya.
Pada bulan September 2004, ISO (International Organization for Standardization)
sebagai induk organisasi standarisasi internasional, berinisiatif mengundang berbagai
pihak untuk membentuk tim (working group) yang membidani lahirnya panduan dan
standarisasi untuk tanggung jawab sosial yang diberi nama ISO 26000: Guidance
Standard on Social Responsibility.
Pengaturan untuk kegiatan ISO dalam tanggungjawab sosial terletak pada
pemahaman umum bahwa SR adalah sangat penting untuk kelanjutan suatu organisasi.
Pemahaman tersebut tercermin pada dua sidang, yaitu “Rio Earth Summit on the
Environment” tahun 1992 dan “World Summit on Sustainable Development (WSSD)”
tahun 2002 yang diselenggarakan di Afrika Selatan.
Pembentukan ISO 26000 ini diawali ketika pada tahun 2001 badan ISO meminta
ISO on Consumer Policy atau COPOLCO merundingkan penyusunan standar Corporate
Social Responsibility. Selanjutnya badan ISO tersebut mengadopsi laporan COPOLCO
mengenai pembentukan “Strategic Advisory Group on Social Responsibility pada tahun
2002. Pada bulan Juni 2004 diadakan pre-conference dan conference bagi negaranegara
berkembang, selanjutnya di tahun 2004 bulan Oktober, New York Item Proposal
atau NWIP diedarkan kepada seluruh negara anggota, kemudian dilakukan voting pada
bulan Januari 2005, dimana 29 negara menyatakan setuju, sedangkan 4 negara tidak.
Dalam hal ini terjadi perkembangan dalam penyusunan tersebut, dari CSR atau
Corporate Social Responsibility menjadi SR atau Social Responsibility saja. Perubahan
ini, menurut komite bayangan dari Indonesia, disebabkan karena pedoman ISO 26000
diperuntukan bukan hanya bagi korporasi tetapi bagi semua bentuk organisasi, baik
swasta maupun publik.
ISO 26000 menyediakan standar pedoman yang bersifat sukarela mengenai
tanggung tanggung jawab sosial suatu institusi yang mencakup semua sektor badan
publik ataupun badan privat baik di negara berkembang maupun negara maju. Dengan
Iso 26000 ini akan memberikan tambahan nilai terhadap aktivitas tanggung jawab sosial
yang berkembang saat ini dengan cara: 1) mengembangkan suatu konsensus terhadap
pengertian tanggung jawab sosial dan isunya; 2) menyediakan pedoman tentang
penterjemahan prinsip-prinsip menjadi kegiatan-kegiatan yang efektif; dan 3) memilah
5/36
praktek-praktek terbaik yang sudah berkembang dan disebarluaskan untuk kebaikan
komunitas atau masyarakat internasional.
Apabila hendak menganut pemahaman yang digunakan oleh para ahli yang
menggodok ISO 26000 Guidance Standard on Social responsibility yang secara konsisten
mengembangkan tanggung jawab sosial maka masalah SR akan mencakup 7 isu pokok
yaitu:
1. Pengembangan Masyarakat
2. Konsumen
3. Praktek Kegiatan Institusi yang Sehat
4. Lingkungan
5. Ketenagakerjaan
6. Hak asasi manusia
7. Organizational Governance (governance organisasi)
ISO 26000 menerjemahkan tanggung jawab sosial sebagai tanggung jawab suatu
organisasi atas dampak dari keputusan dan aktivitasnya terhadap masyarakat dan
lingkungan, melalui perilaku yang transparan dan etis, yang:
· Konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat;
· Memperhatikan kepentingan dari para stakeholder;
· Sesuai hukum yang berlaku dan konsisten dengan norma-norma internasional;
· Terintegrasi di seluruh aktivitas organisasi, dalam pengertian ini meliputi baik
kegiatan, produk maupun jasa.
Berdasarkan konsep ISO 26000, penerapan sosial responsibility hendaknya
terintegrasi di seluruh aktivitas organisasi yang mencakup 7 isu pokok diatas. Dengan
demikian jika suatu perusahaan hanya memperhatikan isu tertentu saja, misalnya suatu
perusahaan sangat peduli terhadap isu lingkungan, namun perusahaan tersebut masih
mengiklankan penerimaan pegawai dengan menyebutkan secara khusus kebutuhan
pegawai sesuai dengan gender tertentu, maka sesuai dengan konsep ISO 26000
perusahaan tersebut sesungguhnya belum melaksanakan tanggung jawab sosialnya
secara utuh. Contoh lain, misalnya suatu perusahaan memberikan kepedulian terhadap
6/36
pemasok perusahaan yang tergolong industri kecil dengan mengeluarkan kebijakan
pembayaran transaksi yang lebih cepat kepada pemasok UKM. Secara logika produk
atau jasa tertentu yang dihasilkan UKM pada skala ekonomi tertentu akan lebih efisien
jika dilaksanakan oleh UKM. Namun UKM biasanya tidak memiliki arus kas yang kuat dan
jaminan yang memadai dalam melakukan pinjaman ke bank, sehingga jika perusahaan
membantu pemasok UKM tersebut, maka bisa dikatakan perusahaan tersebut telah
melaksanakan bagian dari tanggung jawab sosialnya.
Prinsip-prinsip dasar tanggung jawab sosial yang menjadi dasar bagi
pelaksanaan yang menjiwai atau menjadi informasi dalam pembuatan keputusan dan
kegiatan tanggung jawab sosial menurut ISO 26000 meliputi:
· Kepatuhan kepada hukum
· Menghormati instrumen/badan-badan internasional
· Menghormati stakeholders dan kepentingannya
· Akuntabilitas
· Transparansi
· Perilaku yang beretika
· Melakukan tindakan pencegahan
· Menghormati dasar-dasar hak asasi manusia
Ada empat agenda pokok yang menjadi program kerja tim itu hingga tahun
2008, diantaranya adalah menyiapkan draf kerja tim hingga tahun 2006, penyusunan
draf ISO 26000 hingga Desember 2007, finalisasi draf akhir ISO 26000 diperkirakan
pada bulan September 2008 dan seluruh tugas tersebut diperkirakan rampung pada
tahun 2009.
Pada pertemuan tim yang ketiga tanggal 15-19 Mei 2006 yang dihadiri 320 orang
dari 55 negara dan 26 organisasi internasional itu, telah disepakati bahwa ISO 26000 ini
hanya memuat panduan (guidelines) saja dan bukan pemenuhan terhadap persyaratan
karena ISO 26000 ini memang tidak dirancang sebagai standar sistem manajemen dan
tidak digunakan sebagai standar sertifikasi sebagaimana ISO-ISO lainnya.
Adanya ketidakseragaman dalam penerapan CSR diberbagai negara menimbulkan
adanya kecenderungan yang berbeda dalam proses pelaksanaan CSR itu sendiri di
7/36
masyarakat. Oleh karena itu diperlukan suatu pedoman umum dalam penerapan CSR di
manca negara. Dengan disusunnya ISO 26000 sebagai panduan (guideline) atau
dijadikan rujukan utama dalam pembuatan pedoman SR yang berlaku umum, sekaligus
menjawab tantangan kebutuhan masyarakat global termasuk Indonesia.
2. Praktek-Praktek CSR
Penerapan CSR di perusahaan akan menciptakan iklim saling percaya di dalamnya,
yang akan menaikkan motivasi dan komitmen karyawan. Pihak konsumen, investor,
pemasok, dan stakeholders yang lain juga telah terbukti lebih mendukung perusahaan
yang dinilai bertanggung jawab sosial, sehingga meningkatkan peluang pasar dan
keunggulan kompetitifnya. Dengan segala kelebihan itu, perusahaan yang menerapkan
CSR akan menunjukkan kinerja yang lebih baik serta keuntungan dan pertumbuhan
yang meningkat.
Memang saat ini belum tersedia formula yang dapat memperlihatkan hubungan
praktik CSR terhadap keuntungan perusahaan sehingga banyak kalangan dunia usaha
yang bersikap skeptis dan menganggap CSR tidak memberi dampak atas prestasi usaha,
karena mereka memandang bahwa CSR hanya merupakan komponen biaya yang
mengurangi keuntungan. Praktek CSR akan berdampak positif jika dipandang sebagai
investasi “jangka panjang”. Karena dengan melakukan praktek CSR yang berkelanjutan,
perusahaan akan mendapat “tempat di hati dan ijin operasional” dari masyarakat,
bahkan mampu memberikan kontribusi bagi pembangunan berkelanjutan.3
Januari 2005, dalam Forum Ekonomi Dunia di Davos, melalui Global Governance
Initiative, kalangan bisnis diajak memikirkan soal kemiskinan melalui praktik CSR. Pada
tanggal 8 – 9 September 2005 bertempat di Jakarta, Indonesia menjadi tuan rumah
AFCSR (Asian Forum for Corporate Social Responsibility) yang memaparkan bagaimana
CSR harus dipraktikkan oleh bisnis di Asia. Terakhir, World Business Council for
Sustainable Development (WBCSD) menyatakan dalam sebuah side-event Pertemuan
PBB New York (14-16/9), bahwa praktik CSR adalah wujud komitmen dunia bisnis untuk
membantu PBB merealisasikan target Millennium Development Goals (MDGs).
Praktek CSR di Manca Negara
3 Chrysanti Hasibuan: “Sekali Lagi, CSR”, 10 November 2006, diakses pada www.swa.co.id
8/36
Di tingkat internasional, ada banyak prinsip yang mendukung praktik CSR di
banyak sektor. Misalnya Equator Principles yang diadopsi oleh banyak lembaga
keuangan internasional. Untuk menunjukkan bahwa bisnis mereka bertanggung jawab,
di level internasional perusahaan sebenarnya bisa menerapkan berbagai standard CSR
seperti :
· AccountAbility’s (AA1000) standard, yang berdasar pada prinsip “Triple Bottom
Line” (Profit, People, Planet) yang digagas oleh John Elkington
· Global Reporting Initiative’s (GRI) – panduan pelaporan perusahaan untuk
mendukung pembangunan berkesinambungan yang digagas oleh PBB lewat
Coalition for Environmentally Responsible Economies (CERES) dan UNEP pada
tahun 1997
· Social Accountability International’s SA8000 standard
· ISO 14000 environmental management standard
· Kemudian, ISO 26000.4
Kesadaran tentang pentingnya mengimplementasikan CSR ini menjadi tren global
seiring dengan semakin maraknya kepedulian masyarakat global terhadap produkproduk
yang ramah lingkungan dan diproduksi dengan memperhatikan kaidah-kaidah
sosial dan prinsip-prinsip hak azasi manusia (HAM). Bank-bank di Eropa menerapkan
kebijakan dalam pemberian pinjaman hanya kepada perusahaan yang
mengimplementasikan CSR dengan baik. Sebagai contoh, bank-bank Eropa hanya
memberikan pinjaman pada perusahaan-perusahaan perkebunan di Asia apabila ada
jaminan dari perusahaan tersebut, yakni ketika membuka lahan perkebunan tidak
dilakukan dengan membakar hutan.
Tren global lainnya dalam pelaksanaan CSR di bidang pasar modal adalah
penerapan indeks yang memasukkan kategori saham-saham perusahaan yang telah
mempraktikkan CSR. Sebagai contoh, New York Stock Exchange memiliki Dow Jones
Sustainability Index (DJSI) bagi saham-saham perusahaan yang dikategorikan memiliki
nilai corporate sustainability dengan salah satu kriterianya adalah praktik CSR. Begitu
pula London Stock Exchange yang memiliki Socially Responsible Investment (SRI) Index
dan Financial Times Stock Exchange (FTSE) yang memiliki FTSE4Good sejak 2001.
4 Yanuar Nugroho, “Commodum Totti Topulo: The Benefit is for the Whole Society”, 20 Maret
2007, diakses dari www.audentis.wordpress.com
9/36
Inisiatif ini mulai diikuti oleh otoritas bursa saham di Asia, seperti di Hanseng Stock
Exchange dan Singapore Stock Exchange. Konsekuensi dari adanya indeks-indeks
tersebut memacu investor global seperti perusahaan dana pensiun dan asuransi yang
hanya akan menanamkan dananya di perusahaan-perusahaan yang sudah masuk dalam
indeks.
Menghadapi tren global dan resistensi masyarakat sekitar perusahaan, maka sudah
saatnya setiap perusahaan memandang serius pengaruh dimensi sosial, ekonomi dan
lingkungan dari setiap aktivitas bisnisnya, serta berusaha membuat laporan setiap
tahunnya kepada stakeholdernya. Laporan bersifat non financial yang dapat digunakan
sebagai acuan oleh perusahaan dalam melihat dimensi sosial, ekonomi dan
lingkungannya.
Di Uni Eropa pada tanggal 13 Maret 2007, Parlemen Uni Eropa mengeluarkan
resolusi berjudul “Corporate Social Responsibility: A new partnership” yang mendesak
Komisi Eropa untuk meningkatkan kewajiban yang terkait dengan persoalan
akuntabilitas perusahaan seperti tugas direktur (directors’ duties), kewajiban langsung
luar negeri (foreign direct liabilities) dan pelaporan kinerja sosial dan lingkungan
perusahaan (environmental and social reporting).
Banyak pihak menyambut gembira perkembangan ini. Semakin lama semakin
disadari bahwa walaupun perusahaan (sektor bisnis) selama ini sudah berkontribusi
sangat positif terhadap pembangunan dunia, pada saat yang sama perusahaan harus
diminta semakin bertanggung jawab. Karena, upaya memupuk laba cenderung (meski
tidak selalu) mengabaikan tanggung jawab sosial.
Di Inggris, sudah lama perusahaan diikat dengan kode etik usaha. Dan karena
sudah ada banyak aturan dan undang-undang yang mengatur praktik bisnis di Inggris,
maka tidak diperlukan UU khusus CSR. Sekedar diketahui, perusahaan di Inggris ini
tidak lepas dari pengamatan publik (masyarakat dan negara) karena harus transparan
dalam praktik bisnisnya. Publik bisa protes terbuka ke perusahaan jika perusahaan
merugikan masyarakat/konsumen/buruh/lingkungan. Melihat perkembangan ini, tahun
lalu, disahkan Companies Act 2006 yang mewajibkan perusahaan yang sudah tercatat di
bursa efek untuk melaporkan bukan saja kinerja perusahaan (kinerja ekonomi dan
financial) melainkan kinerja sosial dan lingkungan. Laporan ini harus terbuka untuk
10/36
diakses publik dan dipertanyakan. Dengan demikian, perusahaan didesak agar semakin
bertanggung jawab.
Mac Oliver – EA Marshal (Company Law Handbook Series, 1991) berpendapat,
perusahaan Amerika yang beroperasi di luar negeri diharuskan melaksanakan Sullivan
Principal dalam rangka melaksanakan Corporate Social Responsibilty, yaitu:
· Tidak ada pemisahan ras (non separation of races) dalam makan, bantuan
hidup dan fasilitas kerja.
· Sama dan adil dalam melaksanakan pekerjaan (equal and fair employment
process).
· Pembayaran upah yang sama untuk pekerjaan yang sebanding (equal payment
compansable work).
· Program training untuk mempersiapkan kulit hitam dan non kulit putih lain
sebagai supervisi, administrasi , klerk, teknisi dalam jumlah yang substansial.
· Memperbanyak kulit hitam dan non kulit putih lain dalam profesi manajemen
dan supervisi.
· Memperbaiki tempat hidup pekerja di luar lingkungan kerja seperti perumahan,
transportasi, kesehatan, sekolah dan rekreasi.5
Implementasi CSR di beberapa negara bisa dijadikan referensi untuk menjadi
contoh penerapan CSR. Australia, Kanada, Perancis, Jerman, Belanda, Inggris, dan
Amerika Serikat telah mengadopsi code of conduct CSR yang meliputi aspek lingkungan
hidup, hubungan industrial, gender, korupsi, dan hak asasi manusia (HAM). Berbasis
pada aspek itu, mereka mengembangkan regulasi guna mengatur CSR. Australia,
misalnya, mewajibkan perusahaan membuat laporan tahunan CSR dan mengatur
standardisasi lingkungan hidup, hubungan industrial, dan HAM. Sementara itu, Kanada
mengatur CSR dalam aspek kesehatan, hubungan industrial, proteksi lingkungan, dan
penyelesaian masalah sosial.
Di beberapa negara dibutuhkan laporan pelaksanaan CSR, walaupun sulit diperoleh
kesepakatan atas ukuran yang digunakan untuk mengukur kinerja perusahaan dalam
5 “Sinopsis UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas”, M. Yahya Harahap, Makalah Seminar
disampaikan di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta, 20 November 2007, dikutip dari MC Oliver – EA
Marshal, "Company Law Handbook Series”, 1991, Hal.321
11/36
aspek sosial. Sementara aspek lingkungan--apalagi aspek ekonomi--memang jauh lebih
mudah diukur. Banyak perusahaan sekarang menggunakan audit eksternal guna
memastikan kebenaran laporan tahunan perseroan yang mencakup kontribusi
perusahaan dalam pembangunan berkelanjutan, biasanya diberi nama laporan CSR atau
laporan keberlanjutan. Akan tetapi laporan tersebut sangat luas formatnya, gayanya dan
metodologi evaluasi yang digunakan (walaupun dalam suatu industri yang sejenis).
Banyak kritik mengatakan bahwa laporan ini hanyalah sekedar "pemanis bibir" (suatu
basa-basi), misalnya saja pada kasus laporan tahunan CSR dari perusahaan Enron dan
juga perusahaan-perusahaan rokok. Namun, dengan semakin berkembangnya konsep
CSR dan metode verifikasi laporannya, kecenderungan yang terjadi sekarang adalah
peningkatan kebenaran isi laporan. Bagaimanapun, laporan CSR atau laporan
keberlanjutan merupakan upaya untuk meningkatkan akuntabilitas perusahaan di mata
para pemangku kepentingannya.
Praktek CSR di Indonesia
Salah satu bentuk dari tanggung jawab sosial perusahaan yang sering diterapkan
di Indonesia adalah community development. Perusahaan yang mengedepankan konsep
ini akan lebih menekankan pembangunan sosial dan pembangunan kapasitas
masyarakat sehingga akan menggali potensi masyarakat lokal yang menjadi modal
sosial perusahaan untuk maju dan berkembang. Selain dapat menciptakan peluangpeluang
sosial-ekonomi masyarakat, menyerap tenaga kerja dengan kualifikasi yang
diinginkan, cara ini juga dapat membangun citra sebagai perusahaan yang ramah dan
peduli lingkungan. Selain itu, akan tumbuh rasa percaya dari masyarakat. Rasa memiliki
perlahan-lahan muncul dari masyarakat sehingga masyarakat merasakan bahwa
kehadiran perusahaan di daerah mereka akan berguna dan bermanfaat.
Kepedulian kepada masyarakat sekitar komunitas dapat diartikan sangat luas,
namun secara singkat dapat dimengerti sebagai peningkatan partisipasi dan posisi
organisasi di dalam sebuah komunitas melalui berbagai upaya kemaslahatan bersama
bagi organisasi dan komunitas. CSR adalah bukan hanya sekedar kegiatan amal, di
mana CSR mengharuskan suatu perusahaan dalam pengambilan keputusannya agar
dengan sungguh-sungguh memperhitungkan akibatnya terhadap seluruh pemangku
kepentingan(stakeholder) perusahaan, termasuk lingkungan hidup. Hal ini
mengharuskan perusahaan untuk membuat keseimbangan antara kepentingan beragam
12/36
pemangku kepentingan eksternal dengan kepentingan pemegang saham, yang
merupakan salah satu pemangku kepentingan internal.
Setidaknya ada tiga alasan penting mengapa kalangan dunia usaha mesti
merespon dan mengembangkan isu tanggung jawab sosial sejalan dengan operasi
usahanya. Pertama, perusahaan adalah bagian dari masyarakat dan oleh karenanya
wajar bila perusahaan memperhatikan kepentingan masyarakat. Kedua, kalangan bisnis
dan masyarakat sebaiknya memiliki hubungan yang bersifat simbiosis mutualisme.
Ketiga, kegiatan tanggung jawab sosial merupakan salah satu cara untuk meredam atau
bahkan menghindari konflik sosial.
Program yang dilakukan oleh suatu perusahaan dalam kaitannya dengan tanggung
jawab sosial di Indonesia dapat digolongkan dalam tiga bentuk, yaitu:
a. Public Relations
Usaha untuk menanamkan persepsi positif kepada komunitas tentang kegiatan
yang dilakukan oleh perusahaan.
b. Strategi defensif
Usaha yang dilakukan perusahaan guna menangkis anggapan negatif komunitas
yang sudah tertanam terhadap kegiatan perusahaan, dan biasanya untuk
melawan ‘serangan’ negatif dari anggapan komunitas. Usaha CSR yang dilakukan
adalah untuk merubah anggapan yang berkembang sebelumnya dengan
menggantinya dengan yang baru yang bersifat positif.
c. Kegiatan yang berasal dari visi perusahaan
Melakukan program untuk kebutuhan komunitas sekitar perusahaan atau
kegiatan perusahaan yang berbeda dari hasil dari perusahaan itu sendiri.
Program pengembangan masyarakat di Indonesia dapat dibagi dalam tiga kategori
yaitu:
a. Community Relation
Yaitu kegiatan-kegiatan yang menyangkut pengembangan kesepahaman melalui
komunikasi dan informasi kepada para pihak yang terkait. Dalam kategori ini,
program lebih cenderung mengarah pada bentuk-bentuk kedermawanan
(charity) perusahaan.
13/36
b. Community Services
Merupakan pelayanan perusahaan untuk memenuhi kepentingan masyarakat
atau kepentingan umum. Inti dari kategori ini adalah memberikan kebutuhan
yang ada di masyarakat dan pemecahan masalah dilakukan oleh masyarakat
sendiri sedangkan perusahaan hanyalah sebagai fasilitator dari pemecahan
masalah tersebut.
c. Community Empowering
Adalah program-program yang berkaitan dengan memberikan akses yang lebih
luas kepada masyarakat untuk menunjang kemandiriannya, seperti pembentukan
usaha industri kecil lainnya yang secara alami anggota masyarakat sudah
mempunyai pranata pendukungnya dan perusahaan memberikan akses kepada
pranata sosial yang ada tersebut agar dapat berlanjut. Dalam kategori ini,
sasaran utama adalah kemandirian komunitas.
Dari sisi masyarakat, praktik CSR yang baik akan meningkatkan nilai-tambah
adanya perusahaan di suatu daerah karena akan menyerap tenaga kerja, meningkatkan
kualitas sosial di daerah tersebut. Sesungguhnya substansi keberadaan CSR adalah
dalam rangka memperkuat keberlanjutan perusahaan itu sendiri dengan jalan
membangun kerja sama antar stakeholder yang difasilitasi perusahaan tersebut dengan
menyusun program-program pengembangan masyarakat sekitarnya.
Pada saat ini di Indonesia, praktek CSR belum menjadi perilaku yang umum,
namun dalam abad informasi dan teknologi serta adanya desakan globalisasi, maka
tuntutan terhadap perusahaan untuk menjalankan CSR semakin besar. Tidak menutup
kemungkinan bahwa CSR menjadi kewajiban baru standar bisnis yang harus dipenuhi
seperti layaknya standar ISO. Dan diperkirakan pada akhir tahun 2009 mendatang akan
diluncurkan ISO 26000 on Social Responsibility, sehingga tuntutan dunia usaha menjadi
semakin jelas akan pentingnya program CSR dijalankan oleh perusahaan apabila
menginginkan keberlanjutan dari perusahaan tersebut.
CSR akan menjadi strategi bisnis yang inheren dalam perusahaan untuk menjaga
atau meningkatkan daya saing melalui reputasi dan kesetiaan merek produk (loyalitas)
atau citra perusahaan. Kedua hal tersebut akan menjadi keunggulan kompetitif
perusahaan yang sulit untuk ditiru oleh para pesaing. Di lain pihak, adanya
14/36
pertumbuhan keinginan dari konsumen untuk membeli produk berdasarkan kriteriakriteria
berbasis nilai-nilai dan etika akan merubah perilaku konsumen di masa
mendatang. Implementasi kebijakan CSR adalah suatu proses yang terus menerus dan
berkelanjutan. Dengan demikian akan tercipta satu ekosistem yang menguntungkan
semua pihak (true win win situation) - konsumen mendapatkan produk unggul yang
ramah lingkungan, produsen pun mendapatkan profit yang sesuai yang pada akhirnya
akan dikembalikan ke tangan masyarakat secara tidak langsung.
Pelaksanaan CSR di Indonesia sangat tergantung pada pimpinan puncak korporasi.
Artinya, kebijakan CSR tidak selalu dijamin selaras dengan visi dan misi korporasi. Jika
pimpinan perusahaan memiliki kesadaran moral yang tinggi, besar kemungkinan
korporasi tersebut menerapkan kebijakan CSR yang benar. Sebaliknya, jika orientasi
pimpinannya hanya berkiblat pada kepentingan kepuasan pemegang saham
(produktivitas tinggi, profit besar, nilai saham tinggi) serta pencapaian prestasi pribadi,
boleh jadi kebijakan CSR hanya sekadar kosmetik.
Sifat CSR yang sukarela, absennya produk hukum yang menunjang dan lemahnya
penegakan hukum telah menjadikan Indonesia sebagai negara ideal bagi korporasi yang
memang memperlakukan CSR sebagai kosmetik. Yang penting, Laporan Sosial
Tahunannya tampil mengkilap, lengkap dengan tampilan foto aktivitas sosial serta dana
program pembangunan komunitas yang telah direalisasi. Sekali lagi untuk mencapai
keberhasilan dalam melakukan program CSR, diperlukannya komitmen yang kuat,
partisipasi aktif, serta ketulusan dari semua pihak yang peduli terhadap programprogram
CSR. Program CSR menjadi begitu penting karena kewajiban manusia untuk
bertanggung jawab atas keutuhan kondisi-kondisi kehidupan umat manusia di masa
datang.
3. Kebutuhan akan Standarisasi CSR
Secara singkat CSR dapat diartikan sebagai tanggung jawab sosial perusahaan
yang bersifat sukarela. CSR adalah konsep yang mendorong organisasi untuk memiliki
tanggung jawab sosial secara seimbang kepada pelanggan, karyawan, masyarakat,
lingkungan, dan seluruh stakeholder. Sedangkan program charity dan community
development merupakan bagian dari pelaksanaan CSR.
15/36
Dalam praktiknya, memang charity dan community development dikenal lebih
dahulu terkait interaksi perusahaan dengan lingkungan sekitarnya. Serta, kebutuhan
perusahaan untuk lebih dapat diterima masyarakat. Sementara itu, lebih jauh CSR
dapat dimaknai sebagai komitmen dalam menjalankan bisnis dengan memperhatikan
aspek sosial, norma-norma dan etika yang berlaku, bukan saja pada lingkungan sekitar,
tapi juga pada lingkup internal dan eksternal yang lebih luas. Tidak hanya itu, CSR
dalam jangka panjang memiliki kontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan dan meningkatnya kesejahteraan.6
Memang ada pendekatan yang berbeda-beda terhadap ketentuan dan pelaksanaan
CSR. Dari sisi pendekatan, misalnya, ada community based development project yang
lebih mengedepankan pembangunan keterampilan dan kemampuan kelompok
masyarakat. Ada pula yang fokus pada penyediaan kebutuhan sarana. Dan, yang paling
umum adalah memberikan bantuan sosial secara langsung maupun tidak langsung guna
membantu perbaikan kesejahteraan masyarakat, baik karena eksternalitas negatif yang
ditimbulkan sendiri maupun yang bertujuan sebagai sumbangan sosial semata.
Trend di Dunia
Dua dekade terakhir ditandai dengan dinamika ekonomi yang memberi peran yang
besar terhadap pasar saham. Dinamika ini, terutama terjadi di Amerika Serikat dan
Inggris serta diikuti berbagai negara lainnya, ditandai dengan makin banyak korporasi
yang memperoleh modal dari pasar saham. Turun naiknya harga saham mencerminkan
nilai dari sebuah perusahaan. Makin tinggi harga saham, makin tinggi market value dari
perusahaan tersebut. Tidak heran, manajemen perusahaan lebih banyak mencurahkan
perhatian pada usaha untuk memaksimalkan nilai saham yang dibeli oleh investor atau
shareholder melalui pasar saham tadi. Strategi bisnis perusahaan, oleh karena itu,
seringkali lebih mencerminkan dimensi jangka pendek dan terkadang mengabaikan
dampak sosial dan lingkungan demi mewujudkan tujuan memaksimalkan shareholder
value tersebut.7
Akibatnya, muncul banyak debat tentang peran dan sepak terjang korporasi
terutama dikaitkan dengan masalah kesenjangan global diatas. Debat ini berujung pada
tuntutan bahwa perusahaan tidak mungkin menghindar dari tanggung jawab sosial
6 “CSR Bukan Untuk Laba-Rugi Semata”, Majalah Marketing Edisi 11/2007
7 Riawandi Yakub, “CSR: Perilaku Korporasi dan Peran Civil Society”, 14 September 2004.
16/36
karena kegiatan mereka memiliki dampak tidak hanya dari dimensi ekonomi tetapi juga
sosial dan lingkungan.
Tuntutan ini tidak hanya muncul dari traditional stakeholder yang memiliki
keterkaitan bisnis secara langsung – seperti supplier, customer, competitor maupun
regulator, tetapi yang lebih penting lagi dari stakeholder lainnya yang
merepresentasikan civil society seperti LSM, kelompok masyarakat lokal, serta aktivis
lingkungan dan HAM. Stakeholder ini merasa prihatin dengan pengaruh korporasi yang
makin besar dan luas. Malah dalam banyak kasus, pengaruh ini telah memasuki wilayah
politik turut mempengaruhi kebijakan pemerintah dimana korporasi tersebut beroperasi.
Pengaruh politik mereka ini seringkali membuat pemerintah melupakan tanggung jawab
dasarnya. Pengaruh ini bahkan tercermin di dalam pemilihan umum dimana korporasi
ikut membiayai kampanye politik. Tidak heran bila praktek ini telah menggeser kontrak
sosial dengan kontrak dengan perusahaan yang menyediakan dana kampanye dan,
pada gilirannya, mendiktekan agenda kepada pemerintah yang berkuasa. Realitas ini
terjadi di banyak negara di dunia baik di negeri maju maupun berkembang.
Perkembangan CSR di mancanegara sudah demikian sangat populer. Di beberapa
negara bahkan, CSR digunakan sebagai salah satu indikator penilaian kinerja sebuah
perusahaan dengan dicantumkannya informasi CSR di catatan laporan keuangan
perusahaan yang bersangkutan. Para pendukung gagasan CSR, menggunakan teori
kontrak sosial dan stakeholder approach untuk mendukung argumen mereka. Di bawah
teori kontrak sosial, perusahaan ada karena ada persetujuan dari masyarakat
(corporations exist, then, only by social permission). Konsekuensinya, perusahaan harus
melibatkan masyarakat dalam melaksanakan operasinya bisnisnya.
Sementara stakeholder approach berpandangan bahwa keberadaan perusahaan
bukan semata-mata bertujuan untuk melayani kepentingan pemegang saham
(stockholders) melainkan juga melayani kepentingan pihak-pihak lainnya (stakeholders)
termasuk masyarakat di dalamnya. Dengan demikian cukup jelas bahwa masyarakat
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perusahaan dan begitu juga sebaliknya.
Sehingga perlu adanya hubungan yang saling menguntungkan di antara kedua belah
pihak.
Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Hill et. al (2007) memberikan gambaran
yang mendukung pelaksanaan CSR sebagian bagian dari strategi bisnis perusahaan. Hill
et. al melakukan penelitian terhadap beberapa perusahaan di Amerika Serikat, Eropa
17/36
dan Asia yang melakukan praktik CSR lalu menghubungkannya dengan value
perusahaan yang diukur dari nilai saham perusahaan-perusahaan tersebut.
Penelitian mereka menemukan bahwa setelah mengontrol variabel-varaibel lainnya
perusahan-perusahaan yang melakukan CSR, pada jangka pendek (3-5 tahun) tidak
mengalami kenaikan nilai saham yang signifikan, namun, dalam jangka panjang (10
tahun), perusahaan-perusahaan yang berkomitmen terhadap CSR tersebut, mengalami
kenaikan nilai saham yang sangat signifikan dibandingkan dengan perusahaanperusahaan
yang tidak melakukan praktik CSR.
Dari penelitian tersebut bisa dilihat bahwa CSR dalam jangka pendek memang
tidak memberikan value yang memadai bagi pemegang saham, karena biaya CSR,
malahan mengurangi keuntungan yang bisa dicapai perusahaan. Namun demikian,
dalam jangka panjang, perusahaan yang memiliki komitmen kuat di CSR, ternyata
kinerjanya melampaui perusahan-perusahaan yang tidak memiliki komitmen terhadap
CSR. Pendeknya, CSR dapat menciptakan value bagi perusahaan, terutama dalam
jangka panjang.
Yang dapat dilakukan adalah mencoba untuk mengenali kerangka global dan
mencari pendekatan mengenai prinsip-prinsip dasar yang dapat menjadi pedoman untuk
penerapan CSR secara umum. Beberapa diantaranya adalah Menetapkan visi;
Memformulasikan misi; Menetapkan tujuan; Menetapkan kebijakan; Merancang sruktur
organisasi; Menyediakan SDM; Merancang program operasional; Membagi wilayah;
Mengelola dana
Standardisasi Pelaksanaan CSR di Indonesia
Pada tahun 1990an para aktivis pembangunan melihat persoalan kemiskinan
sebagai persoalan ketimpangan dalam sistem politik. Menurut pandangan mereka,
kelompok-kelompok seperti komunitas lokal, masyarakat adat, dan buruh tidak
mempunyai kesempatan untuk menentukan pembangunan macam apa yang
dibutuhkan. Akibatnya, demikian menurut pandangan mereka, pembangunan sering
tidak sesuai dengan kebutuhan kelompok masyarakat tersebut dan sering timpang
dalam pembagian keuntungan dan resiko.
Jalan keluar yang diusulkan para aktivis pembangunan adalah merubah skema
pembangunan menjadi memberi kemungkinan berbagai kelompok melindungi
18/36
kepentingannya. Kata kuncinya transparansi, partisipasi, dan penguatan kelompok
lemah. Pemerintah dan perusahaan dituntut membuat mekanisme untuk berkomunikasi
dengan lebih banyak pihak dan memperhatikan kepentingan-kepentingan mereka.
Terakhir, harus ada upaya penguatan kelompok masyarakat agar dapat berpartisipasi
dengan benar. Ketiga kata kunci diatas pada akhirnya menjadi semacam prinsip yang
dianggap seharusnya ada bagi organisasi apapun dalam masyarakat.
CSR secara umum merupakan kontribusi menyeluruh dari dunia usaha terhadap
pembangunan berkelanjutan, dengan mempertimbangkan dampak ekonomi, sosial dan
lingkungan dari kegiatannya.
Sebagai salah satu pendekatan sukarela yang berada pada tingkat beyond
compliance, penerapan CSR saat ini berkembang pesat termasuk di Indonesia, sebagai
respon dunia usaha yang melihat aspek lingkungan dan sosial sebagai peluang untuk
meningkatkan daya saing serta sebagai bagian dari pengelolaan risiko, menuju
sustainability (keberlanjutan) dari kegiatan usahanya.
Penerapan kegiatan CSR di Indonesia baru dimulai pada awal tahun 2000,
walaupun kegiatan dengan esensi dasar yang sama telah berjalan sejak tahun 1970-an,
dengan tingkat yang bervariasi, mulai dari yang paling sederhana seperti donasi sampai
kepada yang komprehensif seperti terintegrasi ke dalam strategi perusahaan dalam
mengoperasikan usahanya. Belakangan melalui Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas, Pemerintah memasukkan pengaturan Tanggung Jawab
Sosial dan Lingkungan kedalam Undang-Undang Perseroan Terbatas.
Pada dasarnya ada beberapa hal yang mendasari pemerintah mengambil kebijakan
pengaturan tanggung jawab sosial dan lingkungan Pertama adalah keprihatinan
pemerintah atas praktek korporasi yang mengabaikan aspek sosial lingkungan yang
mengakibatkan kerugian di pihak masyarakat. Kedua adalah sebagai wujud upaya
entitas negara dalam penentuan standard aktivitas sosial lingkungan yang sesuai
dengan konteks nasional maupun lokal.
Menurut Endro Sampurno pemahaman yang dimiliki pemerintah mempunyai
kecenderungan memaknai CSR semata-mata hanya karena peluang sumberdaya
finansial yang dapat segera dicurahkan perusahaan untuk memenuhi kewajiban atas
regulasi yang berlaku. Memahami CSR hanya sebatas sumber daya finansial tentunya
akan mereduksi arti CSR itu sendiri.
19/36
Akibat kebijakan tersebut aktivitas tanggung jawab sosial perusahaan akan
menjadi tanggung jawab legal yang mengabaikan sejumlah prasyarat yang
memungkinkan terwujudnya makna dasar CSR tersebut, yakni sebagai pilihan sadar,
adanya kebebasan, dan kemauan bertindak. Mewajibkan CSR, apa pun alasannya, jelas
memberangus sekaligus ruang-ruang pilihan yang ada, berikut kesempatan masyarakat
mengukur derajat pemaknaannya dalam praktik. Konsekuensi selanjutnya adalah CSR
akan bermakna sebatas upaya pencegahan dan dampak negatif keberadaan perusahaan
di lingkungan sekitarnya (bergantung pada core business-nya masing-masing) padahal
melihat perkembangan aktivitas CSR di Indonesia semakin memperlihatkan semakin
sinergisnya program CSR dengan beberapa tujuan pemerintah. Terakhir yang mungkin
terjadi adalah aktivitas CSR dengan regulasi seperti itu akan mengarahkan program
pada formalitas pemenuhan kewajiban dan terkesan basa-basi.8
Keluhan hubungan yang tidak harmonis antara perusahaan dan pemangku
kepentingannya sesungguhnya sudah terdengar setidaknya dalam dua dekade
belakangan. Gerakan sosial Indonesia, khususnya gerakan buruh dan lingkungan, telah
menunjuk dengan tepat adanya masalah itu sejak dulu. Namun, tanggapan positif
terhadapnya memang baru terjadi belakangan. Di masa lampau, hampir selalu keluhan
pada kinerja sosial dan lingkungan perusahaan akan membuat mereka yang
menyatakannya berhadapan dengan aparat keamanan. Walaupun kini hal tersebut
belum menghilang sepenuhnya, tanggapan positif atas keluhan telah lebih banyak
terdengar.
Kiranya, disinsentif untuk perusahaan yang berkinerja buruk kini telah banyak
tersedia. Gerakan sosial kita tidak kurang memberikan tekanan kepada perusahaan
berkinerja buruk. Payahnya, banyak perusahaan juga yang mulai menyadari pentingnya
meningkatkan kinerja sosial dan lingkungan ternyata tidak mendapatkan insentif yang
memadai dari berbagai pemangku kepentingan. Bahkan mereka yang secara
fundamental hendak berubah malah menjadi sasaran tembak. Karena dianggap
"melunak", perusahaan tersebut kerap dianggap sebagai sumber uang yang bisa diambil
kapan saja melalui berbagai cara.9
8 Roby Akbar, “Benang Kusut Regulasi CSR”, 3 Desember 2007, diakses dari roryakbar.wordpress.com
9 Jalal, “Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia”, Koran Tempo, 26 September 2006
20/36
Di antara berbagai pemangku kepentingan itu terdapat pemerintah. Selain
berbagai perangkat yang diciptakan di tingkat pusat, beberapa pemerintah kabupaten
telah membuat berbagai macam forum CSR. Regulasi hubungan industrial juga telah
dibuat di beberapa provinsi. Di satu sisi, perkembangan ini cukup menggembirakan
karena menunjukkan tumbuhnya pemahaman pemerintah atas potensi kemitraan
pembangunan dengan perusahaan. Di sisi lain, terdapat kekhawatiran bahwa
pemerintah sedang memindahkan beban pembangunannya ke perusahaan. Berbagai
regulasi yang dibuat telah juga menjadi tambahan beban baru bagi perusahaan, alih-alih
menjadi insentif bagi mereka yang hendak meningkatkan kinerja CSR-nya.
Secara teoretis telah diungkapkan banyak pakar bahwa pemerintah seharusnya
menciptakan prakondisi yang memadai agar perusahaan dapat beroperasi dengan
kepastian hukum yang tinggi. Dalam hal ini, berbagai regulasi yang ada tidak hanya
berfungsi memberikan batasan kinerja minimal bagi perusahaan, tapi juga memberikan
perlindungan penuh bagi mereka yang telah mencapainya. Di luar itu, pemerintah bisa
pula membantu perusahaan yang sedang berupaya melampaui standar minimal dengan
berbagai cara. Di antaranya dengan memberikan legitimasi, menjadi penghubung yang
jujur dengan pemangku kepentingan lain, meningkatkan kepedulian pihak lain atas
upaya yang sedang dijalankan perusahaan, serta mencurahkan sumber dayanya untuk
bersama-sama mencapai tujuan keberlanjutan.
Mengingat CSR sulit terlihat dengan kasat mata, maka tidak mudah untuk
melakukan pengukuran tingkat keberhasilan yang dicapai. Oleh karena itu diperlukan
berbagai pendekatan untuk menjadikannya kuantitatif dengan menggunakan
pendekatan Triple Bottom Line atau Sustainability Reporting. Dari sisi ekonomi,
penggunaan sumber daya alam dapat dihitung dengan akuntansi sumber daya alam,
sedangkan pengeluaran dan penghematan biaya lingkungan dapat dihitung dengan
menggunakan akuntansi lingkungan.10
Terdapat dua hal yang dapat mendorong perusahaan menerapkan CSR, yaitu
bersifat dari luar perusahaan (external drivers) dan dari dalam perusahaan (internal
drivers). Termasuk kategori pendorong dari luar, misalnya adanya regulasi, hukum, dan
diwajibkannya analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Pemerintah melalui
10 “Proper Sebagai Instrumen Pengukuran Penerapan CSR Oleh Perusahaan”, Makalah Kementerian Negara
Lingkungan Hidup, 23 Agustus 2006
21/36
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) telah memberlakukan audit Proper (Program
penilaian peningkatan kinerja perusahaan). Pendorong dari dalam perusahaan terutama
bersumber dari perilaku manajemen dan pemilik perusahaan (stakeholders), termasuk
tingkat kepedulian/tanggung jawab perusahaan untuk membangun masyarakat sekitar
(community development responsibility).
Ada empat manfaat yang diperoleh bagi perusahaan dengan
mengimplementasikan CSR. Pertama, keberadaan perusahaan dapat tumbuh dan
berkelanjutan dan perusahaan mendapatkan citra (image) yang positif dari masyarakat
luas. Kedua, perusahaan lebih mudah memperoleh akses terhadap kapital (modal).
Ketiga, perusahaan dapat mempertahankan sumber daya manusia (human resources)
yang berkualitas. Keempat, perusahaan dapat meningkatkan pengambilan keputusan
pada hal-hal yang kritis (critical decision making) dan mempermudah pengelolaan
manajemen risiko (risk management).11
Dalam menangani isu-isu sosial, ada dua pendekatan yang dapat dilakukan oleh
perusahaan yaitu: Responsive CSR dan Strategic CSR. Agenda sosial perusahaan perlu
melihat jauh melebihi harapan masyarakat, kepada peluang untuk memperoleh manfaat
sosial, ekonomi, dan lingkungan secara bersamaan. Bergeser dari sekadar mengurangi
kerusakan menuju penemuan jalan untuk mendukung strategi perusahaan dengan
meningkatkan kondisi sosial. Agenda sosial seperti ini harus responsif terhadap
pemangku kepentingan.
Isu sosial yang mempengaruhi sebuah perusahaan terbagi dalam tiga kategori.
Pertama, isu sosial generik, yakni isu sosial yang tidak dipengaruhi secara signifikan oleh
operasi perusahaan dan tidak mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk
berkompetisi dalam jangka panjang. Kedua, dampak sosial value chain, yakni isu sosial
yang secara signifikan dipengaruhi oleh aktivitas normal perusahaan. Ketiga, dimensi
sosial dari konteks kompetitif, yakni isu sosial di lingkungan eksternal perusahaan yang
secara signifikan mempengaruhi kemampuan berkompetisi perusahaan.
Setiap perusahaan perlu mengklasifikasikan isu sosial ke dalam tiga kategori
tersebut untuk setiap unit bisnis dan lokasi utama, kemudian menyusunnya berdasarkan
11 Muhammad Arief Effendi, “Implementasi GCG Melalui CSR”, 7 November 2007, diakses dari
muhariefeffendi.wordpress.com
22/36
dampak potensial. Isu sosial yang sama bisa masuk dalam kategori yang berbeda,
tergantung unit bisnis, industri, dan tempatnya.
Ketegangan yang sering terjadi antara sebuah perusahaan dan komunitas atau
masyarakat di sekitar perusahaan berlokasi umumnya muncul lantaran terabaikannya
komitmen dan pelaksanaan tanggung jawab sosial tersebut. Perubahan orientasi sosial
politik di tanah air dapat memunculkan kembali apresiasi rakyat yang terbagi-bagi dalam
wilayah administratif dalam upaya menciptakan kembali akses mereka terhadap sumber
daya yang ada di wilayahnya.
Seringkali kepentingan perusahaan diseberangkan dengan kepentingan
masyarakat. Sesungguhnya perusahaan dan masyarakat memiliki saling ketergantungan
yang tinggi. Saling ketergantungan antara perusahaan dan masyarakat berimplikasi
bahwa baik keputusan bisnis dan kebijakan sosial harus mengikuti prinsip berbagi
keuntungan, yaitu pilihan-pilihan harus menguntungkan kedua belah pihak.
Saling ketergantungan antara sebuah perusahaan dengan masyarakat memiliki
dua bentuk. Pertama, inside-out linkages, bahwa perusahaan memiliki dampak terhadap
masyarakat melalui operasi bisnisnya secara normal. Dalam hal ini perusahaan perlu
memerhatikan dampak dari semua aktivitas produksinya, aktivitas pengembangan
sumber daya manusia, pemasaran, penjualan, logistik, dan aktivitas lainnya.
Kedua, outside-in-linkages, di mana kondisi sosial eksternal juga memengaruhi
perusahaan, menjadi lebih baik atau lebih buruk. Ini meliputi kuantitas dan kualitas
input bisnis yang tersedia-sumber daya manusia, infrastruktur transportasi; peraturan
dan insentif yang mengatur kompetisi-seperti kebijakan yang melindungi hak kekayaan
intelektual, menjamin transparansi, mencegah korupsi, dan mendorong investasi; besar
dan kompleksitas permintaan daerah setempat; ketersediaan industri pendukung di
daerah setempat, seperti penyedia jasa dan produsen mesin.12
Etika sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat
membimbing dan mengingatkan anggotanya kepada suatu tindakan yang terpuji (good
conduct) yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan. Etika di dalam bisnis sudah tentu
12 “Menuju Standarisasi CSR”, Mas Achmad Daniri, (Ketua Mirror Committee on Social Responsibility
Indonesia) dan Maria Dian Nurani (Anggota Mirror Committee on Social Responsibility Indonesia), telah
dimuat di Harian Bisnis Indonesia, 19 Juli 2007
23/36
harus disepakati oleh orang-orang yang berada dalam kelompok bisnis serta kelompok
yang terkait lainnya.
Secara umum, prinsip-prinsip yang berlaku dalam bisnis yang baik sesungguhnya
tidak bisa dilepaskan dari kehidupan kita sebagai manusia, dan prinsip-prinsip ini sangat
erat terkait dengan sistem nilai yang dianut oleh masing-masing masyarakat. Prinsip
etika bisnis itu sendiri adalah:
· Prinsip otonomi; adalah sikap dan kemampuan manusia untuk mengambil
keputusan dan bertindak berdasarkan kesadarannya tentang apa yang
dianggapnya baik untuk dilakukan.
· Prinsip kejujuran.
· Prinsip keadilan.
· Prinsip saling menguntungkan (mutual benefit principle).
· Prinsip integritas moral; terutama dihayati sebagai tuntutan internal dalam diri
pelaku bisnis atau perusahaan, agar perlu menjalankan bisnis dengan tetap
menjaga nama baik pimpinan/orang-orangnya maupun perusahaannya.
Bagi masyarakat, praktik CSR yang baik akan meningkatkan nilai-tambah adanya
perusahaan di suatu daerah karena akan menyerap tenaga kerja, meningkatkan kualitas
sosial di daerah tersebut. Pekerja lokal yang diserap akan mendapatkan perlindungan
akan hak-haknya sebagai pekerja. Jika ada masyarakat adat/masyarakat lokal, praktek
CSR akan menghargai keberadaan tradisi dan budaya lokal tersebut.
Agar efektif CSR memerlukan peran civil society yang aktif. Setidaknya terdapat
tiga wilayah dimana masyarakat dapat menunjukkan perannya yaitu:
a. Kampanye melawan korporasi yang melakukan praktik bisnis yang tidak sejalan
dengan prinsip CSR lewat berbagai aktivitas lobby dan advokasi.
b. Mengembangkan kompetensi untuk meningkatkan kapasitas dan membangun
institusi yang terkait dengan CSR
c. Mengembangkan inisiatif multi-stakeholder yang melibatkan berbagai elemen
dari masyarakat, korporasi dan pemerintah untuk mempromosikan dan
meningkatkan kualitas penerapan CSR
24/36
Lewat ISO 26000 terlihat upaya untuk mengakomodir kepentingan semua
stakeholder. Dalam hal ini, peran pemerintah menjadi penting. Pemerintah harus punya
pemahaman menyeluruh soal CSR agar bisa melindungi kepentingan yang lebih luas,
yaitu pembangunan nasional. Jangan lupa, dari kacamata kepentingan ekonomi
pembangunan nasional, sektor bisnis atau perusahaan itu ada untuk pembangunan,
bukan sebaliknya. Pemerintah perlu jelas bersikap dalam hal ini. Misalnya, di satu sisi,
mendorong agar perusahaan-perusahaan yang sudah tercatat di bursa efek harus
melaporkan pelaksanaan CSR kepada publik.
Cakupan dari ISO 26000 ini antara lain untuk membantu organisasi-organisasi
menjalankan tanggung jawab sosialnya; memberikan ‘practical guidances’ yang
berhubungan dengan operasionalisasi tanggung jawab sosial; identifikasi dan pemilihan
stakeholders; mempercepat laporan kredibilitas dan klaim mengenai tanggungjawab
sosial; untuk menekankan kepada hasil performansi dan peningkatannya; untuk
meningkatkan keyakinan dan kepuasan atas konsumen dan ‘stakeholders’ lainnya; untuk
menjadi konsisten dan tidak berkonflik dengan traktat internasional dan standarisasi ISO
lainnya; tidak bermaksud mengurangi otoritas pemerintah dalam menjalankan tanggung
jawab sosial oleh suatu organisasi; dan, mempromosikan terminologi umum dalam
lingkupan tanggung jawab sosial dan semakin memperluas pengetahuan mengenai
tanggung jawab sosial. 13
ISO 26000 sesuatu yang tidak bisa ditawar. Meskipun, dalam rilis yang diambil dari
website resmi ISO, standarisasi mengenai Social Responsibility, memang dinyatakan
sebagai sesuatu yang tidak wajib, tetap saja ini akan menjadi trend yang akan naik
daun di tahun 2009 dan harus dihadapi dengan sungguh–sungguh, jika ingin tetap eksis
dalam dunia usaha di Indonesia. ISO 26000 ini bisa dijadikan sebagai rujukan atau
pedoman dalam pembentukan pedoman prinsip pelaksanaan CSR di Indonesia.
Di sisi lain, pemerintah harus bisa bernegosiasi di level internasional untuk
membantu produk Indonesia bisa masuk ke pasar internasional secara fair. Misalnya
lewat mekanisme WTO. Ini bisa dibarengi dengan upaya pemerintah memberikan
bantuan/asistensi pada perusahaan yang belum/menjadi perusahaan publik agar
penerapan CSR-nya juga diapresiasi melalui mekanisme selain ISO. Misalnya dengan
13 Indonesia Business Links, “Integrating CSR a Business Strategy: How to adopt CEO values into CSR
Policies”, Hotel Nikko Jakarta 2 Mei 2007
25/36
menciptakan/menerapkan standard nasional CSR yang lebih bottom-up atau insentif
tertentu yang bisa meyakinkan pasar internasional untuk menerima produk Indonesia.
Pada saat ini CSR dapat dianggap sebagai investasi masa depan bagi perusahaan.
Minat para pemilik modal dalam menanamkan modal di perusahaan yang telah
menerapkan CSR lebih besar, dibandingkan dengan yang tidak menerapkan CSR. Melalui
program CSR dapat dibangun komunikasi yang efektif dan hubungan yang harmonis
antara perusahaan dengan masyarakat sekitarnya.
4. Pelaksanaan CSR: Kewajiban Versus Sukarela
CSR adalah komitmen yang berkesinambungan dari kalangan bisnis, untuk
berperilaku secara etis dan memberi kontribusi bagi perkembangan ekonomi, seraya
meningkatkan kualitas kehidupan dari karyawan dan keluarganya, serta komunitas lokal
dan masyarakat luas pada umumnya (CSR: Meeting Changing Expectations, 1999).
Ada enam kecenderungan utama, yang semakin menegaskan arti penting CSR.
Yaitu: meningkatnya kesenjangan antara kaya dan miskin; posisi negara yang semakin
berjarak pada rakyatnya; makin mengemukanya arti kesinambungan; makin gencarnya
sorotan kritis dan resistensi dari publik, bahkan yang bersifat anti-perusahaan; tren ke
arah transparansi; dan harapan-harapan bagi terwujudnya kehidupan yang lebih baik
dan manusiawi pada era milenium baru.
Pemerintah juga dapat melakukan banyak aktivitas nonregulatori yang mendorong
CSR seperti koordinasi kebijakan mengenai CSR antardepartemen, meningkatkan profil
CSR sehingga makin banyak perusahaan tertarik, membiayai penelitian-penelitian
tentang CSR, mempromosikan CSR pada UKM, serta menciptakan insentif untuk
perusahaan-perusahaan yang memiliki kinerja CSR yang baik—selain memberi
disinsentif bagi mereka yang berkinerja buruk. Terakhir, pemerintah dapat
mendemonstrasikan praktik-praktik terbaik CSR, sebagai sarana perusahaan-perusahaan
untuk belajar bagaimana kinerja terbaik itu bisa dicapai.
Penerapan CSR di Manca Negara
Belajar dari pengalaman negara-negara lain, tidak ada satupun negara yang
dengan presisi mencantumkan persentase atau jumlah yang harus dikeluarkan untuk
26/36
investasi sosial perusahaan. Akan sangat mustahil menemukan negara yang berbuat
demikian, karena yang banyak dikembangkan oleh negara-negara maju adalah sistem
insentif yang mendorong perusahaan melakukan investasi sosial sebagai bagian dari
strategi welfare mix (kesejahteraan sebagai tanggung jawab bersama). Di Amerika
Serikat misalnya, dengan pertimbangan penguatan kelompok-kelompok masyarakat
sipil, maka perusahaan yang menyumbang kepada kelompok yang masuk dalam
kategori 501(c)3, akan mendapatkan pemotongan pajak.
Pendekatan masing-masing pemerintah di Eropa, misalnya, berbeda-beda, namun
tidak satupun di antara mereka yang meregulasi dana CSR. Pemerintah Perancis
mengharuskan perusahaan untuk melaporkan secara mendetail dampak mereka dalam
aspek sosial dan lingkungan. Pemerintah Belgia menyediakan label khusus bagi
perusahaan yang dalam praktiknya sepanjang rantai produksi telah benar-benar sesuai
dengan delapan konvensi ILO. Pemerintah Denmark mengembangkan Danish Social
Index dan melakukan pengukuran langsung atas kinerja perusahaan dalam kebijakan
mengenai pekerja dan fakta kondisi kerja. Sementara CSR-SC yang dibentuk Pemerintah
Italia mengembangkan petunjuk yang dapat dipergunakan oleh perusahaan untuk
melakukan penilaian diri, pengukuran, pelaporan, serta penjaminan kebenaran isi
laporan.
Jalan yang ditempuh oleh Kementerian CSR Inggris—yang mirip dengan apa yang
dilakukan Pemerintah Perancis—sangat menarik untuk dicoba, yaitu dengan mewajibkan
pelaporan tahunan kinerja sosial dan lingkungan perusahaan selain kinerja finansial
yang memang sudah biasa dilakukan. Dengan upaya pemerintah yang mendorong
transparensi kinerja ini, maka mau tidak mau perusahaan kemudian harus
meningkatkan kinerjanya karena iklim persaingan usaha yang ketat akan memberikan
disinsentif bagi mereka yang memiliki kelemahan dalam kinerja CSR. Regulasi yang
dibuat juga memberikan kewenangan penuh bagi Pemerintah untuk mengecek
kebenaran laporan, dan tentu saja mengatur apa konsekuensi kebohongan terhadap
publik yang dilakukan perusahaan dalam laporannya.
Tidak heran, CSR telah menjadi isu bisnis yang terus menguat. Isu ini sering
diperdebatkan dengan pendekatan nilai-nilai etika, dan memberi tekanan yang semakin
besar pada kalangan bisnis untuk berperan dalam masalah-masalah sosial, yang akan
terus tumbuh. Isu CSR sendiri juga sering diangkat oleh kalangan bisnis, manakala
27/36
pemerintahan di berbagai negara telah gagal menawarkan solusi terhadap berbagai
masalah kemasyarakatan.
Pelaksanaan CSR di Indonesia
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang disahkan
DPR tanggal 20 Juli 2007 menandai babak baru pengaturan CSR di negeri ini. Keempat
ayat dalam Pasal 74 UU tersebut menetapkan kewajiban semua perusahaan di bidang
sumber daya alam untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.
Pasal 74 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan muncul pada saat
pembahasan ditingkat Panja dan Pansus DPR. Pada konsep awal yang diajukan
pemerintah, tidak ada pengaturan seperti itu. Saat dengar pendapat dengan Kadin dan
para pemangku kepentingan lain, materi pasal 74 ini pun belum ada. Lalu sekitar 28
asosiasi pengusaha termasuk Kadin dan Apindo, keberatan terhadap RUU PT. Mereka
meminta pemerintah dan DPR membatalkan pengaturan tentang kewajiban tanggung
jawab sosial dan lingkungan dalam RUU PT. Substansi dalam ketentuan pasal 74
Undang-Undang nomor 40 tentang Perseroan Terbatas mengandung makna,
mewajibkan tanggung jawab sosial dan lingkungan mencakup pemenuhan peraturan
perundangan terkait, penyediaan anggaran tanggung jawab sosial dan lingkungan, dan
kewajiban melaporkannya. Mengikuti perkembangan berita di media massa yang
menyangkut pembahasan pasal 74, sesungguhnya rumusan itu sudah mengalami
penghalusan cukup lumayan lantaran kritikan keras para pelaku usaha. Tadinya,
tanggung jawab sosial dan lingkungan tidak hanya berlaku untuk perusahaan yang
bergerak di bidang atau berkaitan dengan sumber daya alam, tetapi berlaku untuk
semua perusahaan, tidak terkecuali perusahaan skala UKM, baru berdiri, atau masih
dalam kondisi merugi.
Ternyata lingkup dan pengertian tanggung jawab sosial dan lingkungan yang
dimaksud pasal 74 UU PT berbeda dengan lingkup dan pengertian CSR dalam pustaka
maupun definisi resmi yang dikeluarkan oleh lembaga internasional (The World Bank,
ISO 26000 dan sebagainya) serta praktek yang telah berjalan di tanah air maupun yang
berlaku secara internasional.
28/36
Lalu sebenarnya seperti apa best practice mengenai CSR ini? Saat ini ISO
(International Organization for Standardization), tengah menggodok konsep standar CSR
yang diperkirakan rampung pada akhir 2009. Standar itu dikenal dengan nama ISO
26000 Guidance on Social Responsibility. Dengan standar ini, pada akhir 2009 hanya
akan dikenal satu konsep CSR. Selama ini dikenal banyak konsep mengenai CSR yang
digunakan oleh berbagai lembaga internasional dan para pakar.
Pada dasarnya kegiatan CSR sangat beragam bergantung pada proses interaksi
sosial, bersifat sukarela didasarkan pada dorongan moral dan etika, dan biasanya
melebihi dari hanya sekedar kewajiban memenuhi peraturan perundang-undangan. Oleh
karena itu, didalam praktek, penerapan CSR selalu disesuaikan dengan kemampuan
masing-masing perusahaan dan kebutuhan masyarakat. Idealnya terlebih dahulu
dirumuskan bersama antara 3 pilar yakni dunia usaha, pemerintah dan masyarakat
setempat dan kemudian dilaksanakan sendiri oleh masing-masing perusahaan. Dengan
demikian adalah tidak mungkin untuk mengukur pelaksanaan CSR.
Selain itu, pelaksanaan CSR merupakan bagian dari good corporate governance
yang mestinya didorong melalui pendekatan etika maupun pendekatan pasar (insentif).
Pendekatan regulasi sebaiknya dilakukan untuk menegakkan prinsip transparansi dan
fairness dalam kaitan untuk menyamakan level of playing field pelaku ekonomi. Sebagai
contoh, UU dapat mewajibkan semua perseroan untuk melaporkan, bukan hanya aspek
keuangan, tetapi yang mencakup kegiatan CSR dan penerapan GCG.
Seringkali kepentingan perusahaan diseberangkan dengan kepentingan
masyarakat. Tak banyak yang menyadari bahwa sesungguhnya perusahaan dan
masyarakat memiliki saling ketergantungan yang tinggi. Saling ketergantungan antara
perusahaan dan masyarakat berimplikasi bahwa baik keputusan bisnis dan kebijakan
sosial harus mengikuti prinsip berbagi manfaat (shared value), yaitu pilihan-pilihan harus
meberi manfaat kedua belah pihak.
Lebih menarik lagi ternyata terdapat inkonsistensi antara pasal 1 dengan pasal 74
serta penjelasan pasal 74 itu sendiri. Pada pasal 1 Undang-Undang nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas memuat “… komitmen Perseroan Terbatas untuk
berperan serta”, sedangkan pasal 74 ayat 1 “… wajib melaksanakan Tanggung Jawab
Sosial dan Lingkungan”. Pada pasal 1 mengandung makna pelaksanaan CSR bersifat
sukarela sebagai kesadaran masing-masing perusahaan atau tuntutan masyarakat.
Sedangkan pasal 74 ayat 1 bermakna suatu kewajiban. Lebih jauh lagi kewajiban TJSL
29/36
pada pasal 74 ayat 1 tidak memiliki keterkaitan langsung dengan sanksinya pada pasal
74 ayat 3. Sanksi apabila tidak melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan
tidak diatur dalam UU PT tetapi digantungkan kepada peraturan perundang-undangan
lain yang terkait.
Demikian juga pada pasal 74 tersirat bahwa PT yang terkena tanggung jawab
sosial dan lingkungan, dibatasi namun dalam penjelasannya dapat diketahui bahwa
semua perseroan terkena kewajiban tanggung jawab sosial dan lingkungan, karena
penjelasan pasal 74 menggunakan penafsiran yang luas. Hal ini dapat dilihat pada bunyi
pasal 74 ayat 1 dimana perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang
dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab
sosial dan lingkungan, sedangkan pada penjelasan pasal 74 menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan perseroan yang menjalankan kegitan usahanya di bidang sumber
daya alam adalah perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan
sumber daya alam. Berikutnya yang dimaksud dengan perseroan yang menjalankan
usahanya berkaitan dengan sumber daya alam adalah perseroan yang tidak mengelola
dan tidak memanfaatkan sumber daya alam tetapi kegiatan usahanya berdampak pada
fungsi sumber daya alam. Dengan demikian jelas tidak ada satupun perseroan terbatas
yang tidak berkaitan atau tidak memanfaatkan sumber daya alam.
Kritik yang muncul dari kalangan pebisnis bahwa CSR adalah konsep dimana
perusahaan, sesuai kemampuannya, melakukan kegiatan yang meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan lingkungan hidup. Kegiatan-kegiatan itu adalah diluar
kewajiban perusahaan yang umum dan sudah ditetapkan dalam peraturan perundangan
formal, seperti ketertiban usaha, pajak atas keuntungan dan standar lingkungan hidup.
Mereka berpendapat, jika diatur, selain bertentangan dengan prinsip kerelaan, CSR juga
akan memberi beban baru kepada dunia usaha.
CSR adalah konsep yang terus berkembang baik dari sudut pendekatan elemen
maupun penerapannya. CSR sebenarnya merupakan proses interaksi sosial antara
perusahaan dan masyarakatnya. Perusahaan melakukan CSR bisa karena tuntutan
komunitas atau karena pertimbangannya sendiri. Bidangnya pun amat beragam ada
pada kondisi yang berbeda-beda.
Proses regulasi yang menyangkut kewajiban CSR perlu memenuhi pembuatan
peraturan yang terbuka dan akuntabel. Pertama, harus jelas apa yang diatur. Lalu,
harus dipertimbangkan semua kenyataan di lapangan, termasuk orientasi dan kapasitas
30/36
birokrasi dan aparat penegak hukum serta badan-badan yang melakukan penetapan dan
penilaian standar. Yang juga harus diperhitungkan adalah kondisi politik, termasuk
kepercayaan pada pemerintah dan perilaku para aktor politik dalam meletakkan masalah
kesejahteraan umum. Ini artinya harus melalui dialog bersama para pemangku
kepentingan, seperti pelaku usaha, kelompok masyarakat yang akan terkena dampak,
dan organisasi pelaksana.
Semua proses ini tidak mudah. Itu sebabnya di negara-negara Eropa yang secara
institusional jauh lebih matang dari pada Indonesia, proses regulasi yang menyangkut
kewajiban perusahaan berjalan lama dan hati-hati. European Union sebagai kumpulan
negara yang paling menaruh perhatian terhadap CSR, telah menyatakan sikapnya, CSR
bukan sesuatu yang akan diatur.14
Dengan diatur dalam suatu UU, CSR kini menjadi tanggung jawab legal dan
bersifat wajib. Namun, dengan asumsi bahwa akhirnya kalangan bisnis bisa
menyepakatinya makna sosial yang terkandung didalamnya, gagasan CSR mengalami
distorsi serius. Pertama, sebagai sebuah tanggung jawab sosial, UU ini telah
mengabaikan sejumlah prasyarat yang memungkinkan terwujudnya makna dasar CSR
tersebut, yakni sebagai pilihan sadar, adanya kebebasan, dan kemauan bertindak.
Mewajibkan CSR, apa pun alasannya, jelas memberangus sekaligus ruang-ruang pilihan
yang ada, berikut kesempatan masyarakat mengukur derajat pemaknaannya dalam
praktik.
Dalam ranah norma kehidupan modern, kita dilingkupi dengan sejumlah norma
yakni norma hukum, moral, dan sosial. Tanpa mengabaikan kewajiban dan
pertanggungjawaban hukumnya, pada domain lain perusahaan juga terikat pada norma
sosial sebagai bagian integral kehidupan masyarakat setempat. Konsep asli CSR
sesungguhnya bergerak dalam kerangka ini, di mana perusahaan secara sadar
memaknai aneka prasyarat tadi dan masyarakat sekaligus bisa menakar komitmen
pelaksanaannya.
Kedua, dengan kewajiban itu, konsekuensinya, CSR bermakna parsial sebatas
upaya pencegahan dan penanggulangan dampak sosial dan lingkungan dari kehadiran
sebuah perusahaan. Dengan demikian, bentuk program CSR hanya terkait langsung
14 Meuthia Ganie Rochman, “Meregulasi Gagasan CSR”, Kompas 10 Agustus 2007
31/36
dengan core business perusahaan, sebatas jangkauan masyarakat sekitar. Padahal
praktik yang berlangsung selama ini, ada atau tidaknya kegiatan terkait dampak sosial
dan lingkungan, perusahaan melaksanakan program langsung, seperti lingkungan hidup
dan tak langsung (bukan core business) seperti rumah sakit, sekolah, dan beasiswa.
Kewajiban tadi berpotensi menghilangkan aneka program tak langsung tersebut.
Ketiga, tanggung jawab lingkungan sesungguhnya adalah tanggung jawab setiap
subyek hukum, termasuk perusahaan. Jika terjadi kerusakan lingkungan akibat aktivitas
usahanya, hal itu jelas masuk ke wilayah urusan hukum. Setiap dampak pencemaran
dan kehancuran ekologis dikenakan tuntutan hukum, dan setiap perusahaan harus
bertanggung jawab. Dengan menempatkan kewajiban proteksi dan rehabilitasi
lingkungan dalam domain tanggung jawab sosial, hal ini cenderung mereduksi makna
keselamatan lingkungan sebagai kewajiban legal menjadi sekadar pilihan tanggung
jawab sosial. Atau bahkan lebih jauh lagi, justru bisa terjadi penggandaan tanggung
jawab suatu perusahaan, yakni secara sosial (menurut UU PT) dan secara hukum (UU
lingkungan hidup).
Keempat, dari sisi keterkaitan peran, kewajiban yang digariskan UU PT
menempatkan perusahaan sebagai pelaku dan penangung jawab tunggal program CSR.
Di sini masyarakat seakan menjadi obyek semata, sehingga hanya menyisakan budaya
ketergantungan selepas program, sementara negara menjadi mandor pengawas yang
siap memberikan sanksi atas pelanggaran yang terjadi.15
Tanggung jawab perusahaan yang tinggi sangat diperlukan karena dengan
mewajibkan perusahaan menyisihkan sebagian keuntungannya untuk usaha sosial
kemasyarakatan diharapkan dapat ikut memberdayakan masyakarat secara sosial dan
ekonomi. Namun pewajiban dalam suatu Undang-undang dapat memunculkan multi
tafsir yang menyebabkan tujuan menjadi tidak tercapai. Di antara permasalahan yang
harus ditegaskan adalah perusahaan apa saja yang wajib melaksanakan tanggung
jawab sosial, sanksi apa saja yang mungkin dapat dikenakan apabila tidak
melaksanakan kewajiban tersebut, sistem pelaporan dan standar kegiatan yang
termasuk dalam kategori kegiatan tanggung jawab sosial.
15 Robert Endi Jaweng, “Kritik Pengaturan CSR dalam UUPT”, Suara Pembaruan 31 Juli 2007
32/36
Pewajiban tanggung jawab sosial dan lingkungan kepada perusahaan tidaklah
tepat. Hal ini karena:
· Pemerintah telah mengatur tentang LH, Perlindungan Konsumen, Hak Asasi
Manusia, Perburuhan dan sebagainya pada masing-masing UU tersebut, tetapi
bukan mengatur CSR pada UUPT.
· Kegiatan CSR sangat beragam, bergantung pada interaksi 3 pilar (Dunia Usaha,
Pemerintah dan Masyarakat), berkaitan dengan 7 masalah pokok, melebihi
kewajiban dari peraturan perundang-undangan, dan bersifat sukarela didasarkan
pada dorongan moral dan etika.
· Kegiatan usaha pengelolaan sumber daya alam hampir mayoritas dilakukan oleh
perusahaan bukan berbadan hukum Indonesia.
· Pemerintah & masyarakat sebaiknya bermitra di dalam menangani masalah
sosial, dengan memanfaatkan program CSR yang dilakukan oleh Dunia Usaha.
Persoalan berikutnya, seberapa jauh CSR berdampak positif bagi masyarakat, amat
tergantung dari orientasi dan kapasitas lembaga lain, terutama Pemerintah. Berbagai
studi menunjukkan, keberhasilan program CSR selama ini justru terkait dengan
sinergitas kerja sama perusahaan, masyarakat, dan pemerintah. Segitiga peran itu
memungkinkan integrasi kepentingan atau program semua stakeholders pembangunan.
Bahkan tidak jarang CSR menjadi semacam titik temu antara wilayah isu yang menjadi
perhatian perusahaan, kepentingan riil masyarakat setempat, dan program pemda
dalam kerangka pembangunan regional. Untuk Indonesia, pelaksanaan CSR
membutuhkan dukungan pemerintah daerah, kepastian hukum, dan jaminan ketertiban
sosial.
Pemerintah dapat mengambil peran penting tanpa harus melakukan regulasi di
tengah situasi hukum dan politik saat ini. Di tengah persoalan kemiskinan dan
keterbelakangan yang dialami Indonesia, pemerintah harus berperan sebagai
koordinator penanganan krisis melalui CSR. Pemerintah bisa menetapkan bidang-bidang
penanganan yang menjadi fokus, dengan masukan pihak yang kompeten.
Setelah itu, pemerintah memfasilitasi, mendukung, dan memberi penghargaan
pada kalangan bisnis yang mau terlibat dalam upaya besar ini. Pemerintah juga dapat
mengawasi proses interaksi antara pelaku bisnis dan kelompok-kelompok lain agar
33/36
terjadi proses interaksi yang lebih adil dan menghindarkan proses manipulasi satu pihak
terhadap yang lain. Peran terakhir ini amat diperlukan, terutama di daerah.
5. Rangkuman
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan belum memiliki definisi yang seragam. Lingkup
dan pengertian tanggung jawab sosial perusahaan yang ada dalam literatur/pustaka
maupun definisi resmi yang dianut oleh berbagai lembaga internasional berbeda dengan
lingkup dan pengertian tanggung jawab sosial dan lingkungan yang termuat dalam
Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Konsepsi tanggung
jawab sosial perusahaan berkaitan dengan beberapa isu penting antara lain Good
Corporate Governance, Pembangunan Berkelanjutan dan Millenium Development Goals.
Adanya keragaman dalam penerapan CSR di berbagai negara menimbulkan
adanya kecenderungan yang berbeda dalam proses pelaksanaan CSR itu sendiri di
masyarakat. Oleh karena itu, ISO 26000 Guidance Standard on Social Responsibility
yang sedang disusun dapat menjadi panduan (guideline) atau dijadikan rujukan utama
dalam penerapan CSR.
ISO 26000 menyediakan standar pedoman yang bersifat sukarela mengenai
tanggung tanggung jawab sosial suatu institusi yang mencakup semua sektor badan
publik ataupun badan privat. ISO 26000 tidak wajib dan bukan requirements karena
tidak dimaksudkan sebagai standar sistem manajemen dan tidak digunakan sebagai
standar sertifikasi.
Pada saat ini di Indonesia, praktek CSR belum menjadi perilaku yang umum,
namun dalam abad informasi dan teknologi serta adanya desakan globalisasi, maka
tuntutan terhadap perusahaan untuk menjalankan CSR akan semakin besar.
Pelaksanaan CSR seyogyanya disesuaikan dengan kemampuan masing-masing
perusahaan dan kebutuhan masyarakat lokal. Idealnya terlebih dahulu dirumuskan
bersama antara 3 pihak yang berkepentingan yakni pemerintah, dunia usaha dan
masyarakat setempat dan kemudian dilaksanakan sendiri oleh masing-masing
perusahaan, karena masing-masing perusahaan memiliki karakteristik lingkungan dan
masyarakat yang berbeda antara satu dengan yang lain.
Upaya perusahaan menerapkan CSR memerlukan sinergi dari pemerintah dan
masyarakat. Pemerintah sebagai regulator diharapkan mampu berperan menumbuh
kembangkan penerapan CSR di tanah air tanpa membebani perusahaan secara
34/36
berlebihan. Peran masyarakat juga diperlukan dalam upaya perusahaan memperoleh
rasa aman dan kelancaran dalam berusaha.
35/36
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
1. Membedah Konsep dan Aplikasi CSR, Yusuf Wibisono, Fascho Publishing, April 2007,
Gresik.
2. Good Corporate Governance, Konsep dan Penerapannya Dalam Konteks Indonesia,
Mas Achmad Daniri, PT Ray Indonesia, Agustus 2005, Jakarta.
3. Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia, Bambang Rudito
dan Melia Famiola, Penerbit Rekayasa Sains, Februari 2007, Bandung.
Makalah dan Artikel
1. “Sinopsis UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas”, M. Yahya Harahap,
Makalah Seminar disampaikan di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta, 20
November 2007.
2. Sambutan Menteri Negara Lingkungan Hidup pada Seminar Sehari "A Promise of
Gold Rating : Sustainable CSR" Tanggal 23 Agustus 2006, diambil dari
www.menlh.go.id
3. “Sumbangan Pemikiran BWI pada Penyusunan Peraturan Pemerintah Perihal
Tanggung Jawab Sosial Korporasi”, The Business Watch Indonesia, Desember 2007.
4. “Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, Investasi Bukan Biaya”, 7 Februari 2007,
Sumber Klikharry.wordpress.com
5. Yanuar Nugroho, “Commodum Totti Topulo: The Benefit is for the Whole Society”,
20 Maret 2007, diakses dari www.audentis.wordpress.com
6. Chrysanti Hasibuan: “Sekali Lagi, CSR”, 10 November 2006, diakses pada
www.swa.co.id
7. “CSR Bukan Untuk Laba-Rugi Semata”, Majalah Marketing Edisi 11/2007
8. Riawandi Yakub, “CSR: Perilaku Korporasi dan Peran Civil Society”, 14 September
2004
9. Roby Akbar, “Benang Kusut Regulasi CSR”, 3 Desember 2007, diakses dari
roryakbar.wordpress.com
10. Jalal, “Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia”, Koran Tempo, 26
September 2006
36/36
11. Proper Sebagai Instrumen Pengukuran Penerapan CSR Oleh Perusahaan”, Makalah
Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 23 Agustus 2006
12. Muhammad Arief Effendi, “Implementasi GCG Melalui CSR”, 7 November 2007,
diakses dari muhariefeffendi.wordpress.com
13. Indonesia Business Links, “Integrating CSR a Business Strategy: How to adopt CEO
values into CSR Policies”, Hotel Nikko Jakarta 2 Mei 2007
14. Meuthia Ganie Rochman, “Meregulasi Gagasan CSR”, Kompas 10 Agustus 2007
15. Robert Endi Jaweng, “Kritik Pengaturan CSR dalam UUPT”, Suara Pembaruan 31 Juli
2007.
16. Rita Erna, “Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan dalam UU Perseroan Terbatas”,
Suara Pembaruan 11 September 2007.
Website:
1. www.madani-ri.com
2. www.sr-indonesia.com
3. www.governance-indonesia.com
4. www.csrindonesia.com
* Mas Achmad Daniri
Chairman of Mirror Committee on Social Responsibility Indonesia
Chairman of Permanent Committee on Good Corporate Governance, Kadin
Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar